Pembangunan Saja Tidak Cukup

Pembangunan Saja Tidak Cukup

Pembangunan Saja Tidak Cukup

Hampir semua pejabat pemerintahan yang saya jumpai berpendapat bahwa akar dari masalah sosial kita adalah belum berhasilnya pembangunan. Mereka percaya jika hasil pembangunan telah merata, maka konflik dan perseteruan agama atau etnis atau kedaerahan akan sirna dengan sendirinya. Mereka yakin jika perut sudah terisi, maka provokasi dan fitnah tidak akan berarti.

Sekilas pandangan yang juga diamini para pengamat sosial politik tersebut terdengar masuk akal. Tidak heran mereka menafsirkan aksi demo 212 pun, misalnya, sebagai ekspresi kekecewaan kelas menengah Muslim perkotaan yang termarginalkan. Bagi kalangan ini, Ahok dan juga Jokowi dinilai sebagai kapitalis-birokrat jahat yang menyengsarakan rakyat.

Akan tetapi, dengan refleksi yang sederhana saja pandangan tersebut bisa dibantah dengan mudah. Mereka yang setiap hari mengutuk Ahok dan Jokowi di media sosial bukanlah orang susah. Rumah mereka mewah, harta mereka berlimpah. Mereka tidak suka dengan Ahok dan Jokowi karena kedua orang ini dianggap beda dengan mereka.

Anggapan tentang perbedaan adalah masalah politik identitas yang menurut saya sangat krusial untuk diselesaikan oleh pemerintahan sekarang. Pembangunan saja tidak cukup. Redistribusi ekonomi saja tidak memadai. Meski Jokowi berhasil membangun ribuan kilometer jalan dan jembatan atau membagi-bagikan jutaan lembar sertifikasi lahan, itu tidak akan disebut sebagai keberhasilan. Pemerintahan ini akan tetap dicap anti-orang miskin.

Politik identitas berakar pada cara pandang yang keliru mengenai diri sendiri dan orang lain. Namun kekeliruan ini bukan sekadar masalah kultural, melainkan lahir dari pola-pola pelembagaan nilai yang dirancang secara struktural. Selama Orde Baru, misalnya, pikiran masyarakat dipenjara dalam pemahaman yang penuh prasangka mengenai liberalisme, komunisme, dan bahkan Islamisme. Pikiran ini masih bertahan hingga sekarang.

Oleh karena itu, pemerintahan Jokowi berkewajiban membuka penjara pemahaman yang penuh prasangka itu secara lebih serius. Jika hal ini tidak dilakukan segera, masyakarat kita akan terus berkubang dalam lumpur politik identitas yang kotor terus menerus. Usaha (revolusi mental) seperti ini harus dilakukan oleh negara secara struktural, tidak bisa dikerjakan oleh perorangan. Orang apalah-apalah seperti saya hanya bisa mengingatkan, tidak lebih tidak kurang.

Jakarta, 14 September 2017

 

*) Amin Mudzakkir, peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia