Dewasa ini, Islam sering menjadi pusat perhatian Indonesia bahkan Dunia. Dari Bom Bali, tragedi 9/11 sampai aksi-aksi yang digelar umat beragama paling banyak di Indonesia ini. Islam kerap kali dijadikan kambing hitam, alasan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik dunia akhirat sampai dengan terang-terangan ditunggangi untuk kepentingan tertentu saja. Islam juga sering dihubung-hubungkan dengan berbagai persoalan dan muncul opini bahwa apapun masalahnya, Islam punya solusinya.
Beberapa masalah yang nyata-nyata telah dapat diselesaikan dengan cara Islam atau sebenarnya hanya menunggangi dan melabeli dengan kata Islam antara lain: a). Islam berhasil mengantarkan seseorang mencapai kursi tertinggi dalam pertarungan medan politik praktis. b). Islam mampu mengakomodasi satu kementerian agar hanya ngurusi agama Islam saja, nyatanya ada teman yang kebetulan beragama Budha, menikahnya bukan di KUA, tapi malah di pencatatan sipil. c). Islam berhasil menguasai sektor pendidikan Indonesia, ini terbukti dengan banyaknya berdiri kampus UIN (Universitas Islam Negeri) di berbagai kota, tanpa memberikan satu pun ruang berdirinya UBN (Universitas Budha Negeri) atau UKN (Universitas Kristen Negeri).
Setelah menyadari kenyataan ini, lalu apa lagi yang akan dihubung-hubungkan dengan Islam pada masa-masa yang akan datang?
Argumen paling dekat adalah labeling produk dengan slogan-slogan khas Islam seperti Halal, Syar’i, Islami, Surga, Hijab, Sunnah dan lain-lain. Usaha-usaha ini sebenarnya sudah mulai berjalan, membuat kita semua menghadapi salah satu bentuk pendangkalan dalam berislam, karena kampanye-kampanye Islam hanya berupa simbol-simbol.
Pasar kapital menjadikan persoalan ini semakin rumit dan menarik. Bagaimana banyak produsen bukan lagi melakukan inovasi-inovasi dengan meningkatkan kualitas produk, tapi hanya meminjam istilah Islam agar tersemat pada produk-produk baru mereka. Contohnya saja Hunian Syar’i, apakah ini bentuk inovasi? Saya rasa tidak, karena usaha mereka bukanlah membuat inovasi semisal sirkulasi udara perumahan yang baik, sumber air yang tak mencekik warga sekitar atau hunian hemat energi. Tapi hanya sekedar ditambah label syar’i pada rumah-rumah yang disengaja desain interior dan eksteriornya meniru gaya timur tengah dan disediakan masjid megah di tengah hunian, itulah yang mereka sebut hunian syar’i.
Begitu juga dengan istilah halal yang mulai banyak tersemat ke berbagai produk. Saat ini nampaknya kurang afdol kalau produsen makanan tak mencantumkan lebel halal di produk yang mereka buat. Bahkan pelebelan ini mulai merusak tatanan berfikir kita, karena halal saat ini tak hanya milik produk makanan, tapi sampai dilabelkan pada kain. Mungkin beberapa tahun lagi akan ada lebel halal tersemat pada gawai, buku sampai lantai.
Kata halal beberapa kali muncul dalam Al-Qur’an. Salah satunya pada surat Al Baqarah ayat 168 yang artinya kurang lebih ”Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”. Yang menarik dari ayat ini adalah kata halal yang didahului dengan kata makanan tidak berdiri sendiri, namun bersanding dengan kata baik. Artinya dalam memilih suatu makanan, selain memperhatikan apakah makanan ini halal, kita juga harus makan makanan yang baik.
Kata halal selama ini terafiliasi pada tatanan yang sudah ditentukan Tuhan. Hukum dasar dari makan adalah boleh, sehingga pada dasarnya kita boleh memakan semua makanan yang ada di atas bumi, tetapi Tuhan memberikan larangan pada beberapa jenis makanan, semisal babi, anjing, hewan yang disembelih tanpa menyebut asma Allah dan lain-lain. Itu pun tak mutlak haram, dalam kondisi tertentu, kita masih diperbolehkan memakan babi, semisal saat sudah tak ada makanan sama sekali dan yang ada hanya babi, apabila kita tak makan babi itu, kita bisa mati, sehingga hukum asal babi yang semula haram bisa bergeser karena keadaan tertentu.
Tapi hal-hal ini tampaknya diterjang betul oleh banyak produsen produk. Banyak produsen yang nyata-nyata menurunkan derajat halal-haram yang semula adalah otoritas Tuhan, menjadi otoritas perkumpulan ulama. Bahkan kabar terbaru yang beredar, di salah satu Fakultas MIPA perguruan tinggi negeri di Jawa Timur terdapat pusat studi halal haram yang program mereka adalah membuat sensor makanan halal. Jadi mereka berusaha membuat sebuah alat sederhana yang dapat mendeteksi keberadaan zat yang berasal dari bahan yang semula berhukum haram semacam babi.
Perkembangan yang terpantau, mereka sudah membuat berbagai alat pendeteksi daging dan lemak babi, sehingga saat ada kandungan babi dalam produk makanan yang akan kita makan, kita bisa memastikannya dengan mudah.
Lalu apa faedah sains ikut mengurusi soal halal haram? Bukankah selama ini sains selalu merasa lebih keren dan ilmiah karena pendekatan yang mereka gunakan adalah empiris. Seperti halnya mereka mengatakan bahwa alam gaib bukanlah sesuatu yang ilmiah, karena mereka tak bisa menjelaskan adanya mahluk gaib dengan pendekatan empiris. Lalu bagaimana alat-alat yang mereka buat dapat mendefinisikan daging sapi yang hukumnya haram karena menyembelihnya tanpa menyebut nama Allah?.
Pembuatan sensor ini pun sebenarnya bukan sesuatu yang nihil faedah. Tetapi kurang tepatnya pengunaan kata halal. Karena halal bukanlah otoritas manusia. Lebih baik mengunakan istilah sensor kandungan babi, sensor kecukupan gizi, atau kalau mau mengunakan istilah agak islami, gunakan saja sensor toyib. Karena toyib ukurannya adalah memakan makanan yang baik nan bergizi serta cukup kandunagn gizinya. Dan toyib dapat diukur secara empiris. Dari pada harus memaksa menggunakan kata halal.
Lalu saat banyak sekali produk yang mulai menggunakan kata-kata yang kurang tepat semacam halal. Apakah ini bukanlah sebuah bukti yang nyata kalau sains dan ekonomi telah menunggangi Islam dan sebuah bentuk pendangkalan dalam pemaknaan istilah-istilah dalam Islam? Wallahu A’lam
Muhammad Bakhru Thohir, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja. Bisa disapa lewat akun twitter @Bakhru13