Saat Armee d’egypte (pasukan ekspedisi) Perancis di bawah komando Napoleon Bonaparte tiba di Mesir tanggal 2 Juli 1798, Napoleon langsung menyatakan kalimat–yang tidak akan pernah dilupakan penduduk Iskandariyah–‘Kami adalah orang Islam Sejati’(Said, 2010: 122-123).
Tidak sampai disitu, untuk menarik simpati rakyat Mesir, Napoleon mengundang 40 Ulama Al-Azhar ke kantornya dan diberi penghormatan militer dengan khidmat. Napoleon juga menunjukan sikap hormatnya terhadap Islam, dengan memamerkan keakraban pengetahuannya tentang nabi Muhammad dan Al-Qur’an kepada para ulama tersebut. Edward Said tidak menapik kekaguman Napoleon atas Islam, bahkan ia menambahkan bahwa Napoleon selalu mengutip karya ‘Mahomet’-nya Voltaire dan Goethe untuk membela Islam.
Bandingkan dengan kalimat yang dipakai bangsa Spnayol saat melakukan penaklukan di India dalam dokumen Requerimeinto yang ditulis tahun 1513:
“Kami akan mengambil kalian, istri-istri kalian, dan anak-anak kalian, untuk dijadikan budak, dijual atau digunakan sesuka hati oleh Yang Mulia (raja dan Ratu Spanyol). Kami juga akan merampas harta benda kalian dan melakukan penyiksaan serta perusakan—bagi kalian, wali-wali negeri yang tidak mau tunduk’—dan seterusnya.”
Kita mendapati dua watak berbeda dari tradisi kolonialisme Eropa terhadap ‘Timur’ atau ‘Islam.’ Namun dapat dipelajari bahwa sikap Spanyol terbukti membuat mereka menjadi imperium tua yang lebih cepat uzur dari perkiraan, sedangkan Prancis (juga dengan Inggris) justru bertahan lebih lama karena sikap ‘lembut’ dan hati-hati mereka terhadap kaum muslim.
Ketika Macron Presiden Perancis memilih untuk menutup puluhan mesjid dan sekolah Islam di tanah airnya atas peristiwa Pembunuhan seorang guru sejarah, kita menyadari bahwa ia tidak belajar banyak dari Napoleon. Namun apabila ia meniru sikap yang lebih kuno, kasar dan tidak terhormat seperti bangsa Spanyol dimasa lampau dengan memilih diskriminasi dan memanfaatkan sentimen Islamophobia untuk mendapatkan perhatian publik, Perancis sangat jelas sedang dalam kemunduran.
Kemunduran ini tidak begitu terlihat pada tanggal 28 Mei 2018 saat Presiden Macron memberikan medali Médaille d’honneur pour acte de courage et de dévouement kepada Mamouda Gassama. Seorang imigran muslim yang viral ketika menyelamatkan seorang anak yang terjepit dibalkon lantai empat dengan cara memanjat seperti laba-laba. Macron langsung menghadiahi imigran ini status kewarganegaraan.
Macron mungkin menyadari betapa pentingnya hak diakui sebagai warga negara, sebagaimana hak-hak dasar lainnya seperti kebebasan untuk beribadah dengan mesjid sebagai suatu pengecualian. Bulan Januari 2020, sebagai seorang Presiden yang melakukan kunjungan ke Gereja St. Anne di Israel, Macron sempat mengalami peristiwa tidak menyenangkan saat diganggu oleh pihak keamanan Israel.
Ia protes dengan bahasa Inggris; “Everybody know the rules. I don’t like what you did in front of me.”
Macron mengingatkan pihak keamanan Israel bahwa Gereja tersebut dibawah teritorial Perancis. Tahun 1856 Ottoman Turki memberikan gereja itu kepada Perancis. Kalimat yang diucapkan Macron tersebut mewakili keadaan azali dari persoalan guru sejarah yang dipenggal tersebut. Atas peristiwa tersebut, tidak ada pembelaan bagi pembunuhan semacam itu baik dari setiap agama maupun Islam sendiri.
Kesamaan Macron dan pembunuh tersebut adalah perasaan‘tidak suka.’ Dalam hal ini pembunuh guru sejarah tidak menerima apabila orang yang selalu ia puji dan menjadi mercusuar segala tindakannya dihina oleh karikatur yang dibuat dengan maksud mengejek.
Peristiwa ini membuat kita perlu merenungkan kembali apa arti kebebasan berpendapat yang dimaksud Presiden Macron. Mengingat tidak ada yang tahu persis—malah dilarang—penggambaran fisik dan wajah Nabi umat Islam tersebut.
Apakah penghinaan terhadap orang yang dianggap suci oleh suatu agama diperbolehkan? Untuk dicemooh secara fisik, bahkan tanpa referensi?
