Penerjemahan Literatur Arab-Islam ke Eropa

Penerjemahan Literatur Arab-Islam ke Eropa

Bagaimana proses penerjemahan literatur islam dalam sejarah?

Penerjemahan Literatur Arab-Islam ke Eropa

KEHADIRAH ISLAM di Andalus (Spanyol) dan Sisilia (Italia) rupanya memberikan banyak berkah bagi Eropa. Di sana Islam hadir dengan membawa obor agama dan ilmu pengetahuan yang mencerahkan. Beberapa universitas dan pusat kelilmuan berdiri di kota-kota semisal Garnatha (Granada), Qurthuba (Cordova), Ishbilia (Sevilla), Shatiba (Xativa), Mursia (Muricia), Falansia (Valencia), Thalithalia (Toledo), Barshaluna (Barcelona), Azzahra (kota ini sekarang telah punah), Palermo, dan lain-lain.

Orang-orang Eropa pun berbondong-bondong untuk belajar di universitas Arab-Islam. Di universitas tersebut diajarkan ilmu-ilmu agama (islam), sains-eksakta (riyadhiyyat), filsafat, kedokteran, seni, dan humaniora sekaligus.

Tahun 1085 M, Toledo (Thalithala) dikuasai oleh pihak penguasa Kristen-Spanyol. Sejak pengusaan tersebut, Toledo pun mejadi pusat ilmu pengetahuan Latin-Kristen yang mengembangkan pelbagai fakultas keilmuan yang telah dicapai oleh orang-orang Arab-Muslim sebelumnya.

Raja Spanyol Alfonso VII (1126-1157 M) banyak memerintahkan orang-orang Yahudi-Andalus untuk menerjemahkan beberapa literatur berbahasa Arab ke dalam bahasa Latin. Selain Alfonso VII, seorang uskup Castella bernama Raimundo (w. 1152 M) juga memasukan kajian keislaman sebagai mata pelajaran di beberapa majlis keilmuan.

Beberapa waktu kemudian, Raimundo mendirikan Colegio de Traductones Toledones (Madrasah al-Mutarjimin bi Thalithala), sebagai lembaga yang menerjemahkan beberapa literatur Arab-Islam seperti kedokteran, astronomi, aritmatika, kimia, fisika, sastra, sejarah, metafisika, psikologi, logika, geografi, filsafat dan politik. Beberapa tokoh penerjemah yang kesohor adalah Dominicus Gundisalvi o Gundisalinas, Yacub ben Marry, dan Levi ben Jorson.

Di antara literatur Arab-Islam yang paling berpengaruh bagi publik Eropa masa pertengahan adalah buku-buku filsafat karangan Averroes (Ibn Rushd), seperti Fashl al-Maqal fî Taqir ma Bayna al-Syari’ah wa al-Hikmah min al-Ittishal, Tahafut al-Tahafut, al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah fî ‘Aqaid Ahl al-Millah, dan (terutama) syarah atau komentar Averroes atas filsafat Aristoteles. Komentar inilah yang kemudian mengenalkan sosok Aristoteles pada publik Eropa abad pertengahan.

Pada gilirannya, muncul sebuah gelombang pemikiran baru yang ‘beroposisi’ dengan pihak gereja, yang digawangi oleh komunitas yang intens mengkaji pemikiran Averroes. Mereka mengusung semangat rasionalitas, dan upaya dialog terkait agama dan filsafat. Komunitas ini kelak dikenal dengan sebutan Averroism School.

Averroism School menjadi ikon gerakan rasionalitas Eropa masa pertengahan yang merebak di beberapa universitas, seperti Dominikan, Fransiskan, Paris, Polonia, Venicia, dan Padova. Beberapa tokohnya yang terkenal semisal Isaac Albalag, Sant Thomas Aquinas, Albert the Grand, Sieger de Brabant, Roger Bacon, dan masih banyak lagi.

Di Sisilia, penerjemahan literatur Arab-Islam digalakan saat masa pemerintahan raja Roger II (w. 1154 M). Roger II adalah raja Sisilia yang sangat apresiasi terhadap tradisi Arab-Islam. Bukan hanya dalam sisi ilmu pengetahuan, tetapi juga dari sisi budaya. Raja Roger II fasih berbahasa Arab, dan suka mamakai jubah khas orang-orang Arab Maghribi.

