Pada tulisan sebelumnya, telah dipaparkan bagaimana bimaristan, yang dikenal sebagai cikal bakal rumah sakit di era modern, dibangun oleh penguasa Islam klasik. Berikut akan dipaparkan bagaimana sistem pelayanan kesehatan dilakukan pada masa Islam era itu.
Sebelumnya era Yunani Kuno, konsep rumah sakit sebagai tempat atau institusi penyedia layanan kesehatan belum dikenal luas. Tokoh-tokoh kedokteran masa itu, seperti Aesculapius, Galen juga Hippokrates, disebutkan lebih banyak mengobati orang sakit di sanatorium atau penginapan sekitar tempat ibadah yang dibuka oleh para rohaniawan.
Kedekatan antara pelayanan kesehatan dan keagamaan ini tidak lepas dari masih adanya kepercayaan bahwa penyakit, disebabkan oleh adanya serangan roh-roh jahat atau ketidakseimbangan spiritual. Pengobatan juga masih banyak dinilai beraroma magis. Bimaristan, yang berada dalam “satu atap” dengan lembaga agama seperti gereja dan kuil, pada masa kerajaan Islam mulai dikembangkan secara terpisah dan dikelola negara.
Bimaristan generasi awal dirintis Khalifah Al Walid dari Dinasti Bani Umayyah, kendati masih diperdebatkan apakah yang dibangunnya merupakan model bimaristan yang akan populer di masa mendatang. Berbeda dengan sanatorium yang spesifik untuk merawat penderita kusta, bimaristan merawat lebih banyak orang dengan beragam penyakit. Bimaristan banyak didirikan di daerah urban dan perkotaan, karena meningkatnya kebutuhan masyarakat akan layanan kesehatan.
Bimaristan semakin pesat di era khalifah disokong oleh salah satunya peran institusi pendidikan kedokteran, satu yang terkenal adalah di daerah Jundishapur. Institusi pendidikan yang baik ini menunjang pengembangan keilmuan para praktisi kesehatan di bimaristan.
Rumah sakit ini dibiayai oleh para sultan, pejabat, maupun para saudagar yang menyerahkan istana dan aset mewahnya guna pengembangan pelayanan kesehatan masa itu. Termasuk, untuk gaji para dokter, tenaga kesehatan, serta staf rumah sakit lainnya. Karena itu, menurut Ahmed Ragab peran lembaga filantropi juga sangat penting dalam kelangsungan bimaristan-bimaristan ini.
Sebagai contoh, mari kita tinjau Bimaristan al-Nuri di Aleppo yang diinisiasi khalifah Nuruddin Zanki (wafat 1174 M). Secara perencanaan, rancang bangun, serta manajemen, ia sejalan dengan konsep rumah sakit di masa kini. Filosofi bimaristan ini, konon merujuk pada gagasan bahwa tujuan adanya bimaristan bukanlah keabadian – melainkan memperlama masa hidup orang, yang disadari memang terbatas (al-ajal al-muhsha) dan telah ditetapkan Tuhan (al-‘umr al-muqaddar al-maqdli).
Ibnu Abi Usaibiah (wafat 1269 M), seorang dokter cum sejarawan, pernah bekerja dan belajar di bimaristan al Nuri. Sebagaimana dicatatnya dalam buku ‘Uyunul Athibba’ fi Thabaqatil Athibba’, ruang bimaristan al Nuri ini dibagi menjadi tiga bagian utama: bangsal untuk ruang rawat inap pasien; ruang periksa dokter – barangkali di masa sekarang, seperti gedung atau ruang poliklinik; serta ruang pendidikan dan penelitian di mana para dokter belajar dan mengajar.
Selain itu, tak kurang dari delapan ruang besar yang menghadap seluruh penjuru dibikin dalam bimaristan tersebut sebagai ruang rawat inap. Ruang rawat inap pria dan wanita dipisahkan. Ruang-ruang yang lebih kecil digunakan untuk memeriksa pasien dari ruangan atau yang datang ke bimaristan.
Aula pertemuan digunakan untuk kegiatan pertemuan dan penyuluhan, pendidikan, serta jika diperlukan, juga untuk menambah kapasitas ruang rawat. Di dinding-dinding gedungnya, sebagaimana instruksi khalifah, dipasang kaligrafi ayat-ayat Al Quran dan hadis yang berkaitan tentang upaya pengobatan dan kesehatan.
Tak lupa juga ada dapur umum, ruang penyimpanan obat – seperti depo farmasi di masa sekarang, serta ruang untuk sanitasi dan penampungan air untuk kebutuhan pasien –di era modern ini, semacam pusat sterilisasi alat dan bahan. Ruangan-ruangan ini mengitari satu taman besar yang disebutkan memiliki air mancur dan tetumbuhan yang diimpor dari berbagai negeri.
Bimaristan al Nuri, sebagaimana disebutkan Ibnu Abi Usaibiah, bahkan sudah memberlakukan adanya bangsal khusus pasien dengan gangguan kejiwaan. Mereka ditampung di ruang besar terpisah dengan pasien di ruang rawat inap lain.
Di masa selanjutnya, tersebutlah bimaristan al Mansuri di Kairo di bawah kekuasaan Dinasti Ayyubiyah, mengembangkan konsep yang kini dikenal sebagai homecare – perawatan di rumah. Para tenaga kesehatan utusan bimaristan berkunjung ke pemukiman sekitar maupun daerah lain yang susah terjangkau oleh pasien akibat keterbatasan fisik atau jarak yang terlampau jauh.
Para utusan ini melakukan pemeriksaan, terapi serta pemberian obat untuk pasien. Terkadang juga para tenaga kesehatan ini mulai membuka cabang tempat pengobatan yang lebih kecil, menginduk ke bimaristan yang lebih besar di kota.
Demikianlah sekelumit layanan kesehatan era kerajaan Islam, yang di era sekarang sudah dikembangkan sejalan dengan kebutuhan masyarakat di tingkat lokal, maupun kecenderungan dan kepentingan politik juga ekonomi pemerintah. Bagaimanapun setiap gagasan, institusi dan kebijakan, tak terkecuali perihal kesehatan, agaknya tak lahir dari ruang hampa.