Pengalaman Melintas: Cara Meredam Kecurigaan Antar Agama

Pengalaman Melintas: Cara Meredam Kecurigaan Antar Agama

Dialog antar agama jamak disebut sebagai cara ampuh meredam konflik keagamaan. Dialog juga diyakini dapat mengikis radikalisme dan konservatisme. Semangat ini tampak dipegang oleh banyak kelompok, gerakan, juga agen-agen perdamaian. Apakah sejatinya dialog antar agama tersebut, dan apa saja yang dilakukan para pegiatnya hingga konsisten mengampanyekannya?

Pengalaman Melintas: Cara Meredam Kecurigaan Antar Agama
Ahmad Salahuddin

Dialog antar agama jamak disebut sebagai cara ampuh meredam konflik keagamaan. Dialog juga diyakini dapat mengikis radikalisme dan konservatisme. Semangat ini tampak dipegang oleh banyak kelompok, gerakan, juga agen-agen perdamaian. Apakah sejatinya dialog antar agama tersebut, dan apa saja yang dilakukan para pegiatnya hingga konsisten mengampanyekannya? Banyak yang belum tahu akan hal ini.

Kami mewawancarai Ahmad Salahuddin, salah seorang fasilitator Young Interfaith peacemaker Community (YIPC) Indonesia. Ahmad aktif, dalam bahasa ia sukai, bergerak dalam bidang ini sejak sepuluh tahun yang lalu. Ia tinggal di Yogyakarta dan turut mengembangkan jaringan YIPC hingga sekarang. YIPC itu sendiri adalah salah satu komunitas anak muda yang sejak didirikan pada tahun 2012 lalu aktif melaksanakan kegiatan dan program dialog antar agama/iman dab perdamaian. Jaringan YIPC pun telah menyebar ke berbagai daerah di Indonesia.

Berikut sari pati wawancaranya:

Mungkin dapat diceritakan terlebih dahulu, bagaimana bentuk komunitas yang Anda dan teman-teman kembangkan untuk dialog antar agama ini?

Iya, terlebih dahulu, saya lebih senang menyebut aktivitas ini sebagai gerakan. Karena yang kita upayakan adalah melipatgandakan semangat dan perspektif pada orang banyak. Titik pijak dan titik temu kita adalah nilai. Jadi yang menjaga keberlangsungan gerakan ini adalah nilai.

Jika kita masih seiya-sekata dengan nilai tersebut, kita terus bertemu, meskipun dengan latar belakang yang berbeda-beda. Di YIPC ada yang berprofesi sebagai guru, pekerja kantoran, mahasiswa, aktivitis, dan berbagai macam. Jadi tidak hanya satu tipe saja. Tidak sekadar menjadi ruang akademik saja.

Nilai apa persisnya yang Anda maksud, dan bagaimana menjaganya?

YIPC itu sejatinya meng-influence perspektif agar kita dapat saling percaya dengan kelompok yang berbeda dengan kita, dalam hal ini keimanan yang berbeda dengan kita. Bagaimana misalnya ketika ada orang yang memiliki prasangka (buruk/jelek) pada keimanan orang lain, mekanisme klarifikasi (prasangka) itu seperti apa?

Kita juga membangun paradigma non-violence (anti kekerasan) dan rekonsiliasi konflik. Ini menjadi keseharian kita di YIPC. Ketika teman-teman konsisten mempelajari itu, kita yakin “alarm” nilai (yang dipelajari) akan berbunyi sendiri (ketika ada konflik atau kecurigaan antar agama).

Kenapa hai itu penting bagi gerakan Anda?

Iya, negara yang kita cintai ini identik dengan keberagaman. Namun jika kita terus telusuri ke dalam ternyata masih ada masalah (dalam hubungan antar agama). Sehingga kami menyimpulkan yang kurang hari ini adalah sikap saling percaya. Masih banyak di antara kita yang memiliki ketakutan kalau komunitas kita akan diserang atau curiga dengan kelompok lain. Itu yang masih problem sesungguhnya.

Jadi ini semacam krisis kepercayaan begitu?

Iya, benar.

Apa contoh krisis kepercayaan itu?

Dari dulu hingga sekarang, YIPC terus menemani teman-teman untuk ngobrol. Kita jangan berbicara dialog antar iman atau antar agama dulu. Di YIPC biasanya setiap semester kita mengadakan camp. Bukan camp pakai tenda begitu. Tapi kita pergi ke suatu tempat. Di sana kita berkumpul dan sharing-sharing begitu, dari berbagai latar belakang keimanan yang berbeda.

Di saat tertentu kamar kita bagi kamar begitu, ada Muslim, Kristen, Katolik, dan lain-lain. Jadi banyak sekali di antara mereka yang belum pernah satu kamar atau satu ruangan dengan agama yang berbeda dengan mereka. Bahkan ada orangnya yang sudah berumur juga. Itu menjadi pengalaman pertama mereka. Ini sebenarnya sederhana. Tetapi faktanya memang seperti itu.

Pernah dulu juga ada anak pendeta yang punya pengalaman sewaktu ia kecil, bapaknya dipersekusi gerejanya. Bapaknya harus mengungsi. Diperkusi oleh salah satu ormas kala itu. Jadi ia punya pengalaman masa kecil teriakan-teriakan Allahu-Akbar dan simbol-simbol Islam. Jadi dia merasa sulit berhubungan dengan teman-teman yang muslim. Dia trauma.

