Pencabutan RUU PKS: Ketidak-Sadaran Anggota Dewan Terhadap Tranformasi Seksualitas?

Pencabutan RUU PKS: Ketidak-Sadaran Anggota Dewan Terhadap Tranformasi Seksualitas?

Anggota dewan tidak sedang menunggu, namun sedang tidak sadar bahwa saat ini anak-anak mereka tengah berada dipusaran arus evolusi iklim seksualitas baru.

Pencabutan RUU PKS: Ketidak-Sadaran Anggota Dewan Terhadap Tranformasi Seksualitas?

Soal dicabutnya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), berikut adalah penggalan berita dari Tirto.id:

“Komisioner Komnas Perempuan―Alimatul Qibtiyyah―menilai, pembahasan RUU ini seharusnya mudah, terlebih jika ada kesepahaman mengenai urgensi masalah kekerasan seksual. Menunda pembahasan hanya menunjukkan bahwa para wakil rakyat tak paham bahwa ini adalah masalah genting.”

Konstruksi Seksualitas di Indonesia

Di samping jumlah angka statistik kasus kekerasan seksual yang terekam oleh berbagai institusi yang sangat mengkhawatirkan, kemunculan fenomena-fenomena yang mengindikasikan betapa tidak sehatnya konstruksi seksualitas di Indonesia juga bermunculan setidaknya sejak satu tahun terakhir.

Indikasi-indikasi ini merentang mulai dari: kasus tataran verbal seperti kasus pernyataan patriarkis Kapolri Idham Aziz dan kasus unggahan video seorang polisi yang mengatakan “pacar kamu ganteng? Kaya? Bisa gini gak (sambil mengisi ulang senjata api sebagai metafora maskulinitas)?”; hingga kasus tataran agamis, yang baru-baru ini naik daun dalam bentuk seminar poligami.

Indikasi ketidak-sehatan konstruksi seksualitas di Indonesia tidak hanya terlihat di kehidupan orang dewasa, namun juga terlihat di kehidupan remaja (kurang lebih usia 14-18 tahun) dan anak-anak muda (usia 19-30 tahun). Disadari atau tidak, remaja dan anak muda saat ini mendapat paparan sekaligus lingkungan yang lebih erotik dibanding generasi sebelum mereka.

Seksualitas: Dulu dan Sekarang

Generasi sebelum mereka (Orang tua mereka, yang mengalami masa muda di era 1980-1990an), hanya dapat menikmati suguhan erotik ketika mengunjungi bioskop ataupun membeli majalah dewasa, yang kebetulan pada masa itu, Era Soeharto cenderung melonggarkan konten pornografi untuk mengalihkan perhatian publik terhadap isu kekuasaan. Kondisi media pada era itu tentu serba terbatas, baik secara lokasi ataupun secara durasi.

Hal ini menjadikan konsumsi konten erotik generasi tua tidak seberkelanjutan sebagaimana yang dialami oleh remaja dan anak muda masa kini dengan kemudahan gawainya. Meskipun tidak menutup kemungkinan juga bahwa, bisa jadi bobot erotikanya cukup intens. Namun akses generasi tua terhadap konten erotik mendapat penyempitan yang luar biasa karena terjadinya ‘reformasi’ perfilman Indonesia saat menjelang era millenium.

Generasi tua perlu menunggu setidaknya satu dasawarsa untuk mendapatkan kembali kebebasan erotik. Di tahun 2010, gawai cerdas masuk Indonesia dan pertumbuhannya semakin mirip kacang goreng. Selama satu dasawarsa masa penantian, DVD erotik yang dijual sembunyi-sembunyi oleh penjaja kaset di pinggir jalan menjadi media alternatif bagi generasi lama. Sejak ada gawai, pelanggan pedagang kaset terserap oleh gawai.

Berbeda dengan generasi analog yang tumbuh di lingkungan media ‘satu arah,’ remaja dan anak muda saat ini tumbuh di lingkungan media interaktif. Interaktifitas memudahkan remaja dan anak muda dalam menyerap muatan erotik yang tersaji di dalam video-clip, musik, film, anime hentai, diksi bahasa slank yang vulgar, meme, konten Instagram, Tinder dan lain-lain tanpa batas ruang dan waktu.

Ada dua implikasi dari kemajuan teknologi tersebut terhadap kehidupan mereka: pertama, interaktifitas di dunia digital secara tidak langsung memberikan medan latihan untuk membelah mana identitas daring dan mana identitas luring. Generasi terdahulu tumbuh di lingkungan analog yang tidak kondusif untuk melakukan praktek penggandaan identitas. Sedangkan remaja dan anak muda masa kini terlahir di lingkungan digital yang sangat kondusif untuk praktek penggandaan identitas.

Oleh karena itu, sebagian remaja dan anak muda masa kini jauh lebih piawai dalam menyembunyikan dan memanipulasi ekspresi seksualnya, serta lebih leluasa menjelajahi fantasi erotiknya dibanding generasi sebelum mereka.

Kedua, kemajuan teknologi tersebut memengaruhi arah kompas seksualitas dan corak konstruksi maskulinitas/feminimitas remaja dan anak muda. Kemajuan teknologi membuat mereka lebih akrab dengan intrik seksual dan eksperimen konstruksi maskulinitas/feminimitas diri. Sebut saja, dua narasi populer masa kini yang mungkin akan berpengaruh besar di masa depan: Game of Thrones dan The World After Marriage.

Ketika dua implikasi tersebut semakin nyata, sayangnya, di saat yang sama, piranti kontrol sosial kita (baik yang berupa pendidikan ataupun doktrin moral dan norma ataupun agama) cenderung stagnan pada bahasa ideologis yang abstrak, judgemental dan hitam-putih, sehingga tidak mampu untuk menyediakan literasi tubuh, gender dan seksualitas yang memadai untuk memitigasi akibat yang ditimbulkan dari evolusi corak dan arah seksual/gender masa kini.

Dalam konteks masyarakat patriarki, beban evolusi corak dan arah tersebut akan menjadi semakin berat karena turut memperbesar kerentanan perempuan. Akibatnya, evolusi arah dan corak tersebut memiliki tendensi mengarah―salah satunya―pada pelanggengan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Cakupan KBGO tentu luas. Namun ambillah contoh yang paling vulgarnya, chat-seks (sexting).

Chat-Seks

Dalam bunga rampai yang bertajuk Sexting: Motives and Risk in Online Sexual Self-Representation (2020), misalnya menunjukkan beberapa kenyataan pahit:

(1)sexting bersama orang yang bukan pasangan (kenalan jauh, baru kenal, teman) cenderung lebih bebas dari tanggung jawab karena memiliki peluang penutupan/pemalsuan identitas diri.

(2)sexting sering kali melibatkan pemaksaan dalam menerima ataupun mengirim gambar erotik yang tidak dikehendaki.

(3) Terlepas dari konsen seksual, remaja ataupun anak muda mempraktikkan sexting sebagai sarana yang aman untuk meretas aturan agama tentang larangan hubungan badan.

(4) Sexting sering kali memuat relasi gender yang timpang dan tanpa konsen. Selain kerap memaksa dan mengancam perempuan, laki-laki juga cenderung mendapat pengakuan maskulin dari lingkaran sekitarnya ketika mau membeberkan keberhasilan sexting-nya. Sementara perempuan terjebak pada keterbatasan ruang gerak untuk bersuara karena dibayang-bayangi oleh stigma negatif.

Dalam penelitian serupa, Sexting and Young People (2015) yang ditulis oleh Thomas Crofts dkk. mengemukakan kenyataan yang lebih pahit, bahwa mereka lebih legowo melakukan sexting bersama orang yang tidak dikenal, baru kenal, atau hanya berstatus ‘teman’ dibanding bersama pasangan romantik mereka.

Selain itu, Crofts dkk. juga memaparkan motivasi di balik sexting: bagi perempuan adalah, (1) untuk besenang-senang, (2)sebagai hadiah, dan (3)untuk menguji rasa percaya diri. Sedangkan bagi laki-laki, motivasi sexting adalah, (1)untuk bersenang-senang, (2)sebagai balasan karena telah dikirimi ‘sesuatu’ oleh lawan jenis, dan (3)sebagai hadiah.

Iklim Seksualitas Baru

Laporan yang telah dipaparkan di atas menampung indikasi-indikasi bahwa iklim seksualitas remaja dan anak muda saat ini: rawan intrik; menyimpan potensi pragmatisme berpasangan; kental potensi konflik dan kekerasan gender; dan cenderung rawan manipulasi identitas karena kepiawaian membelah identitas seksual di dunia daring dan luring.

Generasi analog perlu menunggu satu sampai dua dasarwasa sampai grup Whatsapp Reuni Sekolah hadir agar bisa mencoba ulang negosiasi seksual terhadap kekasihnya di masa sekolah. Generasi masa kini, sudah terlatih untuk bernegosiasi seksual sejak dini.

Ketika dampak evolusi arah dan corak seksual tidak segera ditangani, maka pola-pola yang tergambar di laporan di atas akan semakin nyata terjadi. Dan hal itu tidak hanya membenarkan apa yang disebut sosiolog Hartmut Rosa bahwa “perceraian dan intrik akan dianggap ‘biasa’ bagi pasangan di masa depan,” namun juga akan mengulang apa yang dialami Audrey, akan melahirkan Ibrahim Malik baru, dan yang paling pamungkasnya adalah: bisa jadi revenge porn akan menjadi andalan bagi laki-laki yang maskulinitasnya terancam.

Masih mengutip dari berita yang sama dengan di awal tadi, Alimatul Qibtiyyah berkomentar “mereka [DPR] tidak harus menunggu istri, anak perempuan saudara perempuan jadi korban dulu untuk menyadari bahwa permasalahan kekerasan seksual itu nyata dan harus segera ditangani.”

Sepertinya, anggota dewan tidak sedang menunggu, namun sedang tidak sadar bahwa saat ini anak-anak mereka tengah berada dipusaran arus evolusi iklim seksualitas baru. Dengan dicabutnya RUU PKS, anggota dewan tengah membiarkan transformasi zaman ke arah konstruksi seksual yang semakin tidak sehat tanpa persiapan menyambut kemungkinan terburuk.