Adalah al-Idrisi [w. 1166 M], ulama geografi kesohor dari Andalus. Al-Idrisi memberikan hadiah kepada raja Roger II berupa peta bumi, yang pada waktu itu menjadi sebuah penemuan yang spektakuler. Hingga sekarang, peta al-Idrisi ini dijadikan salah satu gambar perangko di Spanyol dan Sisilia. Al-Idrisi juga menghadiahkan buku geografi berjudul Nuzhat al-Musytaq fi Ikhtiraq al-Afaq.

Di publik Latin-Eropa, buku tersebut populer dengan sebutan Book of Roger (al-Kitab al-Rugari). Buku tersebut diterjemahkan kedalam bahasa Latin pada taun 1619, yang pada gilirannya menjadi acuan kajian geografi di Eropa

Jejak raja Roger II pada akhirnya diikuti oleh cucunya, kaisar Fredrick II (1197-1250 M). Kaisar ini kemudian mendirikan universitas Polonia, dan memerintahkan dewan ilmuannya untuk menerjemahkan beberapa literatur Arab-Islam kedalam bahasa Latin, khususnya beberapa karya filsafat Alvarabus (al-Farabi, w. 950 M), Aveciena (Ibn Sina, w. 1037 M), Algazel (al-Ghazali, w. 1111 M), Avempace (Ibn Bajjah, w. 1139 M), Ibn Thufayl (w. 1185 M), dan Averroes (Ibn Rushd, w. 1198 M).

Pada perjalanannya, universitas Polonia lebih intens mengembangkan kajian di bidang kedokteran. Para dewan ilmuwan menjadikan beberapa kitab semisal al-Tashrif (Gerard of Cremona)-nya Abucasis (al-Zahrawi, w. 1013), Kitib al-Manazhir (Book of Optic)-nya Alhazen (Ibn Haytsam, w. 1040 M), The Canon (al-Qanun)-nya Aveciena (Ibn Sina, w. 1037 M), dan The Collegiate (al-Kulliyyat)-nya Averroes sebagai buku pegangan wajib. Dalam catatan sejarahnya, konon dari universitas Polonialah kajian ilmu kedokteran menyebar dan berkembang ke seluruh Eropa.

Jauh-jauh hari sebelum penerjemahan literatur Arab ke Eropa, sultan Abu Ja’far al-Manshur, Harun al-Rashid, al-Amin, al-Makmun (para raja Abbasiyyah) juga menerjemahkan beberapa literatur Persia dan Yunani ke dalam bahasa Arab.

Al-Makmun mendirikan Baitul Hikmah (House of Wisdom) di Baghdad, sebagai pusat ilmu pengetahuan sekaligus perpustakaan agung yang menghimpun literatur sejagat. Begitu juga al-Mu’izz li Dinillah, al-‘Aziz Lillah (khalifah Fathimiyyah) yang mendirikan Al-Azhar di Cairo, serta al-Hakam II dan Abdurrahman III, yang mendirikan Az-Zahra di Cordova.

Kenyataan di atas memberikan kita banyak ibrah dan pelajaran, bahwa sebuah peradaban sejatinya mustahil dapat berdiri sendiri. Sebuah peradaban akan berdiri dan berkembang setelah berasimilasi dengan peradaban yang lain. Hal ini juga yang terjadi pada peradaban Arab-Islam. Sebelum menjadi pusat peradaban dunia, Arab-Islam terlebih dahulu berasimilasi dengan beberapa peradaban lain, semisal Persia, Suryani, Yunani, bahkan India.

Tegasnya, kita dituntut untuk membuka diri dengan entitas lain yang berada di luar kita. Kita dituntut belajar dari yang lain. Kita dituntut untuk andap ashor, rendah hati. Sebab, bukankah, air hanya akan mengalir ke tempat yang rendah, bukan ke tempat yang tinggi? Begitu juga ilmu pengetahuan, mustahil akan berkembang pada mereka yang jumawa, yang tinggi hati, yang merasa paling benar sendiri. (A. Ginanjar Sya’ban, peminat kajian sejarah dan peradaban Islam)