Polarisasi dalam Pemilu kali ini begitu mengkhawatirkan. Hingga kemudian kedua kubu saling adu serangan yang kebanyakan malah jauh dari substansi perdebatan politik yang sehat. Misalnya, kubu pendukung fanatik petahana menjuluki kubu oposisi dengan julukan “kampret”. Begitu pula sebaliknya, kubu oposisi memberikan istilah yang tak kalah sinis kepada kubu pendukung petahana, yakni “cebong”.
Pertama, istilah kampret konon katanya adalah sebutan untuk hewan kelelawar yang tidurnya menggantung di atas pohon dengan posisi kepala berada di bawah. Oleh kubu pendukung petahana, istilah olok-olok itu bukan tiada maksud. Kampret atau hewan yang saat tidur kepalanya berada di bawah adalah simbol minus akal yang disepadankan dengan kelompok pecinta dan pengiman bumi datar (flat earth) yang tak rasional.
Kedua, sedangkan istilah cebong yang disematkan untuk para pendukung petahana adalah sebutan untuk anak kodok, yakni kecebong (menjadi cebong). Hal ini bermula dari kebiasaan sang petahana, Presiden Jokowi yang sering memberikan makan kodok di kolam istana. Dan dari situlah istilah olok-olok yang sinis itu lahir.
Kemudian, seiring mendekati hari pelaksanaan Pemilu pada 17 April kedepan, perdebatan yang lebih tampak seperti pertikaian itu menjadi semakin mengkhawatirkan. Antar kubu lebih mendahulukan emosionalitas dan menanggalkan nalar kritis dalam adu argumentasi politiknya. Dan yang lebih mendominasi adalah adu kemarahan dan yang paling mengkhawatirkan adalah adu kerumunan massa.
Dalam situasi yang demikian tegang ini, rasa-rasanya kita perlu untuk mendaras lagi nasihat-nasihat Gus Dur. Suatu waktu ketika Gus Dur hendak dilengserkan dengan cara yang tak konstitusional, ada tiga ratusan ribu barisan pendukung Gus Dur yang siap jihad membela sang guru bangsa untuk mempertahankan jabatan politiknya.
Apa yang dilakukan Gus Dur? Barangkali jika beliau adalah pemimpin yang hanya mempertimbangkan kepentingan pribadinya, pasti beliau akan mengobarkan pertarungan jalanan untuk mengamankan jabatan politiknya. Tapi bagi Gus Dur tidak demikan, menurutnya “jabatan di negara ini tingginya seberapa sih Presiden itu,kok sampai harus menetekan darah manusia Indonesia”.
Bagi Gus Dur, yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Terbukti dari sikap politiknya pada waktu itu, yang akhirnya menolak untuk menggunakan pertarungan jalanan hanya untuk sekedar mempertahankan kekuasaan politik. Dan Gus Dur benar, yang paling penting dari perjuangan politik itu bukanlah ambisi pribadi, tapi bagaimana demokrasi dapat dilaksanakan secara konsekuen dan substantif.
Begitu pula yang terjadi pada fenomena belakangan ini, yang tampak dari pertarungan dua kubu pada Pemilu kali ini hanyalah ambisi kelompok belaka. Segala cara dihalalkan demi keuntungan antar masing-masing pihak. Pertarungan politik yang penuh ambisi yang minus rasionalitas dan kritisisme ini bukanlah tanpa konsekuensi.
Kebencian terhadap kubu lawan menjadi tidak sewajarnya pertarungan gagasan politik dalam rangka mencari kandidat pejabat yang paling berintegritas. Bagi antar kubu, kini pilihan politik bak menjadi semacam agama baru yang tak mengedepankan rasionalitas. Hal ini menjadi bentuk baru fanatisme yang berbahaya, karena perbedaan tak lagi dihormati.
Dan pastinya, sebagaimana fanatisme dalam segala hal, fanatisme politik bukanlah hal yang sehat. Orang-orang fanatik secara kognitif sangat sulit menerima kritik dari pihak lain, sekalipun kritiknya itu sangat jujur dan benar. Sebabnya, nalar yang dilakukan oleh kaum fanatik adalah logika kecurigaan.
Dalam kondisi yang demikian ini, terlebih lagi hari pelaksanaan Pemilu semakin dekat. Sudah layaknya kita merefleksikan kembali nasihat Gus Dur bahwa “yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan”. Karena perjuangan demokrasi masihlah panjang dan jauh, tak perlu kita bertengkar-tengkar hanya gara-gara Pemilu lima tahunan ini. Wallahua’lam.
M. Fakhru Riza, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.