Pencarian Al-Ma’mun dan Pengetahuan yang Hilang (Bagian 2-habis)

Pencarian Al-Ma’mun dan Pengetahuan yang Hilang (Bagian 2-habis)

Pencarian Al-Ma’mun dan Pengetahuan yang Hilang (Bagian 2-habis)

Kagandrungan Al-Ma’mun  pada astrologi, tafsir posisi bintang, membuatnya selalu bertanya apa arti posisi bintang tertentu pada dirinya. Pencarian astrologis yang ditugaskannya pada para nujum di istananya itu berbuah berkah yang bisa jadi tak disangka orang: perkembangan ilmu astronomi dan penemuan alat-alat untuk mencandra pergerakan benda-benda langit.

Para ilmuwan ahli bahasa, ahli hitung, ahli ukur, hingga ahli ramal ia pekerjakan untuk sejumlah misi. Mereka berasal dari berbagai bangsa dengan latar belakang agama yang berbeda-beda. Salah satu penerjemahnya yang  paling produktif dan  terkemuka, Hunayn ibn Ishaq adalah seorang yang beragama Kristen Nestorian.

Situasi yang melingkupi al-Ma’mun adalah buah dari ekspansi kekuasaan dinasti islam yang kian meluas. Membentang dari jazirah Arab hingga Spanyol. Menjumpai berbagai pengguna bahasa, kebudayaan, dan agama. Mulai dari Yahudi, Kristen dari berbagai sekte, Hindu, Zoroaster, kaum Sabean pemuja bintang,  dari bangsa Persia, Mesir, Romawi, Cina, dan India. Semua itu berpengaruh pada atmosfer intelektual dunia islam saat itu.

Pada titik ini, al-Ma’mun tahu, bahwa pencariannya pada ilmu pengetahuan mensyaratkan hal yang tidak bisa disangkal: keterbukaan. Tidak gentar pada yang asing. Tidak cemas pada kemungkinan-kemungkinan baru. Sebagai seorang yang memahami kaidah ilmu, ia sangat sadar bahwa upaya pencaraian ilmu pengetahuan akan selalu mengguncang keyakinan dan pengetahuan lama. Karena itu, juga karena menjadi pengikut mu’tazilah yang teguh, dia sangat ingin menjaga keterbukaan dan kebebasan berpikir agar tidak terkungkung pada pengetahuan lama.

Dalam salah satu mimpinya, Ia bertemu seorang bijak bestari, Aristu—lidah Eropa menyebutnya Aristotle—, filsuf bangsa Yunani, yang memberinya nasihat: agama dan ilmu pengetahuan bukan pertentangan dan upayanya mempelajari hal-hal dari bangsa asing bukanlah ancaman buat kaum muslimin yang dipimpinnya.

Di bawah lindungan kuasanya yang bersandar kepada kebebasan berpikir, para intelektual dari berbagai agama itu secara bebas mengeksplorasi berbagai kemungkinan dan kemustahilan. Baghdad menjadi melting pot berbagai tradisi intelektual yang selama berabad sebelumnya terpisah karena pemilahan politis. Di antaranya, mempertemukan Hellenisme dengan tradisi intelektual Hindustan.

Al-Ma’mun dibesarkan dalam lingkungan yang gandrung ilmu pengetahuan, bukan hanya ilmu-ilmu tradisional kaum muslimin tapi juga ilmu-ilmu asing yang lebih luas.

Ia menjaga warisan perpustakaan terbesar di zaman itu dari ayahnnya, mengembangkannya menjadi pusat penerjemahan karya-karya Yunani. Di masa depan—ia mungkin tak menyangka—orang perlu berdebat apakah yang dilakukan generasinya itu sekadar melakukan proyek penerjemahan karya klasik Yunani dan Persia atau juga menambahkan, mengolah, dan mengunyahnya menjadi ilmu pengetahuan baru.

Untuk impian seperti itu, harga yang dibayar pun mahal. Sangat mahal. Bukan hanya ia harus mengeruk kas negara untuk membayar mahal para ilmuwan dan penerjemah yang membuat pusing para bendahara istana, ia pun perlu mengerahkan aparat kekerasan demi memastikan proyek pencarian pengetahuan tidak direcoki oleh perkara-perkara tahayul dan keagamaan.

Sejarah kemudian mencatat peristiwa Mihnah yang diluncurkannya 4 bulan sebelum ia lengser dari kekhalifahan di tahun 833 masehi dan kemudian berkembang tanpa kendali puluhan tahun berikutnya di bawah dua khalifah penggantinya.  Melalui Mihnah ini—yang dicatat sebagai sejarah kelam terutama oleh kalangan ulama sunni—dilakukan pemeriksaan apakah seseorang percaya al-Qur’an adalah mahkluk atau bukan. Mereka yang tak percaya bahwa Al-Quran adalah makhluk akan dihukum.

Ketika semburat merah di langit mulai luntur ia beranjak dari balkon. Langkahnya berat. Tidak jelas, apakah ia sadar jika tiga generasi berikutnya, Bait al-Hikmah yang dibangunnya dengan keringat dan darah itu, luntur dan runtuh di tangan Khalifah al-Mu’tashim yang lebih gandrung kepada kepercayaan berbasis tafsir literal atas al-Qur’an dan Hadis, yang kemudian mengembalikan umat islam kepada kepercayaan tradisional mereka.

Langkah berat al-Ma’mun membawanya masuk ke dalam  perpustakaan raksasanya.   Ia tidak menunggu bulan muncul. Mungkin ia akan menunggunya dan menatapnya dalam-dalam jika ia tahu bahwa sekian abad nanti—atas jasa-jasanya dalam mempelopori pembuatan alat-alat untuk mempelajari gerakan benda-benda langit— para ilmuwan dunia menamai salah satu cekungan di permukaan bulan itu demi mengenang namanya: almanon. [Habis]

Heru Prasetia, Penulis lepas.

Tulisan sebelumnya: Pencarian Al-Ma’mun dan Pengetahuan yang Hilang (Bag-1)