Pendekatan Kontekstual: Penafsiran Berbasis Teks dan Konteks Ala Abdullah Saeed

Pendekatan Kontekstual: Penafsiran Berbasis Teks dan Konteks Ala Abdullah Saeed

Pendekatan Kontekstual: Penafsiran Berbasis Teks dan Konteks Ala Abdullah Saeed

Problematika penafsiran teks Al-Quran hampir menjadi topik yang selalu hangat untuk diperbincangkan. Teks Al-Quran yang terbatas sementara  konteks yang tidak terbatas menjadi salah satu faktornya. Dengan begitu, dalam rangka untuk memberikan makna yang segar bagi teks Al-Quran yang terbatas dan menjadi relevan terhadap isu-isu kontemporer yang menjerat umat Muslim, maka tidak bisa tidak pendekatan baru mutlak dibutuhkan. Abdullah Saeed, satu dari sekian pemikir muslim modern, mencoba menjawab tantangan tersebut dengan pendekatan kontekstual yang dibangunnya.

Melalui bukunya yang berjudul Reading the Qur’an in the Twenty-first Century A Contextualist Approach (Al-Quran Abad 21: judul edisi terjemah) Saeed membangun kerangka sistematis sebagai usaha memahami ayat-ayat Al-Quran melalui pendekatan kontekstual ditengah maraknya penafsiran tekstual terhadap teks Al-Quran. Buku setebal kurang lebih 300 halaman tersebut mengulas terkait latar belakang, presenden, gagasan, prinsip kunci penafsiran kontekstual dan beberapa contoh penerapan penafsiran dengan pendekatan kontekstual terhadap isu mutakhir yang berkaitan dengan Al-Quran.

Dalam karyanya tersebut Saeed hendak menunjukan bahwa pendekatan kontekstual dalam tafsir Al-Quran membuka lingkup yang lebih luas untuk menafsirkan Al-Quran dan mempertanyakan  beberapa penafsiran para mufasir masa awal yang dominan. Berbeda dengan kaum tekstual yang seringkali mendasarkan penafsiran terhadap teks sepenuhnya, kaum kontekstualis meyakini bahwa ajaran Al-Quran sebaiknya dipahami dengan cara bagaimana ia dipahami dan dipraktikkan oleh generasi awal pada awal abad ke-7 M, dan sekaligus dengan cara bagaimana ia bisa dipraktikkan dalam konteks modern. Selain itu, kaum kontekstualis juga cenderung melihat Al-Quran terutama sebagai sumber pedoman praktis yang seharusnya diimplementasikan secara berbeda ketika perubahan dalam masyarakat membutuhkannya, sepanjang tidak melanggar hal-hal fundamental dalam Islam.

Berangkat dari keyakinan bahwa pewahyuan pertama melibatkan Firman Tuhan yang terjalin dengan konteks aktualnya, pendekatan kontekstual kemudian dikembangkan secara sistematis. Dengan tidak saja menekankan analisis linguistik terhadap teks Al-Quran baik secara sintaktik, stilistika, morfologis, semantik dan pragmatik, menjadi tugas utama penafsir Al-Quran secara kontekstual  adalah menggeluti sejarah dan tradisi teks dalam rangka membangun konteks turunnya Al-Quran. Saeed menegaskan bahwa pemahaman Al-Quran secara kontekstual amat penting bagi umat Islam kontemporer setidaknya karena pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Quran secara tekstual yang tidak memberi perhatian akan konteks tidak memberikan keadilan bagi tujuan dan semangat utama penurunan Al-Quran serta akan dapat mendistorsi prinsip-prinsip ajaran Al-Quran yang fundamental.

Meski demikian, Saeed mengakui bahwa salah satu isu yang paling sensitif, bagi banyak umat Islam, yang diangkat oleh pendekatan kontekstual adalah bahwa pendekatan ini dikhawatirkan mengubah berbagai pendapat hukum dan teologis yang telah ada yang dianggap setara dengan dasar-dasar agama Islam serta tidak boleh diubah. Oleh karena itu,  Saeed menawarkan kerangka hirarki nilai berdasarkan prinsip-prinsip dasar agama yakni nilai-nilai kunci yang menjadi perhatian dalam pendekatan kontekstual. Nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai yang wajib, fundamental, perlindungan, universal, dan intruksional.

Secara garis besar pendekatan kontekstual yang diusung Saeed dalam karyanya tersebut setidaknya bergantung pada dua aspek kunci penafsiran Al-Quran sebagai bahan analisis yaitu konteks makro awal dan konteks makro modern. Saeed juga tidak menafikkan bahwa penafsiran Al-Quran tradisonal yang telah membangun serangkain konsep, metode dan analisis yang berkait dengan aspek-aspek morfologis, sintaktik, stilistika, dan semantik juga berguna untuk tujuan ini. Dengan tidak hanya melakukan analisis lingusitik terhadap teks Al-Quran, Saeed juga menawarkan adanya rekonstruksi konteks makro awal yang setidaknya meliputi sosial-kultural, politik, ekonomi, intelektual, nilai-nilai, dan praktik-praktik untuk menjadi pertimbangan mufasir ketika menafsirkan Al-Quran di abad 21 ini.

Selain itu, dalam karyanya tersebut Saeed juga memberikan beberapa contoh penerapan pendekatan kontekstual terhadap tema-tema penting dalam Al-Quran yang masih hangat diperbincangkan di abad 21 ini. Seperti isu tentang otoritas laki-laki atas perempuan, penyaliban dan kematian Isa, Musyawarah (syura) dan demokrasi, serta Riba dan Bunga. Melalui contoh-contoh tersebut Saeed mununjukan bahwa perbedaan konteks yang melingkupi setiap mufasir pada akhirnya mempengaruhi hasil penafsiran terhadap teks Al-Quran. Hal penting yang menurutnya perlu di garis bawahi dalam rangka membangun penafsiran secara kontekstual adalah bahwa teks Al-Quran awal tidak bisa terlepas dari aspek tradisi dan budaya setempat.

Akhirnya, pendekatan kontekstual yang seringkali mendapat berbagai sanggahan, Saeed menunjukkan bahwa kecenderungan pendekatan kontekstual ini telah diterapkan sejak masa Islam awal. Dalam kasus pelaksanaan hukuman Al-Quran misalnya, Umar menagguhkan hukuman pencuri yang mencapai batasan potongan tangan. Perlu dicacat, teks Al-Quran yang memaparkan hukuman ini tidak menyatakan bahwa ini tidak harus dilaksanakan dalam kondisi ekonomi yang sulit. Namun, karena masalah kelaparan, beberapa orang bisa saja menjadi terpaksa untuk melakukan pencurian lantaran rasa lapar, dan tentunya penerapan hukum potong tangan tidak sesuai dengan kondisi seperti itu.