Di YIPC kita coba rekonsiliasikan. Jadi jangan sampai karena salah satu oknum ormas, seluruh muslim digeneralisasi. Kita coba minta dia share pengalaman dia dan ada waktu itu teman-teman muslim yang rendah hati meminta maaf atas pengalaman dia yang “terluka” karena persekusi itu.

Jadi intinya bagaimana kita memulihkan hubungan kita (antar umat beragama). Itu hanya satu sample saja dari banyak cerita dan kasus lain. Sehingga kita punya narasi baru. Bukan lagi narasi “memukul balik” yang akan menjadi spiral kekerasan baru dan berlangsung terus-menerus.

Jadi Anda ingin menyampaikan bahwa gejala tumbuhnya kekerasan antar agama, atau juga radikalisme beragama, karena tidak memiliki pengalaman berinteraksi dengan komunitas/umat lain?

Iya, bisa seperti itu. YIPC merasa pengalaman berinteraksi, melintas, cross begitu adalah metode yang harus dilakukan di tengah cara pandang hidup yang makin terisolasi. Ini bisa terjadi di seluruh umat beragama. Di Kristen atau Katolik ada mereka yang sekolah dari SD, SMP, SMA di Kanisius, misalnya, kemudian melanjutkan kuliah di Sanata Dharma (salah satu kampus di Yogyakarta yang didirikan oleh para Imam Katolik). Mereka tidak memiliki pengalaman melintas atau berinteraksi, dengan erat begitu, dengan komunitas agama lain. Begitu juga mereka yang muslim.

Bukankah di tengah zaman dengan keterbukaan informasi ini, mereka dapat mengakses informasi tentang apa saja yang mereka ingin ketahui, termasuk agama dan kepercayaan yang berbeda?

Betul di satu sisi seperti itu. Tapi pada akhirnya informasi itu hanya mengisi ruang pengetahuan saja, kognitif saja. Mereka tidak memiliki experience, pengalaman atas itu. Menurut saya itulah (pengalaman) yang paling penting. Mungkin mereka mengerti teori, mungkin mereka mengerti definisi-definisi perdamaian, toleransi dan lainnya. Tapi apakah mereka telah mencoba dan mengalami langsung.

Itu yang ingin didorong oleh YIPC; membawa orang untuk mengalami (toleransi dan perdamaian) secara langsung. Dari hal-hal kecil seperti tadi; ngobrol dari hati ke hati dan saling bertanya satu sama lain tentang apa yang mereka imani.

Banyak juga yang khawatir ketika berinteraksi akrab dengan penganut agama lain, mereka akan terpengaruh

(Sambil tertawa). Dari empat ribuan yang pernah ikut YIPC, kami pastikan tidak ada yang pindah agama di antara mereka.

Jadi stigma dan isu seperti ini juga yang ingin dinetralisir. YIPC justru mematahkan stigma orang menjadi lemah imannya karena berinteraksi dengan penganut agama dan kepercayaan lain. Justru saya melihat keimanan mereka semakin kuat.

Baik, selanjutnya apa saran Anda untuk pembaca yang mungkin ingin mencoba merasakan pengalaman melintas itu tadi?

Saya merasa keberagaman di Indonesia ini sudah seperti oksigen yang kita hirup. Pengalaman melintas sebenarnya bukan sesuatu yang jauh dari kita. Memang iya ada beberapa tempat di Indonesia ini orang-orang yang terisolasi (dalam pengertian tidak pernah berinteraksi secara langsung dengan penganut agama lain), dengan tinggal di lingkungan muslim saja, atau Kristen saja misalnya.

Namun saya yakin, manusia lahir tidak langsung membenci. Saya yakin kita bisa hidup berdampingan asal kita mau jujur. Ini modal bagi kita. Tinggal selanjutnya kita mencari metodenya. Jadi ini bukan sesuatu yang asing dan sulit sebenarnya bagi kita.

Saya ingin bercerita sedikit tentang salah satu pengalaman camp dahulu. Jadi dalam satu sesi camp, kita membebaskan para peserta untuk bertanya tentang apa pun kepada penganut agama lain, sebagai salah satu metode klarifikasi kecurigaan. Ada teman Kristen yang bertanya tentang jihad.

“Benar ngak jihad itu berperang?” kemudian pertanyaan itu saya lempar ke teman-teman muslim untuk menjawabnya. Ternyata teman-teman muslim pun berbeda pendapat tentang jihad. Sama juga ada yang bertanya tentang poligami. Teman-teman muslim juga berbeda-beda pendapat tentang poligami. Ada yang bilang, “saya tidak sepakat dengan poligami,” dan lain sebagainya.

Fakta ini langsung kita sampaikan ke teman-teman Kristen, bahwa ternyata di kalangan Islam pun hal ini masih menjadi perbedaan pendapat dan tidak bisa menggeneralisir semua dalam satu jawaban. Jadi poinnya adalah adanya metode klarifikasi.

Sebaliknya, juga ada teman-teman Muslim yang bertanya, karena sedari kecil diajarkan, bahwa orang Kristen itu Tuhannya tiga, juga tentang kristenisasi, Ini bisa diklarifikasi pada teman-teman Kristen, “Apakah benar seperti itu,” dan banyak pertanyaan lain.

Setelah diklarifikasi dan mendapatkan jawabannya kita bisa membentuk narasi baru, bukan lagi narasi lama yang penuh dengan kecurigaan dan prasangka.

*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT