Barangkali tidak ada keadaan riuh yang dapat dipahami secara utuh. Termasuk koar siar para taipan teknologi tentang automatisasi, silicon valley, dan kedahsyatan revolusi digital. Koar para taipan yang terdengar jauh hingga palung kesadaran masyarakat modern berbanding terbalik dari respon masyarakat modern terhadap pekik jerit para buruh digital yang hak-haknya terpenggal.
Buku bertajuk Pekerja-Pekerja Hantu yang diterbitkan oleh penerbit Litani mencoba mengulas problem kejanggalan-kejanggalan revolusi digital terkhusus dalam perburuhan digital secara bernas. Buku seri masa depan kerja yang diterjemahkan tahun 2022 dari judul asli Work without the Worker: Labour in the Age of Platform Capitalism karya Phil Jones yang diterbitkan Verso Books tahun 2021 ini, mengetuk lubuk pembaca dengan satu pertanyaan besar: Apakah penindasan kapitalisme yang dikutuk umat manusia, terkhusus oleh para buruh, telah lucut dari proyek futuristik para taipan? Sebuah dunia dengan kelimpahan dan penuh solusi cerdas, di mana kenyamanan berarti kemewahan.
Mengawali buku hasil penelitiannya ini, Phil Jones menyingkap fakta bahwa di bawah permukaan fantasi teknologi yang berkilauan, ada penindasan, pengawasan, dan penyingkiran “kerja-kerja kecil” yang terus meningkat. Daerah-daerah kamp pengungsi seperti di Kenya, Uganda, India, Suriah atau daerah ladang pengangguran di Palestina, Vanezuela bahkan ruang tahanan di Finlandia menjadi sekelumit kisah pahit bagaimana keadaan krisis di Kawasan Utara maupun Kawasan Selatan telah dimanfaatkan para taipan untuk mengupah murah kerja-kerja pelabelan data yang mendukung otomatisasi.
Perusahaan-perusahaan seperti Google, Facebook, Amazon, Uber, Tesla melalui platform microwork-nya maupun vendor outsourcing lainnya telah menarik para pekerja dari daerah-daerah tersebut ke dalam orbit kapital tetapi dibuang di luar kerja formal. Dalam istilah Karl Marx, mereka disebut sebagai “surplus populasi relatif”, terdiri atas massa mengambang yang “setengah dipekerjakan”, tanpa cukup jam untuk hidup, hingga benar-benar “stagnan” tanpa upah terus menerus. Para pekerja partisipan yang patah ini adalah ciri penting dari sistem tak menentu yang mempekerjakan dan memecat saat permintaan meningkat dan menyusut (hlm. 9 – 10).
Kelicikan para taipan dalam persoalan upah tak hanya sebatas mencari tenaga kerja yang rentan dan murah. Dalam banyak kasus, mereka telah membaurkan batas antara kerja dan dikerjai melalui rezim gamifikasi, serta telah mengubah upah menjadi “token” atau “reward”. Eufemistis yang menghipnotis dari para taipan tersebut telah dicatat keberhasilannya bahwa 90 persen tugas di Mechanical Turk dibayar di bawah tingkat subsisten 0,10 dollar per tugas. Mereka tidak dibayar sama sekali, dan berdasarkan survei terbesar yang dilakukan diseluruh situs microwork, ditemukan bahwa 30 persen pekerja secara teratur tidak dibayar. Sedangkan, di situs Clickworker, sebanyak 15 persen dari semua tugas tidak dibayar. Tentunya, ketika upah telah diubah, dipermainankan, bahkan ditanggalkan, status pekerja haruslah dipertanyakan. Sebab, tanpa upah, seseorang tidaklah pantas menjadi pekerja, tetapi budak atau sekadar surplus!
Perjuangan buruh digital untuk menuntut upah yang layak dan menyejahterakan sebagai salah satu agenda vitalnya pun tak luput dari tindakan pelucutan. Melalui situs-situs microwork, para buruh sebagai infrastruktur komputasi dianonimkan, dan para juragan yang memesan hasil kerja buruh itu diberi hak kekayaan intelektual seluruhnya serta diberikan pelayanan keamanan terbaik dengan penutupan akun buruh digital yang memprotes atau dianggap bertindak merusak aturan situs.
Walhasil, dengan doktrin netralitas platform melalui penutupan akun tersebut, para buruh digital tak hanya dijinakkan, hak berekspresi dan berserikat guna memperjuangkan hak mereka juga dipenggal. Tak menutup kemungkinan semua upah periode kerja yang sudah terkumpul dalam situs tersebut tanggal.
