Pemblokiran indoxxi merupakan akrobat negara dalam meunjukkan kuasa di ruang publik. Bagaimana muslim bersikap? ‘Kaum rebahan’ berang. Salah satu situs hiburan yang sangat populer diburu oleh pemerintah dan dipaksa untuk menutup layanannya. Setelah bergonta-ganti domain, indoxxi akhirnya menyerah. Mereka akan menutup layanan itu pada tanggal 1 Januari 2020. Keputusan ini diyakini akan menjadi hari berkabung nasional. Bukan tidak mungkin tanggal 31 Desember 2019 diingat sebagai hari pahlawan nasional di era digital. Keyword indoxxi pun menjadi topik yang banyak dibicarakan.
Bagi banyak orang, indoxxi bukan hanya penyedia film-film internasional. Situs ini merupakan Robin Hood yang memberi hiburan gratis bagi kalangan tak beruang di tengah komersialisasi hiburan yang tak lagi ramah kantong. Apakah indoxxi penjahat? Ya, bagi kalangan yang masuk dalam sistem industri, indoxxi adalah musuh besar. Mereka dicap sebagai pencuri karena tidak memberikan sumbangsih pada nilai-nilai komersil.
Namun mari flashback sejenak. Saya ingat bagaimana Tri Retno Prayudati alias komedian Nunung bercerita. Di awal-awal masuk dunia hiburan dia harus naik Kopaja untuk mencapai studio televisi. Kehidupannya begitu keras dan jauh dari kehidupan gemerlap ibu kota. Malahan kehidupan mereka lebih dekat dengan kekerasan dan tangis kemiskinan.
Cerita-cerita seperti itu biasa kita dengar dari para aktor yang seangkatan dengan Nunung atau bahkan lebih senior. Contoh kecil bagaimana sinetron Si Doel yang melegenda digarap dengan memanfaatkan aktor ‘seadanya’. Hasilnya, sinetron tersebut menyentuh kalangan bawah dan menjadi tontonan untuk sejenak melihat kehidupannya diangkat di layar kaca.
Di situasi yang seperti itu, sosok seperti indoxxi tidak perlu muncul. Masyarakat sudah menemukan cara untuk menikmati kehidupannya. Apa yang ditonton adalah gambaran hidupnya yang nyata, yang sehari-hari dirasakan. Para pemeran pun bukan orang lain, tetapi merupakan keluarga terdekat yang tengah berusaha mewakili wajah sebagian besar masyarakat Indonesia. Rasa-rasanya tidak rugi jika frekuensi dikelola oleh pihak swasta.
Perlu diketahui bahwa frekuensi adalah sumber daya tidak terbarukan yang valuasinya sangat tinggi seperti emas dan batu bara. Sebagaimana tanah, frekuensi adalah milik publik yang dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat. Kualitas informasi, berita, tontonan, dan banyak hal adalah hak bagi masyarakat dan kewajiban bagi negara dan orang-orang yang diberi kuasa untuk mengelolanya.
Namun kenyataannya nasib frekuensi sama dengan tambang emas dan batu bara, hanya dikuasai segelintir orang demi memperkaya dirinya. Tontonan di televisi semakin hari semakin sulit dinikmati. Apalagi kalau bicara di ranah politik, televisi menjadi senjata bagi kalangan elite guna membodohi masyarakat kelas menengah ke bawah untuk mengikuti agendanya. Televisi sudah menjadi lembaga yang culas, bengis, dan mengubah audiens menjadi predator sosial.
Bagaimana dengan film? Setali tiga uang, industri film tak kalah seram. Atas nama menghargai karya, penayangan film hanya bisa diakses oleh kelompok masyarakat kelas menengah ke atas karena harga tiket yang fantastis. Film adalah nama lain dari pertunjukan opera di masa lalu yang menyasar kalangan bangsawan. Kalangan menengah ke bawah cukup berhitung untuk menikmati pertunjukan selama 120 menit di dalam gedung bioskop ber-AC. Akan tetapi mereka rela membiayai ratu dan raja dengan upeti yang memang dipatok cukup tinggi.
“Lah, kan Cuma 35 ribu rupiah!”. Bagi sebagian orang, uang jumlah tersebut memang tidak ada apa-apanya. Apalagi jika kita mematok standar kemewahan dengan sangat tinggi.
Saat ini atraksi keglamoran menjadi racun yang nyata di dunia hiburan kita. Setiap waktu kita disuguhi pameran kehidupan para pemeran seperti pemilik kerajaan. Pernahkah kita mendengar seorang artis kesasar di rumahnya sendiri? Atau bagaimana harga outfit berupa kaos oblong yang harganya bisa mencapai puluhan juta rupiah? Mereka bisa digaji 30 juta hanya untuk sekali posting di Instagram. Bandingkan dengan kehidupan yang jauh bertolak belakang di mana seorang kakek harus berjalan seharian berjualan kerupuk untuk sekadar mendapat 30 ribu rupiah.
Di tengah situasi yang begitu mengenaskan, hadirnya layanan yang merusak dominasi industrialisasi menjadi penjahat yang dimaklumi. Kita tidak pernah membenarkan pencurian, namun kita lebih marah dengan perampokan yang tersistematis. Karenanya, kita ingin mendorong agar pemerintah bisa bersikap layaknya raja yang arif, yang berpihak pada rakyat jelata. Bukan justru jadi raja yang mengakomodir kepentingan elite saja.
Jika pemerintah serius, mereka semestinya menyediakan layanan yang bisa menggantikan fungsi indoxxi. Termasuk bagi teman-teman saya di Aceh yang hanya bisa menonton film di platform ini. Di sana tidak ada satu pun gedung bioskop sebagaimana menjamur di daerah lain di Indonesia. Untuk menikmati film, mereka harus melakukan perjalanan darat selama 12 jam ke bioskop terdekat di kota Medan.
Tapi apa yang bisa diharapkan pada pemerintah yang memblokir platform Netflix hanya karena mengakomodir platform lain yang tidak berkembang? Di dunia hiburan digital, negara kita ibarat gerbong kereta tahun 1990-an. Sementara perkembangan teknologi saat ini seperti lokomotif kereta berkecepatan 500 km/h.
Mau tidak mau, indoxxi akan tutup sebentar lagi. Ia akan jadi legenda seperti kisah Robin Hood yang dikenang sebagai pahlawan. Ke depan, saatnya kita tuntut perampok kelas kakap yang membuat hiburan kita tidak menghibur lagi. Agar agenda perbaikan di dunia kreatif tidak sekadar bunyi-bunyian. Agar sikap tegas ini tidak hanya menjadi celah untuk mengundang oligarki tontonan mengeksploitasi kalangan bawah secara lebih kejam. Wallahua’lam.