Kemerdekaan, kata ki Hajar, seperti hidup bertetangga. Anda bebas melakukan apapun asal tidak mengganggu kebebasan tetangga anda. Bukan berarti anda bisa menghina tetangga anda selama anda tetap dirumah anda, lalu kemudian tetangga anda tidak berhak untuk protes. Mungkin jika tetangga anda membunuh anda, ia bersalah. Namun penghinaan yang anda lakukan juga tidak bisa dibenarkan.
Liberte atau kemerdekaan yang dimaksud Presiden Marcon adalah kebebasan yang spesifik. Kebebasan yang sesuai dengan nilai-nilai Perancis. Tentu saja kebebasan yang sama tidak akan berlaku bagi siapapun diluar ‘nilai-nilai’ Perancis.
Para Imigran di sana selalu kesulitan mendapatkan status kewarganegaan Perancis. Namun berbeda jika anda adalah pemain sepakbola handal. Dari Zidane hingga Pogba, pemain sepakbola Afrika-Muslim selalu berhasil membuat Perancis juara dunia.
Tahun 2018, para pemain sepakbola muslim Afrika dianggap menjadi kunci Perancis menjadi Juara Dunia. Trevor Noah sebagai seorang Stand Up Comedian Amerika Serikat pernah menyinggung ini dalam channelnya dengan menyatakan bahwa tahun 2018 bukan kemenangan Prancis, tapi kemenangan Afrika. Ia kemudian ditegur oleh Duta Besar Perancis di AS atas pernyataannya tersebut dengan menyebut bahwa 21 pemain timnas Perancis mendapatkan pendidikan di Perancis sehingga mereka memiliki keprancisan (Frenchness).
Jika benar setiap pemain berkulit hitam Timnas Perancis dipersatukan oleh keprancisannya, lantas karena mereka adalah keturunan Afrika, apakah keliru—“jika kami keturunan Afrika,” kata Trevor Noah—merayakan kemenangan Timnas Perancis dari segi Keafrikaannya? Protes Duta besar tersebut menunjukan bahwa Perancis dengan segala keprancisannya belum siap untuk menerima jenis kebebasan yang timbal balik. Kebebasan yang dimaksud adalah suatu keistimewaan yang kini bisa didapatkan banyak orang setelah senjakala kolonialisme.
Soal Karikatur Nabi Muhammad bukan hal baru di Perancis. Tahun 2011 Majalah satir Charlie Hebdo merilis majalah mingguan mereka dengan karikatur nabi Muhammad dibagian depan. Baru tanggal 7 Januari 2015 terjadi penembakan di kantor majalan tersebut, dua belas orang pegawainya tewas. Saat itu, sama dengan sekarang, dukungan terhadap karikatur juga terjadi secara masif. Tahun 2015 muncul hastag ‘Je suis Charlie’ (saya bersama Charlie) sebagai bentuk dukungan. Menariknya pertanyaan seorang Kolumnis saat itu mengajukan pertanyaan;
“Apakah mungkin majalah kiri di Venezuela di bom dan ditembaki oleh teroris Islam, Al-Qaeda dan organisasi sejenis?Venezuela tidak melakukan kolonialisasi di Mesir, Suriah, Aljazair, mengendalikan sumber daya dan perdagangan disana serta mengendalikan angka pengangguran. Singkat kata tidak ada alasan bagi penduduk muslim di Timur Tengah untuk membuat masalah di Venezuela. Lain soal di Perancis.”
Islam tidak menghargai kebebasan berpendapat barulah separuh cerita. Cerita yang lebih nyata, adalah jutaan orang yang kehilangan pekerjaan, menjadi pengangguran, pengungsi, imigran akibat konflik di Timur Tengah yang kalau dirunut merupakan mahakarya Kolonialisme Eropa di tanah Arab—dan Perancis terlibat dengan sangat dalam atas kondisi buruk tersebut. Melindungi investasi sumber daya alam, penjualan senjata, pembagian wilayah, pasar produk, dan modal transaksi yang dikeruk dari Timur Tengah atau negara-negara Islam untuk dipusatkan di Pasar saham Perancis tentu saja mengundang penduduk terjajah untuk mengambil kembali hak-hak mereka dengan segala cara.
Para imigran muslim-Afrika berada di Perancis bukan hanya karena tidak ada pekerjaan di negeri mereka, namun kesempatan bekerja dari sumber daya yang dimiliki tanah airnya telah diangkut oleh sistem ekonomi yang tidak adil dimana negara maju seperti Perancis memusatkan modal di negaranya. Para imigran hanya datang menagih warisan leluhur mereka.
baca juga: Napoleon, Ekspansi Mesir dan Peradaban Islam
Inilah yang menyebabkan sikap anti-imigran di Perancis karena mereka melupakan bahwa kemajuan dan keistimewaan ekonomi Perancis yang selama ini mereka miliki adalah hasil rampasan kolonialisme yang panjang. Setiap jengkal fondasi bangunan pemerintah, rumah sakit dan universitas Perancis bercampur darah-keringat-air mata perampasan kolonialisme leluhur—para imigran. Sayang sekali jika fakta semacam ini tidak dijelaskan di sekolah Perancis oleh para guru sejarahnya. Sementara itu mereka sibuk membicarakan orang Islam yang ‘mengancam’ keprancisan.