Sempitnya ruang dan peluang menggalang kekuatan buruh tak hanya sebatas perkara anonimitas, namun juga berhubungan dengan pengetahuan buruh terhadap hakikat kerja yang dilakukan. Dalam buku Pekerja-pekerja Hantu, Phil Jones mencontohkan para pekerja pabrik atau asisten toko tetap tidak menyadari, setidaknya pada tingkat tertentu, bahwa mereka telah dieksploitasi.
Namun, pekerja pabrik ban tentulah tahu bahwa mereka memproduksi ban untuk mobil, atau buruh yang bekerja untuk sebuah perusahaan produsen mur dan baut untuk kontraktor militer yang jauh. Sedangkan microwork, bagaimanapun, mempersempit lubang pengetahuan menjadi secercah cahaya kecil, menjauhkan pekerja dari kapasitas untuk mengetahui pekerjaan yang mereka lakukan serta tujuannya. Singkatnya, semakin tinggi tingkat abstraksi para buruh dalam memahami hakikat kerjanya, semakin mempengaruhi tingkat kesulitan rencana aksi dan agenda juangnya.
Siapa sangka, adanya fakta menggetirkan bahwa tugas-tugas mengautomatisasi yang mengandung tingkat abstraksi begitu tinggi dan tidak terpahami oleh buruh tersebut telah turut mendukung kekuatan militer dalam perang, pendudukan, genosida kultural dan penindasan lainnya? Sebagai contoh, penggunaan microwork oleh Google untuk inisiatif Departement Petahanan AS, Project Maven. Pentagon mengontrak Google untuk mengembangkan program kecerdasan buatan yang mampu menyortir ribuan jam video drone dengan tujuan akhir untuk membantu militer mengidentifikasi target di medan perang. (hlm. 72-73)
Lantas, bagaimana perjuangan buruh digital itu diupayakan dalam puncak fantasi neoliberal: kapitalisme tanpa serikat pekerja, budaya dan institusi pekerja yang telah tidak hanya merusak kontrak upah, tetapi juga okupasi? Phil Jones dalam bab Perjuangan Tanpa Upah nampaknya tidak memberikan suatu tawaran yang jelas dan pasti. Ia justru memaparkan langkah berat serikat pekerja untuk mengorganisir buruh-micro.
Mengingat, tantangan anonimitas buruh digital, baik secara sebaran geografisnya, pendisiplinan yang teramat ketat dari situs kerja, hingga kontrak kerja yang sekadar sampingan, lebih singkat daripada buruh pabrik. Apakah para buruh-micro dapat melakukan sabotase data massal? Dapatkah para buruh yang memilah konten melakukan mogok massal, sehingga pada suatu moment, misalnya, media sosial dibanjiri gelombang pasang konten kekerasan, pornografi, bahkan pembunuhan? Entahlah.
Namun, Phil Jones melihat bahwa adanya satu langkah perjuangan para buruh digital seperti yang dilakukan Turkers (para buruh Mechanical Turk) yang menarik. Tukers mengembangkan situs untuk mengulas perilaku para pemesan, sebagai tindak pencegah pencucian upah dan pelanggaran dengan upah kecil lainnya. Singkatnya, platform yang dibangun Tukers tersebut sebatas memodulasi perilaku pemesan daripada melantangkan kekuatan pekerja, perannya tetap lebih pada reformasi daripada revolusi. (hlm. 100)
Terlepas dari tidak adanya langkah kongkrit yang ditawarkan penulis untuk meningkatkan bargaining power buruh digital, serta dari penerjemahan buku ini didapati beberapa istilah yang sulit dipahami pembaca lantaran kurangnya catatan tambahan, buku Pekerja-pekerja Hantu telah mengulas kondisi buruh digital di belahan Internasional dengan sangat menarik. Buku ini juga turut memantik refleksi atas kondisi buruh digital nasional yang mengalami kepelikan yang mirip, seperti kerentanan kerja lantaran aturan perburuhan dalam UU Cipta Kerja dan dalam Perppu Cipta Kerja. Calon buruh dan buruh di negeri ini ditarik ke dalam orbit kapital, tetapi dibuang di luar kerja formal! Apakah kondisi buruh digital tersebut juga turut direfleksikan dalam pembacaan hari buruh tahun ini dan mendatang?
[NH]
Judul : Pekerja-Pekerja Hantu: Agenda Tersembunyi di Balik Kemegahan Platform Digital
Penulis : Phil Jones
Penerjemah : Khoiril Maqin
Penerbit : Litani
Cetakan : Pertama, Mei 2022
Tebal : xvii + 158 halaman
ISBN : 978-623-99478-1-1
Oleh:
Eko Nurwahyudin
Alumni Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kader PMII Rayon Ashram Bangsa Fakultas Syari’ah dan Hukum Yogyakarta.