Beberapa waktu lalu, saya menerima pesan dari grup WA. Pesan tersebut berisi foto tentang buku pelajaran Aqidah Akhlak kelas IV Madrasah Ibtidaiyah/ Sekolah Dasar. Buku tersebut salah satunya berisi adab-adab berdoa, diantaranya tidak disertai perbuatan syirik dan bid’ah. Kemudian, perbuatan syirik dicontohkan dengan berdoa di kuburan, sedangkan perbuatan bid’ah dicontohkan dengan berdoa secara berjemaah setiap selesai salat fardlu. Buku tersebut diterbitkan oleh Dar Syafii.
Buku tersebut layak diperhatikan. Pertama, buku tersebut jelas-jelas mengajarkan anak untuk menganggap hanya ada satu kebenaran. Permasalahan bid’ah yang sangat luas dan sebagiannya adalah masalah khilafiyah (perbedaan), direduksi dan tidak diterima dalam buku tersebut. Konsekuensinya, apabila pola pikir yang diajarkan semacam ini semakin intensif dilakukan, bukan tidak mustahil akan melahirkan generasi yang berpikir radikal, menganggap orang lain salah, bahkan bisa jadi menganggap orang lain boleh diperangi.
Kedua, konten buku tersebut tidak sesuai dengan usia perkembangan anak. Dalam teori perkembangan kognitif Jean Piaget, anak-anak memiliki dua tahapan perkembangan, yaitu tahap praoperasional (2 tahun sampai 7 tahun) dan tahap operasional konkret (7 tahun sampai 11 tahun). Pada tahap praoperasional, anak tidak bisa melakukan representasi operasi, yaitu representasi mental yang dapat dibalik.
Contohnya, anak bisa paham jika 5+2=7 adalah benar, namun anak belum tentu memahami apabila 7-2=5 juga benar. Pada kasus buku yang diterbitkan Dar Syafii mengajarkan anak tentang contoh perbuatan syirik berupa berdoa di kuburan. Anak hanya akan memahami hal itu, dan tidak bisa memahami bahwa “memang sebagian praktik berdoa di kuburan bisa jadi syirik tetapi tidak semua orang yang berdoa di kuburan adalah syirik”. Konten semacam ini yang diajarkan kepada anak saat belum mampu melakukan representasi operasi, akan membentuk karakter anak mudah menghakimi orang lain.
Pada tahap operasional konkret, anak akan memiliki transivitas yaitu kemampuan untuk berpikir mengenai hubungan logis. Ketika anak diajarkan mengenai perbuatan bid’ah yang menyebabkan doa tidak terkabul dengan contoh berdoa berjemaah sesudah salat, maka anak akan berpikir bahwa semua orang yang berdoa secara berjemaah doanya tidak akan terkabul. Lebih jauh, anak akan berpikir dengan logika bahwa orang yang berdoa berjemaah menyebabkan seseorang bisa dianggap sesat.
Ketiga, kelompok Islam garis keras ternyata tidak mempedulikan sesuai atau tidak sesuainya konten yang mereka tulis di buku pelajaran. Yang ada dalam pikiran mereka adalah visi untuk memajukan Islam (lebih tepatnya menyebarkan pemikiran mereka). Sedangkan, batasan memajukan Islam adalah batasan versi mereka sendiri, yang justru sebenarnya membuat Islam mundur. Misalkan, mengajarkan kebenaran tunggal kepada anak-anak. (Barsambung)