Beberapa waktu lalu, saya ngobrol dengan seorang mahasiswa. Ia berkeluh kesah tentang cinta yang kandas dengan pacarnya. Ia bercerita betapa banyak yang telah dikorbankan; tenaga, uang, waktu, dan banyak hal; namun pengorbanan itu terasa sia-sia, sang pacar memilih pergi meninggalkannya. Ia patah hati begitu dalam, sangat dalam.
Saya simak keluh itu, sambil sesekali terucap kata “heeemm”, “oh gitu”, dari bibir saya. Beberapa kali saya “puk puk” punggungnya, sedikit memberi kekuatan. Saya menjadi pendengar yang baik, membiarkan dia menumpahkan semua keluhnya sepuas-puasnya. Ada Kredo “Jangan menasehati orang yang sedang patah hati karena nasehat sebijaksana apapun hanya menjadi debu”.
Kemudian, setelah tuntas dan puas ia bercerita, si mahasiswa berkata : “mas, apa yang harus saya lakukan dalam kondisi seperti ini?”
Diam sejenak, kemudian saya jawab sok bijak :”patah hati yang berat ini adalah bagian dari prosesmu menjadi laki-laki. Cari hal-hal positif yang bisa kamu petik. Bersihkan dirimu dari kemarahan. Satu hal, jodoh itu keajaiban semesta”
Dia manggut-manggut, kemudian, pamit untuk pergi. Saya tidak tahu apakah kata-kata dari saya itu cukup menentramkan hatinya. Namun, saya teringat sebuah pesan dari Mahatma Gandhi :”anak muda yang dirundung kegalauan tentang cinta adalah anak muda yang belum selesai dengan dirinya, ia tidak mungkin bisa diajak berpikir dan berkarya untuk India”.
Kemudaan adalah masa paling berharga dalam hidup, namun sayang, seringkali sebagian anak-anak muda memenuhi hari-hari dengan kegalauan cinta. Anak-anak muda seperti ini belum selesai dengan dirinya sendiri, belum tuntas memaknai “siapa aku?” dan “apa yang harus aku perjuangkan dalam hidup?”.
Anak-anak muda yang tidak mungkin bisa diajak berpikir dan bertindak besar untuk bangsanya.
Apakah Sukarno muda, Tan Malaka muda, atau Syahrir muda pernah jatuh cinta dan patah hati? “Pernah”. Tetapi, mereka mendudukkan cita-cita lebih tinggi dari masalah asmara. Kalau toh mereka patah hati karena cinta, hal itu tidak sampai membuat mereka remuk-redam begitu rupa. Tidak ada kamus “cinta ditolak dukun bertindak”. Sukarno muda, Tan Malaka muda, atau Syahrir muda adalah anak-anak-anak muda yang telah selesai dengan dirinya sendiri.
Bersyukurlah sebuah bangsa yang surplus anak-anak muda, yang telah selesai dengan dirinya. Anak-anak muda itu niscaya terbang bebas, mengeluarkan semua bakat dan potensi untuk kemuliaan negeri.
Namun, sungguh malang sebuah negeri, yang anak-anak mudanya masih terjebak dalam penjara asmara mengharu-baru. Anak-anak muda seperti gini, hidupnya niscaya dipenuhi drama demi drama tiada henti.
Pun, salah satu tugas besar Indonesia abad 21 adalah mencetak sebanyak mungkin anak muda yang selesai dengan dirinya. Anak-anak muda yang mendudukkan cita-cita dan nilai-nilai hidup di atas haru-biru asmara. Anak-anak muda yang berani bertaruh untuk pemuliaan dan kemuliaan bangsanya.
Terbanglah untuk Indonesia Raya….!!!