Pasemon tentang Quran Basah dan Quran Kering

Pasemon tentang Quran Basah dan Quran Kering

Pasemon tentang Quran Basah dan Quran Kering

Masyarakat nusantara, Jawa pada khususnya, adalah orang-orang yang suka menggunakan simbol demi kenyamanan dalam berkomunikasi. Belakangan penggunaan simbol ini memang cenderung tereduksi dalam eufemisme, meski tidak sepenuhnya. Ya, eufemisme dalam KBBI adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan.

Di Jawa, pembahasaan sesuatu dengan menggunakan simbol yang dimaksudkan demi nyamannya jalinan komunikasi (sesadune adu manis) itu disebut pasemon atau persemon. Dalam Serat Wedhatama, pasemon orang Jawa ini dibahasakan dengan sinamun ing samudana (disamarkan kedalam simbol).

Gradasi Pasemon dan Audiensnya

Pasemon bertingkat-tingkat sesuai dengan audiens dan kompleksitas persoalan yang dibahas. Yang paling umum di Jawa adalah ungkapan semisal, “Ngono ya ngono ning aja ngono.” (Begitu ya boleh-boleh saja tapi ya jangan seperti itu). Pasemon seperti ini biasanya ditujukan kepada orang yang lebih muda, atau kepada orang yang lebih tua namun belum atau bahkan tidak menyadari ketuaannya. Tapi bisa juga ditujukan kepada orang muda yang sok tua. Yang terakhir ini biasanya terkait dengan tingkat spiritualitas.

Yang agak mendalam adalah semisal pasemon yang disampaikan oleh R.M.P. Sosrokartono yang dikenal sebagai catur paradoks. Yaitu, “Sugih tanpa banda (Kaya tanpa mengandalkan harta benda); Digdaya tanpa aji (Sakti tanpa mengandalkan senjata); Nglurug tanpa bala (Melakukan ekspansi tanpa kawan/gegap gempita); Menang tanpa ngasorake (Unggul tanpa merendahkan orang lain).”

Ungkapan, “Yen wedi aja wani-wani, yen wani ra sah wedi-wedi” (Jika takut tidak usah berlagak berani, kalau berani tidak usah takut-takut), juga termasuk kategori pasemon menengah. Ya, karena anak kecil atau orang yang belum bisa melihat ke dalam dirinya sendiri tidak akan pernah bisa memahami apalagi mempraktikkannya. Orang yang belum dewasa pikirannya baru akan merasa kaya jika banyak harta; merasa tak bisa dikalahkan karena menganggap sebagai pilihan Tuhan; melabrak siapa saja yang dianggap tak sejalan karena banyak kawannya; lantaran mayoritas maka boleh berbuat sewenang-wenang.

Adapun contoh pasemon yang sangat mendalam adalah sebagaimana ungkapan yang disampaikan oleh R.Ng. Ranggawarsita di dalam Serat Ma’lumat Jati. Yaitu, “Bothok Bantheng winungkus godhong asem binithing alu bengkong.” (Bothok Banteng terbungkus daun asam berpasak alu bengkok).

Atau, pasemon yang jika dipahami secara harfiah akan menjadi tidak karu-karuan adalah yang disampaikan oleh almaghfuwrlah Kyai Ahmad Kategan, guru mendiang Sultan Agung Anyakrakusuma, dalam Serat Suluk Ma’ripatollah-nya. “Mrih awas jatine tingal, sirnane kang papan tulis, kitab Qur’an tanpa guna, singkirena kang atebih, wit iku memetengi, metengi damaring kayun, temah tan liru tingal, ma’ripat maring Hyang Widhi, kang tan kena kinira saking nyatanya.

Bait ke-27 dalam metrum Sinom di atas, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara harfiah, dan pembacanya adalah orang-orang yang belum bisa berpikir dewasa, maka sulit dibayangkan apa yang akan terjadi. Ya, bait yang secara keseluruhan digunakan sebagai isyarah oleh penggubahnya agar seorang salik bisa ma’rifah kepada Allah yang tak tergambarkan itu, secara eksplisit memerintahkan agar mushhaf Al-Qur’an yang hanya berupa tulisan itu mesti disingkirkan jauh-jauh.

Padahal yang dimaksudkan adalah agar seorang salik menyelam di kedalaman maknanya, dan tidak terkecoh oleh makna harfiah tulisannya. Karena itu di Jawa—bagi orang-orang yang njawani tentu saja—sangat populer istilah adanya Al-Qur’an Basah (Qur’an Teles) dan Al-Qur’an Kering (Qur’an Garing).

Terkait dengan gradasi rasa manusia yang njawani dalam interaksinya dengan berbagai pasemon dan lapisannya, termasuk pasemon tentang qur’an teles dan qur’an garing, Kyai Yasadipura menguraikannya dengan lugas dalam Serat Kandha Cetha.

Kang jeneng hakekat iku, meruhi rasa sejati, awit rasaning manungsa ora beda kuwih lapis, sajake kaya sap-sapan, njaba njero banjur qadim. (Yang disebut sebagai ilmu hakikat adalah mengetahui rasa sejati. Karena rasa manusia itu bagaikan kue lapis, bertingkat-tingkat, sap demi sap. Ada rasa luar, rasa dalam, dan rasa qadim.)

Rasa njaba yen didumuk, karasa ana ing kulit, keri gathel sithik krasa, aja sing bangsa digitik, wong kanginan bae krasa, sumuk bisa krasa isis. (Rasa luar ketika tersentuh akan terasa pada kulit. Geli, atau gatal sedikit saja terasa. Apalagi kalau sampai dipukul, bahkan dihembus angin saja terasa. Gerah bisa menjadi sejuk.)

Nanging yen kesokan setrup, awak ora krasa legi, kajaba pliket tan ana, awit rasa legi gurih, pait getir iku lidhah, rasa njero kang nduweni. (Jika terkena tumpahan sirup, misalnya. Badan tidak dapat merasakan manisnya. Hanya lengketnya saja yang bisa dirasa, karena rasa manis dan gurih hanya dapat dirasakan oleh lidah. Domain rasa bagian dalam.)

Bareng kesandhung ing butuh, kowe nandhang utang nyilih, sing krasa dudu lidhah, apa maneh kulit daging, kabeh ora apa-apa, rasane ketemu ati. (Begitu terdesak oleh kebutuhan, kamu pun kelabakan mencari pinjaman. Kali ini, lidah tidak dapat merasakan. Apalagi kulit dan daging yang di luar. Semua tak dapat merasakannya. Hanya hati yang bisa merasakan.)

Ya kuwi yen arep weruh, kang jeneng rasane qadim, mula mau aku kandha, rasa kaya kuwih lapis, kasiyate beda-beda, sap telu sing tak weruhi.

(Begitulah kalau kamu ingin tahu apa yang distilahkan dengan rasa qadim. Karena itulah aku tadi bilang bahwa rasa itu bergradasi seperti kue lapis, fungsinya juga berbeda-beda. Ya ada tiga level tadi itu, yang kuketahui.)”

Wallaahu a’lamu bishshawaab.