Islam secara khusus mengakui adanya pluralitas dan kemajemukan, baik dalam bidang agama, ras, dan kultur sebagai kehendak Allah.
Dalam konteks Al-Quran, istilah nonmuslim mengacu kepada apa yang disebut dengan kafir, hal ini dikarenakan mereka tidak mengakui keimanannya kepada Allah SWT. dan Rasul-Nya.
Para ulama mengklasifikasikan nonmuslim menjadi dua kelompok, ahlul harb dan ahlul ‘ahd. Pembagian ini secara khusus mengacu pada firman Allah dalam surat al-Mumtahanah ayat 8-9.
Ahlul harb adalah golongan nonmuslim yang memerangi atau terlibat peperangan dengan kaum muslim. Sikap kaum muslim terhadap mereka adalah keras disebabkan sikap mereka yang memusuhi dan memerangi Islam.
Sementara itu, ahlul ‘ahd terbagi lagi menjadi tiga kelompok, yakni ahlud dzimmah, ahlul hudnan, ahlul aman. Ahlud dzimmah adalah nonmuslim yang menjadi tanggung jawab kaum muslim karena telah mengadakan perjanjian berupa tunduk dan patuh terhadap ketentuan seraya menunaikan jizyah dan mereka berdiam di wilayah Islam.
Golongan ini dijamin hidup dengan aman, damai, dan mendapatkan hak dan kewajiban yang secara umum sama dengan penduduk muslim lainnya, terutama di bidang sosial.
Golongan yang kedua adalah ahl al-hudnan, yaitu nonmuslim yang mengadakan perjanjian damai dengan Negara Islam. Kelompok ini tidaklah menetap dilingkungan Islam, hanya mengadakan perjanjian perdamaian.
Oleh sebab itu, golongan ini tidak menjadi tanggung jawab kaum muslim, hanya saja kaum muslim memiliki ikatan baik dalam berhubungan dengan mereka. Terhadap kelompok ini umat Islam diwajibkan untuk menjaga perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, sebagaimana firman Allah:
“Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu Telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, Maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa” (QS. At-Taubah: 4).
Dan firman Allah:
“Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu Telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidilharaam[632]? Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Taubat 7).
Golongan terakhir adalah ahl al-aman, yaitu nonmuslim yang tinggal di luar wilayah Islam namun memiliki kesepakatan dan perjanjian untuk mendapatkan jaminan keamanan ketika berdiam ke dalam wilayah Islam dalam jangka waktu tertentu.
Perbedaan golongan ini dengan golongan lainnya adalah bahwa keberadaan mereka di wilayah Islam bukan bermaksud untuk tinggal selamanya, namun dalam jangka waktu tertentu yang terbatas dan sementara.
Meski Al-Quran telah memberikan posisi dan batasan yang jelas terkait dengan masalah hubungan antara muslim dan nonmuslim dalam memberikan dan bersikap secara adil, agaknya akan menjadi berbeda jika dilihat dalam konteks keindonesiaan.
Indonesia adalah Negara majemuk yang di dalamnya terdapat keragaman dalam hal agama dan suku, seluruh perbedaan tersebut disatukan oleh asas pancasila sebagai ideologi pemersatu. Meski kenyataannya Islam menjadi agama mayotitas, namun sistem aturan dan landasan hidup di Indonesia bukanlah Islam, melainkan pancasila yang berbasis pada sistem demokrasi dan hukum.
Sementara itu, dari seluruh rincian dan konsep-konsep yang Al-Quran berikan tentang masalah hubungan antara muslim dan nonmuslim, tampaknya istilah yang agak cocok di Indonesia adalah ahl al-dzimmah, karena pertama-tama ia mengacu kepada adanya mayoritas penganut agama di Indonesia adalah Islam, selain itu, mereka juga hidup damai dengan muslim, walaupun istilah ini agak kurang cocok dengan di Indonesia, karena realitanya Indonesia bukan negara Islam.
Wallahu A’lam.