
CIPUTAT, ISLAMI.CO – Dalam rangka memperingati International Women’s Day (IWD), Tim Program INKLUSI Lakpesdam PBNU menggelar Diskusi Publik dan Peluncuran Film Pendek berjudul “Karniti, Habis Terang, Terbitlah Gelap”, harapannya dengan media film menjadi langkah dimulai dari “Layar Kecil” untuk “Perubahan Besar” khususnya sebagai upaya Pencegahan Perkawinan Anak (PPA). Kegiatan kali ini dilaksanakan di Outlier Cafe, Ciputat, Senin 17 Maret 2025.
Acara ini menghadirkan narasumber-narasumber yang kompeten di bidangnya untuk membahas bagaimana media, khususnya film, dapat menjadi alat advokasi yang efektif dalam upaya pencegahan perkawinan anak.
Sebab, saat ini perkawinan anak masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Faktor seperti kemiskinan, norma sosial, serta kurangnya kesadaran mengenai dampak negatifnya terus memperparah situasi ini. Praktik ini tidak hanya menghambat perkembangan anak tetapi juga berdampak buruk terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi mereka di masa depan. Oleh karena itu, pendekatan edukatif dan kampanye sosial menjadi kunci dalam upaya pencegahan.
Dalam acara ini, film pendek produksi Tim Media dan Komunikasi INKLUSI Lakpesdam PBNU bekerjasama dengan Islami.co resmi diperkenalkan kepada publik. Film ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya perkawinan anak serta mendorong perubahan sosial melalui kekuatan narasi audio-visual.
Hadir sebagai Narasumber pada kegiatan diskusi kali ini, Sutradara Film yang juga dosen di Institute Kesenian Jakarta (IKJ), Dr. Nurman Hakim, kemudian Aktivis Perempuan, Riri Khariroh dan juga Pengurus Lakpesdam PBNU, M.Najih Arrommadloni dengan moderator dari Islami.co, Dedik Priyanto.
Sebelum diskusi dimulai diawali dengan sambutan dari Program Manager (PO) Program INKLUSI Lakpesdam PBNU, Nurun Nisa yang mengulas sedikit konteks pembuatan film “Karniti” dan hubungannya dengan Program INKLUSI yang dilaksanakan Lakpesdam PBNU di 6 wilayah sub-mitra.
“Harapannya nanti film ini akan dijadikan sebagai alat kampanye khususnya di keseluruhan wilayah sub-mitra program, umumnya untuk semua yang mendukung pencegahan perkawinan anak. Kampanye dengan film ini bisa dilaksanakan baik secara offline maupun online melalui media sosial. Film ini adalah cara kami untuk mengedukasi teman-teman dengan cara yang fun, dengan cara yang dekat dengan anak muda. Jadi kami berharap teman-teman di sini yang muda dan bersemangat muda bisa ikut serta menikmati dan senang sekali juga ikut berbagi setelah menonton film ini untuk menjadi kesadaran bersama, meningkatkan kesadaran bersama sehingga dengan sama datang kita bisa menyongsong Indonesia emas 2030 dengan percaya diri. Kita tahu ada Indonesia Gelap dan selanjutnya. Kita masih berharap ada pelita dengan cara kita bersama-sama berkolaborasi,” ujarnya.
Selain pemutaran perdana film, sesi diskusi interaktif memberikan ruang bagi peserta dari organisasi masyarakat sipil, komunitas keagamaan, akademisi, mahasiswa, jurnalis, serta pemerintah untuk membahas strategi penyebaran pesan kampanye melalui media film.
Dalam paparannya, Nurman Hakim menjelaskan tentang sejarah panjang film yang fungsinya beragam dari yang awalnya sekadar sebagai dokumentasi kemudian beralih berbentuk cerita dengan berbagai fungsi. “Dari tahun 1895, film dianggap hanya sebagai dokumentasi belum ada cerita, kemudian seiring berjalannya waktu, film beralih fungsi sebagai hiburan, ekspresi diri, dan seni, propaganda dan penyebaran ide-ide. Dulu Starlin, Musolini dan sebagainya memiliki lembaga film khusus sebagai corong penyebaran ide-ide mereka,” jelas pria yang akrab disapa Mas Nurman ini.
Lebih lanjut, dirinya mengapresiasi pembuatan film “Karniti” yang diproduksi Islami.co bekerjasama dengan Lakpesdam PBNU kali ini. Sebab, menjadi film yang mengkampanyekan tentang pencegahan perkawinan anak. “Ide tentang penyadaran perkawinan anak melalui film pendek berdurasi 8 menitan ini sangat menarik, harapannya bisa masiv menjadi media yang bermanfaat,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Narasumber kedua, Riri Khariroh menyoroti tentang gerakan perempuan dan hubungannya dengan perkawinan anak. Menurutnya, perkawinan anak menjadi hal yang diperjuangan perempuan sejak lahirnya gerakan perempuan di dunia dan juga di Indonesia. “Kartini, merupakan sosok korban, dan dia memprotes perkawinan anak, pada kongres perempuan pun juga melarang perkawinan anak karena dampaknya yang luar biasa,” jelasnya.
Senada dengan Mbak Riri, Narasumber Najih Arromadloni, yang akrab disapa Gus Najih juga menerangkan tentang bahaya perkawinan anak serta bagaimana perspektif Islam memandang hal ini. Menurutnya, secara Islam, sejatinya hukum perkawinan adalah Sunah, namun bisa juga berubah menjadi wajib dan juga mubah. Di balik hukum perkawinan baik sunah, wajib dan mubah ini yang jelas masyarakat Indonesia khususnya Muslim wajib menaati aturan yang sudah disusun oleh pemerintah khususnya terkait perkawinan anak.
“Jadi, ketika pemerintah Indonesia sudah memutuskan usia menikah adalah di atas 19 tahun, maka batas minimal ini harus ditaati. Karena setiap hukum positif yang diputuskan oleh pemerintah selaras dengan orientasi hukum Islam, yakni kemaslahatan,” tandasnya.
Dengan, sejarah-sejarah dan keterangan-keterangan yang diberikan Narasumber pada forum diskusi kali ini, pihak penyelenggara berharap semakin banyak pihak yang terlibat dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Kemudian, secara publikasi film ini akan didistribusikan ke berbagai platform dan diharapkan menjadi bagian dari kampanye nasional yang lebih luas.