Selain isi, yang tak kalah seru di media sosial adalah komentar-komentar para netizen. Ini seperti korek kuping. Menggelitik. Tak perlu merogoh kantong untuk sekadar mencari hiburan.
Lebih-lebih di masa-masa pemilu seperti saat ini. Di tahun yang oleh banyak orang disebut tahun politik. Saya sangsi. Saya lebih senang menyebut tahun kursi. Seperti ayat kursi. Suci. Punya sentuhan sakral dan magis. Pun punya kekuatan gaib seperti jimat milik seseorang yang mesti jauh-jauh dari toilet.
Pemilu seperti bagian dari wudhu. Syarat untuk menjadi pemimpin. “Kullukum ro’in, wa kullukum mas-ulun ‘an ri’iyyatihi”. Ini perlu disadari. Setiap orang (laki-laki atau perempuan) adalah pemimpin. Pemimpin untuk diri dan hidupnya sendiri. Pemimpin seperti Rosulullah. Meski tak bisa dan tak mungkin bisa seperti Nabi Muhammad seutuhnya, setidaknya setiap orang bisa memberi “uswatun hasanah” kepada orang lain. Melakukan hal-hal baik, yang indah, yang bisa dijadikan tauladan bagi orang lain.
Kursi-kursi yang tersedia; satu kursi untuk Presiden, 575 kursi untuk DPR RI, 136 Kursi untuk DPD, 2207 kursi untuk DPRD Provinsi, 17.610 untuk DPRD Kota/Kabupaten, adalah kursi kepemimpinan. Bukan sekadar kekuasaan. Hanya saja, kursi-kursi tersebut seringkali diartikan sebagai tempat untuk duduknya kekuasaan dan kekuatan. Tak ayal, yang sering dicontohkan dan diperlihatkan adalah perilaku buas dan liar. Seperti cerita-cerita tentang dunia rimba: siapa yang kuat dia yang menang. Kalau sudah seperti itu, yang dilakukan adalah saling unjuk kekuatan. Bukan keteladanan. Apalagi kepemimpinan.
Untuk pemilu kali ini, saling unjuk kekuatan sangat terlihat pada satu kursi yaitu kursi untuk presiden dan wakil presiden. Kursi-kursi yang lain seperti kurang pamor. Mudah-mudahan ini bukan sinyal rendahnya kepercayaan masyarakat kepada kursi-kursi perwakilan mereka di DPR dan DPD. Hal ini begitu jelas dipertontonkan di media sosial. Pembahasan tentang kursi presiden lebih dominan ketimbang DPR dan DPD.
Status-status facebook dan cuitan-cuitan di twitter serta komentar-komentarnya lebih banyak tentang calon presiden dan wakilnya. Saling lempar isu dan pendapat seperti petir di musim hujan. Saling bersautan. Misalnya, ada isu yang digaungkan pendukung capres yang ini, dan ternyata itu hoax. Dibalaslah oleh pendukung capres yang itu. Terus seperti itu. Bergantian. Ketika menemukan kesalahan dan kelemahan pihak lawan, seakan mendapat kebahagiaan dan kegembiraan. Dan itu perlu dirayakan.
Sayangnya, perayaan itu sering berisi kata-kata merendahkan. Cebong dan kampret makin tegas, jelas, dan tajam. Beginilah jika yang dipertunjukkan adalah kekuatan bukan kepemimpinan: hanya soal siapa yang lebih kuat dialah pemenang. Saya jadi teringat “A continuous frenzy” yang dikatakan George Orwell dalam novel 1984. Suatu kegalauan yang tak kunjung henti. Dalam diri masing-masing pendukung terus diserukan tentang adanya musuh dari luar dan pengkhianat dari dalam. Selalu ada yang harus “dikalahkan”. Calon yang didukung mesti dan fardhu ain hukumnya untuk menang. Dan ini membuat mereka lupa tentang dimensi kepemimpinan yang seharusnya lebih bergema pada pemilu.
Ataukah memang pemilu hanya melahirkan orang-orang yang kuat lalu berkuasa? Hingga orang-orang lupa tentang rasa kemanusiaan dengan menjelek-jelekkan mereka yang berbeda dukungan dan pilihan? Sungguh, saya tidak melihat etika, adab, dan sopan santun yang Indonesia banget pada status-status dan komentar-komentar netizen di media sosial.
Terkait politik dan sikap politik, Gusdur sudah mewanti-wanti. Sudah mengingatkan berkali-kali. Di atas politik ada yang lebih penting yaitu kemanusiaan. Rasa dan Nilai-nilai kemanusiaan. Dukungan dan pilihan ke salah satu calon presiden mestinya didahului oleh kemanusiaan dalam diri setiap orang. Ketika berbeda, disikapi sebagai manusia. Bukan sebagai hewan dan binatang. Bukan sebagai cebong atau kampret.
Tapi, saya apresiasi pada perhatian masyarakat pada calon presiden yang makin meningkat. Ini pendidikan politik. Dan sepertinya dinamika yang terjadi adalah bagian dari pendidikan politik bagi warga negara. Meskipun, ada kerentanan sikap dan etika politik yang dikesampingkan. Ya, seperti siswa-siswa yang suka tawuran adalah mereka yang masih berada pada fase labil.
Saya jadi teringat dengan seorang teman di pesantren yang baru belajar ilmu kebatinan. Tingkahnya bak pendekar. Kemana-mana dan ke siapapun akan menampakkan kebisaannya itu. Pun saya teringat dengan teman yang baru belajar filsafat, hingga meragukan keberadaan Tuhan. Bahkan, mengatakan Tuhan tidak ada. “Zikir” mereka baru “laa ilala”. Masih di zikir penolakan. Hanya perlu ditambah “illa Allah” sebagai peneguhan. Ya, namanya masih labil, baru belajar, wajar saja bersikap demikian.
Ada asap karena ada api. Karenanya, saya lebih tertarik bertanya, apa yang menyebabkan para pendukung begitu yakin dengan pilihannya? Apa yang menjadikan mereka menjadi begitu fanatik? Jawabnya pasti beragam. Satu hal yang pasti: ada keyakinan besar dalam diri mereka bahwa pilihannya tak salah.
Lalu apa yang bisa membuat seseorang yakin atau tidak? Kalau memakai rumus Al-Imam Al-Ghazali, maka hati mereka sudah tersentuh. Kemudian dilanjutkan dengan tersentuhnya akal. Lalu untuk memperkuat keduanya ada media dan bentuk nyata, wujud nyata yang bisa dilihat oleh indera. Pertanyaan selanjutnya, hal apa yang bisa menyentuh hati seseorang?
Setidaknya ada beberapa hal. Pertama perihal cinta. Laiknya seorang laki-laki yang tengah “pdkt” ke seorang perempuan. Begitulah kira-kira sikap dan yang dilakukan seseorang. Kedua, perihal agama. Agama yang menjadi jalan untuk dimensi ruhani. Terkait hati. Yang bagi kebanyakan orang menjadi satu-satunya jalan untuk mendekati Tuhan pemilik ketenangan dan kebahagiaan. Hal kedua ini bisa dilihat dari kedua calon presiden dan wakilnya. Dua-duanya menggunakan kekuatan agama. Karenanya tak jarang ayat-ayat, dalil-dalil, dan hal-hal yang berkaitan dengan agama menjadi “rayuan” yang digunakan untuk mencari dukungan masyarakat.
Setelah hati masyarakat tersentuh, langkah selanjutnya adalah permainan logika. Kemampuan berpikir seseorang akan “diobrak-abrik”. Ini bisa menggunakan permainan kata-kata. Hingga akhirnya, orang-orang akan mengatakan iya dan benar terhadap informasi dan materi-materi capres dan cawapres yang ada.
Nah, untuk menguatkan sentuhan terhadap hati dan akal itu, diperlukan media. Bisa berupa gambar, kata-kata, video, dan lain-lain. Saya jadi teringat Machiavellism. Paham yang diartikan sempit sebagai menghalalkan segala cara. Dan sepertinya ini pun digunakan. Berita-berita dan informasi-informasi yang bertentangan terus berjejalan di media sosial. Hingga agak sulit membedakan mana hoaks mana yang benar. Kebohongan yang disampaikan terus menerus bisa berubah menjadi kebenaran bagi yang menerima, bukan?. Disinilah sepertinya keyakinan itu tercipta. Keyakinan bahwa apa yang dipilih dan didukung paling benar.
Tentunya akan sulit mengubah hal ini, kecuali sejarah. Jika sejarah yang membuktikan, terlambat sudah. Hanya dua pilihan: bersyukur atau menyesal. Saya malah iseng bertanya-tanya dan membayangkan bagaimana jika calon yang didukung kalah? Apakah akan lapang dada atau berontak tak terima?
Perhatian saya beralih ke KPU dan Bawaslu sebagai pelaksana pemilu. Lembaga ini pun ikut disasar pemberitaan-pemberitaan miring bahkan informasi hoaks. Sepertinya ini dilakukan agar ketika calon yang didukung kalah, mereka punya amunisi dan kambing hitam untuk meluapkan kekesalan. Semoga tidak. Semoga pendidikan politik di negeri ini berhasil mencetak manusia-manusia yang lapang dada. Entah di tingkat TK, SD, Tsanawiyah, Aliyah, Perguruan Tinggi, atau Universitas kehidupan ini.
Pertanyaan selanjutnya, siapa yang mendidik? Bukankah semua menjadi bagian dari dunia politik? Apakah KPU sebagai penyelenggara pemilu? Ataukah tokoh-tokoh politik? Atau masing-masing orang?.
Allahu a’lamu bisshowab.