Seminggu yang lalu, saya mengikuti OSPEK daring di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Hal yang patut disyukuri dari OSPEK daring adalah kita tidak perlu capek-capek mandi pagi untuk sekedar duduk dan mendengarkan narasumber. Kita cukup menghidupkan laptop, memasang latar virtual, dan menghidupkan kamera agar dianggap tidak ghoib.
Hari pertama OSPEK saya masih merasa semua berjalan seperti biasa. Para pejabat, baik di level rektorat hingga panitia ospek memberikan sambutan. Satu persatu. Dengan konten yang kurang lebih sama.
Namun pada hari ketiga, saya merasakan adanya satu kejanggalan. Pertama, kami diminta untuk mengganti nama virtual kami dengan menambahkan satu angka yang merujuk pada kode agama tertentu di depan nama kami. 1 untuk islam, 2 untuk Kristen, dan seterusnya.
Ketika para pembicara utama sudah selesai dengan kuliah umum mereka, panitia menyuruh kami untuk tetap di dalam aplikasi video conference. Sejurus kemudian, mereka memasukkan kami ke dalam keranjang-keranjang pertemuan virtual berdasarkan kode masing-masing.
Yang saya herankan, di program pascasarjana, selain himpunan jenjang mahasiswa, mengapa isinya hanya himpunan mahasiswa berdasarkan agama? Dari 900-an peserta konferensi yang ada, hampir 90% adalah muslim. Dan dengan ini semakin terlihat, siapa yang mayoritas siapa yang minoritas.
Saya kira, Islam (juga agama lain) seharusnya tidak menampilkan diri dalam bentuk eksklusif. Mahasiswa Islam tidak semestinya menunjukkan keislamannya dengan cara membentuk lembaga formal di dalam kampus.
Memang, membuat lembaga berdasarkan agama bukanlah hal yang terlarang, tapi yang demikian itu sepenuhnya tidak elok jika dilakukan di level kampus, yang akademik, secara formal lagi. Dengan kata lain, itu sangat boleh dilakukan jika itu adalah di luar kampus. Mengapa?
Sederhana saja, adalah hak kita untuk berkumpul dan berserikat yang memang dilindungi undang-undang. Saya sendiri juga alumni dari salah satu organisasi yang menjadikan Islam sebagai spirit gerakan. Namun ini di luar mimbar kampus, tidak di dalamnya.
Kalo bikin himpunan, mbok ya himpunan yang asasnya, sentimennya, tali pengikatnya adalah minat studi atau isu tertentu yang aman dan bermanfaat. Misalnya saja, himpunan pecinta kajian timur, kajian barat, kajian daerah tertinggal. Siapa tahu bisa jadi Lembaga Think Thank to. Kan lumayan itu, lagi dicari banyak pejabat yang sibuk berpolitik sampai tidak sempat berpikir yang rumit-rumit. Kampus
Kampus adalah mimbar akademik yang di dalamnya pergulatan pikiran mengalir dengan bandang. Untuk itu, kebebasan berpikir adalah syarat mutlak yang harus dijaga. Alih-alih menggembosinya dengan sentiment-sentimen sectarian, kampus harus dilihat sebagai sebuah ekosistem yang membentuk pikiran dan pribadi orang-orang di dalamnya. Kampus tidak difungsikan sebagai lambang dari ketinggian Ilmu. Apalagi kok dilihat sebagai alat menaikkan posisi tawar secara sosial saja.
Ketika saya belajar di Strata Satu dulu, muncul ajakan-ajakan de-aliran-isasi di lembaga himpunan legal berbasis agama itu. Islam itu satu, kata teman saya yang ikut himpunan. Saya kira, dogma semacam ini sangat dangkal mengsimplifikasi sejarah. Semacam keengganan untuk mengakui kenyataan plural.
Fenomena itu, meminjam bahasa Gus Dur dalam Islam, Plularisme dan Demokratisasi, menggunakan “kepentingan Islam” sebagai kredonya dan solidaritas Islam sebagai tali pengikatnya. Dalam pemahanan ini, sikap sektarian sangan mudah tumbuh. Mereka merasa bahwa “kepentingan Islam” sedang terancam, untuk itu, ditempuh segala cara untuk mengsukseskan agenda ini. Boleh saja kampus berdiri sebagai lembaga yang menghormati agama, tapi jangan sampai terjebak pada kungkungan agama.
Seorang teman saya yang mengambil jurusan lingusitik bercerita, untuk mempelajari asal usul Bahasa Indonsia ia harus belajar Bahasa Sansekerta dan Bahasa Arab. Masalahnya, Ketika ujian mata kuliah Bahasa Arab, bukannya diuji pemahannya tentang gramatikal Arab, mereka malahan diuji dengan tes baca Al-Qur’an. Padahal tidak semua mahasiswanya adalah muslim. Inilah bahayanya ketika ekosistem akademik bertemu dengan pemhaman agama yang sempit.
Harus kita sadari pula, bahwa ekslusivisme agama di kalangan intelektual bukanlah kejadian baru dalam sejarah kebangsaan kita. Beberapa tahun sebelum reformasi bergulir, Soeharto jor-joran mendukung lahirnya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) karena dianggap bahwa jika Soeharto ingen terus berkuasa, maka harus menggandeng kekuatan Islam.
Lahirnya ICMI menjadi kontroversi di kala itu, sebab tidak semua Intelektual muslim mau dan mampu masuk ke dalamnya. Gus Dur adalah salah satunya. Ia mengecam keras dukungan politik Soeharto kepada ICMI, yang dianggap sebagai bentuk kebangkitan kembali politik sektarian (Hefner, 128; Nasution, 2010: 53).
Apakah intelektual yang tidak berada di ICMI sebagai bukan intelektual muslim? Begitu pertanyaan Gus Dur kepada kawan-kawannya yang ada di sana. Bagaimana dengan orang-orang ber-KTP Islam, tidak shalat, kurang terlihat Islam, bicara Islam menurut pandangan mereka. Apakah tidak boleh?
Merespon berdirinya ICMI, bersama tokoh gerakan lintas agama, Gus Dur membuat ForDem (Forum Demokrasi). Di dalamnya ada Rohman Tolleng, Marsilam Simanjuntak, Bondan Goenawan dan tokoh-tokoh pro demokrasi lainnya.
Juga, karena jabatan Gus Dur di Fordem, Soeharto pernah meminta Prabowo (yang saat itu masih menantunya) untuk memerintahkan Gus Dur untuk mundur dari Fordem. Tentu saja hal ini Gus Dur tolak. Gus Dur seringkali menyinyiri kawan-kawannya di ICMI, “Gimana sih, cendekiawan kok mau diikat-ikat?”. Begitu. (AK)