Tidak lama setelah dilantik menjadi menteri agama menggantikan Lukman Hakim Saifuddin, Fachrul Razi mengeluarkan wacana kebijakan yang kontroversial. Tidak tanggung-tanggung, ia berencana melarang pemakaian cadar dan celana cingkrang bagi Aparatur Sipil Negara/ASN. Alasan yang dilontarkan oleh purnawirawan TNI ini disangkutkan dengan kejadian penusukan mantan Menteri Polhukam Wiranto, yang mana salah satu pelakunya menggunakan niqab. Selain menghubungkannya dengan alasan keamanan, Fachrul berargumen bahwa nilai ketakwaan seseorang tidak bisa dinilai dari bagaimana ia berpenampilan. Ia juga menambahkan dalam Al-Qur’an dan Hadis tidak pernah menganjurkan umat islam untuk menggunakan cadar dan memakai celana di atas mata kaki.
Sontak wacana yang disampaikan oleh mantan petinggi TNI itu menyulut penolakan keras dari berbagai pihak. PKS melalui juru bicaranya menyatakan bahwa menteri agama sebaiknya memfokuskan pemberantasan radikalisme pada hal-hal substantif, bukan yang simbolis seperti pengaturan cara berpakaian. Lebih lanjut, Presiden Jokowi sendiri merespon bahwa pilihan memakai cadar dan menggunakan celana cingkrang merupakan pilihan pribadi masing-masing individu. Meski begitu, isu pelarangan ini tetap saja membuat was-was kalangan pekerja di lingkungan birokrasi. Bahkan beberapa di antaranya siap meninggalkan pekerjaan dan tetap istiqomah mengenakan niqab jika aturan itu diterapkan.
Bila melihat isu ini dari ranah yang lebih luas, sebenarnya Indonesia bukan negara mayoritas muslim pertama yang berwacana untuk melakukan pelarangan pemakaian cadar, di Suriah kebijakan melarang niqab sempat dilaksanakan selama setahun di bawah kepemimpinan Bashar Al-Assad yang saat itu ingin menarik simpati kaum konservatif Suriah di tahun 2011. Selain Suriah, Tunisia juga sempat menetapkan pelarangan niqab di tahun 1981, yang akhirnya dicabut ketika revolusi usai 2011 lalu. Di negara barat, seperti Prancis dan Belanda, penggunaan cadar juga dibatasi. Argumen yang disodorkan adalah pemeliharaan dan penguatan nilai-nilai sekularisme, kesetaraan gender, dan kebebasan individu, selain juga masalah keamanan dan kelancaran dalam berkomunikasi.
Berbeda dengan Suriah dan Tunisia yang kini mencabut larangan penggunaan cadar, di belahan negara-negara Eropa seperti Perancis, kebijakan tersebut masih dipertahankan hingga kini, dan sayangnya justru kontraproduktif dengan tujuan kebijakan itu diterapkan. Hasil survey publik Perancis menunjukkan bahwa sentimen negatif terhadap umat muslim justru semakin memburuk setelah pelarangan cadar dikeluarkan. Bahkan di tahun 2013, seorang muslimah yang sedang hamil mengalami keguguran setelah diserang secara brutal oleh dua laki-laki asing yang berusaha menarik lepas hijab yang ia kenakan.
Hasil laporan lainnya menyatakan bahwa setelah kebijakan rasis dan insiden tersebut terjadi, semakin banyak muslimah Perancis yang memilih untuk tinggal di rumah daripada beraktivitas di luar. Hal ini akhirnya tentu berdampak negatif terhadap kesehatan mental, fisik, dan upaya peningkatan kapasitas kaum muslimah itu sendiri. Selain Perancis, Provinsi Quebec di Kanada yang menerapkan hal sama juga menghadapi backlash, pelarangan cadar justru membuat kasus intoleransi di sana meningkat tajam. Laporan kepolisian menyatakan bahwa banyak muslimah berhijab kerap dilecehkan secara verbal yang mengakibatkan mereka semakin takut untuk keluar rumah.
Belajar dari dampak kebijakan populis tersebut, seharusnya menteri agama perlu mempertimbangkan kembali wacana pelarangan cadar. Meski didasarkan pada alasan keamanan dan mengaitkannya dengan kasus radikalisme serta penusukan Wiranto, saya pikir kebijakan yang diterapkan tanpa penelitian dan analisis komprehensif justru akan kontraproduktif, alih-alih meredam radikalisme, justru hal ini akan memupuk subur akarnya.
Ketika sekelompok orang ingin mempraktikkan ajaran agama yang menurut mereka benar, sekaligus berkontribusi di bidang pemerintahan, kemudian negara justru melarangnya, yang dikhawatirkan adalah terjadinya alienasi masal. Sehingga, saat mereka merasa terkucilkan dan diperlakukan tidak adil oleh pemerintah, probabilitas mereka untuk menerima doktrin dan propaganda melawan penguasa justru semakin meningkat. Dan bisa jadi akan membuat mereka terpapar pemikiran radikal. Kasus seperti inilah yang terjadi di beberapa daerah Perancis ketika pemerintah mengimplementasikan kebijakan kaku dalam menanggulangi terorisme, bukannya berdampak efektif, yang terjadi akhirnya kontraproduktif alias kebijakan gagal.
Berkaca dari pengalaman negeri-negeri Barat tadi, justru seharusnya kementerian agama perlu lebih gencar menggiatkan dakwah Islam moderat dan ramah di lingkungan instansi pemerintah, bukan justru mereduksi perempuan bercadar dan laki-laki bercelana cingkrang dalam satu-dua persepsi negatif. Terlebih salah satu temuan penelitian psikologi membuktikan bahwa persepsi sistem yang berjalan tidak adil akan mendorong orang untuk terlibat dalam kegiatan radikal dan terror, sehingga edukasi dan pemberdayaan wajib menjadi solusi prioritas, bukan malah gebyah uyah atau menyamaratakan mereka semua dengan pelaku terorisme.