Separuh penduduk Afrika yang dipindahkan untuk diperbudak, dipisahkan dari kebudayaan dan tanah leluhurnya selama ratusan tahun dipaksa untuk mengenal identitas baru bernama ‘Perancis.’ Pose anak berkulit hitam Afrika yang sedang hormat menghadap bendera Perancis telah menjadi salah satu kajian menarik dalam semiotika. Roland Barthes membahasnya begitu mendalam hanya untuk menunjukan betapa ironinya ‘keprancisan’ bekerja terhadap orang-orang Afrika paska kolonial.
Sebagai guru sejarah, dipenggal di depan sekolah merupakan gambaran yang traumatik betapa berbahayanya berpendapat dihadapan orang yang tidak menerima perbedaan.
Memang dalam Islam terdapat kelompok seperti ini yang merasa memiliki tafsir tunggal atas kitab suci Al-Qur’an. Namun gerakan untuk kembali pada teks Al-Qur’an dengan sangat tekstual (belakangan disebut Fundamentalis) bukan lahir dari ruang hampa dan begitu saja dilahirkan dari agama Islam seolah-olah agama yang dibawa Nabi Muhammad tersebut memang mengandung kejahatan, kegilaan dan niat untuk menguasai kaum kristiani sebagaiman doktrin dalam tradisi Orientalis selama ini.
Bagaimanapun gerakan fundamentalisme Islam hari ini merupakan produk modernitas. Ujaran agar kembali ke teks Al-Qur’an merupakan dampak dari rasa frustasi atas kolonialisme karena hanya pada agama, mereka yang terjajah ini, bertahan dari keadaan tidak berprikemanusiaan selama ratusan tahun.
Masyarakat Perancis mungkin baru saja kehilangan suatu keistimewaaan negara-negara demokratis-sekuler; kebebasan berpendapat. Peristiwa ini menyadarkan mereka betapa pentingnya menjaga kebebasan berpendapat. Namun ada baiknya kebebasan semacam ini diperluas bagi setiap orang yang hidup di Perancis untuk merasa aman dalam beribadah, memakai hijab, bikini dan burkini (pakaian berenang namun tertutup yang diminati perempuan muslim) sekaligus. Harusnya telanjang bulat dan memakai burka sama-sama dipandang sebagai pilihan bebas. Namun polisi Perancis memilih untuk menyinggirkan mereka yang tidak memakai bikini di pantai dan mengusir pemakai Burkini (CNN, 24/8/2016).
baca juga: tulisan Gus Dur terkait Islam, Jilbab dan demokrasi di Perancis
Jika Perancis masih memakai kacamata bahwa ‘negara harus menang dan kuat dihadapan teror’ tanpa melakukan perbaikan pada ‘dosa awal’ kolonialisme yang selalu bisa menjadi jawaban mengapa tidak muncul suatu kesadaran reflektif mengenai pentingnya tidak menghilangkan teror dominasi politik-ekonomi; peristiwa yang sama akan terus terjadi tanpa jawaban yang lengkap. Sehingga orang-orang lebih memilih jalan pintas untuk menganggap Islam sebagai agama teror sambil melupakan teror terpanjang dalam sejarah yang dilakukan Imperium Perancis diberbagai belahan dunia.
Sebagai negara bekas jajahan, satu orang Perancis seperti Daendels yang memerintah di Pulau Jawa kurang dari lima tahun, cukup memberikan ingatan bahwa teror atas nama bangsa Perancis lebih menakutkan karena telah menciptakan perbudakan panjang saat pembangunan jalan Anyer-Panarukan.
Dibandingkan dengan tindakan Daendels di Hindia Belanda (Indonesia), pembunuhan dan teror di Perancis—terlepas atas nama agama Islam atau bukan—bukanlah jenis kehilangan yang setara secara kuantitatif. Daendels melaksanakan perbudakan dengan cara resmi, atas nama negara, berbeda dengan pelaku teror yang melaksanakan pembunuhan atas dasar pilihan invidual yang sebenarnya, masuk dalam tindakan kriminal dan seharusnya—tampa embel-embel teroris Islam.
Sedangkan Penjelasan tidak lengkap mengenai sejarah bisa membuat orang melupakan, dengan bias tertentu, membela tindakan penghinaan dan menyalahkan orang tidak bersalah; seperti menutup sekolah dan tempat ibadah yang tidak berhubungan dengan teror yang sedang terjadi. Perancis boleh memilih sikap untuk melupakan kolonialisme dan hanya mengingat Islam sebagai agama teror, begitupun dengan kebebasan yang sama kita tentu saja boleh hanya mengingat bahwa semua peristiwa ini adalah kelanjutan dari kolonialisme yang merusak. Kita hanya memiliki kesempatan untuk meperbaikinya di masa depan. Jikalau memang kita mau memulainya.