Sejak meletupnya gerakan 212 pada 2016 lalu, agenda akhir tahun kita seolah bertambah satu lagi, menggenapi Natal, Tahun Baru, dan Haul Gus Dur. Reuni 212 dari tahun ke tahun seperti tak pernah sepi jamaah, meski ada penyusutan kuantitas cukup signifikan. Diawali salat tahajud, kemudian istighosah dan lalu ceramah keagamaan, reuni 212 selalu mengangkat tagline “persatuan umat Islam”.
Rupanya, ada konteks historis yang mulai agak dikaburkan, bahwa kemudian yang hadir di sana adalah “umat Islam”, itu tentu saja fakta. Soal berapa juta umat yang hadir dan berapa negara yang mendukung, hal ini bisa diperdebatkan.
Yang jelas “umat Islam” tersebutlah yang dulu menuntut dakwa atas kasus penodaan agama oleh Basuki Tjahja Purnama (BTP), rival politik Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta). Reuni 212, dengan demikian, adalah kumpul-kumpul untuk memperingati gerakan protes tersebut.
Akan tetapi kalau reuni 212 dibilang sebagai simbol persatuan umat Islam seperti yang dikatakan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, saya kira nanti dulu. Sebab, tak kalah serius dan mengganggu bagi umat Islam Indonesia adalah ketegangan dan tantangan internal yang muncul dari fakta bilamana Islam tak pernah sepenuhnya utuh atau seragam di antara pengikutnya yang majemuk.
Meski begitu, akar dari pandangan atau tafsir Islam yang tidak pernah seragam ini sebetulnya dapat kita lacak, sekurang-kurangnya sejak sepeninggal Nabi Muhammad yang saat itu umat Muslim bersitegang tentang suksesi kepemimpinan antara kelompok pribumi dan imigran (Muhajirin).
Bagi kelompok pribumi, estafet kepemimpinan hanya layak diemban oleh penduduk Madinah dengan alasan bahwa merekalah yang menolong Nabi Muhammad di saat-saat sulit. Dan, karena alasan itulah mereka kemudian disebut anshor (penolong).
Sebaliknya, kelompok Muhajirin menganggap bilamana para loyalis yang sejak awal melipur dan mengawal perjalanan Nabi Muhammad dari Makah-lah yang berhak memimpin umat Islam ke depan.
Dari sini saja umat Islam sudah terpolarisasi cukup sengit. Kendatipun harus diakui jika di masa-masa itu, stabilitas persatuan umat boleh dibilang masih dapat dipertahankan.
Kelak, selepas tiga khalifah pertama umat Islam wafat situasi semakin kacau. Di masa kepemimpinan Imam Ali bin Abi Thalib, misalnya, umat yang dihadapinya bukanlah umat yang seloyal generasi atau senior menantu sekaligus sepupu Nabi ini. Di masa inilah keretakan semakin paripurna.
Sejarah mencatat bahwa sejak era Imam Ali itulah lahir sebuah sekte fatalistik yang menganggap bila penyelenggaraan meja hijau hanyalah milik Tuhan secara absolut. Kelompok tersebut lantas tidak segan menghukumi “kafir” kepada siapa saja—termasuk Imam Ali saat itu— yang tidak memutuskan suatu perkara berdasarkan “hukum Allah”. Oleh sebab alasan itu kemudian mereka disebut kelompok takfiri.
Persoalannya, siapa yang benar-benar mengerti maunya Allah?
Sementara Nabi Muhammad—pemilik otoritas yang paling sah atas wahyu Tuhan—telah wafat, para ulama kemudian mendasarkan hukum agama dengan perangkat ijtihad. Nabi pernah bilang jika kita mendapati suatu perkara baru yang tidak atau belum pernah terjadi di masa itu, maka tidak ada salahnya untuk berijtihad. Bila benar dua kebaikan, sedangkan bila salah satu kebaikan untuk kita.
Di titik ini, saya kira, tidak ada kebenaran objektif pasca era kenabian. Sebab kita, kaum awam agama ini, tidak benar-benar tahu maunya Allah secara persis. Pun berdasarkan Al-Qur’an atau Sunah, mekanisme penggalian maknanya juga tidak sesederhana berselancar di google lalu mengetik “how to bla-bla-bla”.
Sebaliknya, yang ada hanyalah subjektivitas yang disepakati. Contoh paling konkret adalah keberadaan Mushaf Utsmani. Mushaf Al-Qur’an genap 30 Juz, dari surah Al-Fatihah sampai An-Nas yang beredar sekarang ini bukanlah ketetapan atau perintah Nabi. Dan untuk alasan itulah Abu Bakar, saat itu, sempat kepalang galau menanggapi usulan Umar bin Khathab tentang kodifikasi Al-Qur’an.
Lebih jauh, kendatipun di era Utsman bin Affan kodifikasi Al-Qur’an benar-benar paripurna, senyatanya ada beberapa sahabat yang menolak peredaran Mushaf tersebut. Ibn Mas’ud, misalnya, memiliki mushaf sendiri yang konstruksinya jelas berbeda dengan apa yang disepakati panitia resmi.
Demikian halnya dalam pandangan fiqh. Ada begitu banyak khilafiyah. Apalagi dalam hal politik, lebih meriah lagi keberagamannya. Tapi dalam hal rukun asasi teologi setamsil beriman kepada Allah, hari kiamat, dan beramal saleh semua umat Muslim sepakat dan saling mengamini.
Maka, jika hari ini ada yang menyerukan agar umat Islam bersatu, terus terang saya sungguh kebingungan. Di satu pihak, memang, persatuan itu adalah hal mulia. Akan tetapi, ia juga terkadang sangat paradoks di pihak yang lain.
Jadi, persatuan umat Islam seperti apa yang dibayangkan reuni 212? Persatuan umat Islam untuk membenci yang minoritas dan yang berbeda pandangan-kah? Atau, jangan-jangan “persatuan umat Islam” itu tak lebih dari kamuflase politik dari agenda besar formalisasi syariat Islam? Semoga saja tidak.
Yang jelas, persatuan beda dengan penyeragaman. Sebagai seorang Muslim awam, saya tentu sepakat jika umat Islam bersatu. Akan tetapi, betapapun hal itu mungkin terwujud, dengan penuh kesadaran, prosentasenya sangatlah tipis.
Plus, di saat yang sama, kita juga seyogyanya menolak adanya penyeragaman paham atau bahkan pemaksaan tafsir Islam secara sepihak. Sebabnya sederhana saja: antara para ulama terdahulu sebut saja Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i saja yang kendati berbeda tafsir keagamaan tetap santai kok. Lantas, kenapa kita harus ngotot dan galak?
Bukankah keberagaman itu adalah rahmat Tuhan yang patut kita syukuri bersama?
Biarlah ia ada sebagai penanda bahwa kita memang jauh sekali dengan era pewahyuan, kenabian, serta, tentu saja, masih ada banyak hal di luar kuasa kita, salah satunya adalah keterbatasan mengatur pikiran orang. Dan, bukankah yang terakhir itu merupakan salah satu tanda kebesaran Tuhan?