Para Pengkaji Hadis-hadis dalam Kitab Ihya Ulumiddin Karya Al-Ghazali

Para Pengkaji Hadis-hadis dalam Kitab Ihya Ulumiddin Karya Al-Ghazali

Imam al-Ghazālī sangat banyak menukil Hadis dalam kitab Ihya Ulumiddin. Hadis-hadis tersebut dikaji oleh beberapa ulama.

Para Pengkaji Hadis-hadis dalam Kitab Ihya Ulumiddin Karya Al-Ghazali

Berbeda dengan kitab-kitabnya yang lain, Imam al-Ghazālī sangat banyak menukil Hadis dalam kitab Ihya Ulumiddin. Hadis-hadis tersebut mencakup tema-tema penting, seperti aqidah, hukum, akhlaq, dan tasawuf. Oleh karena itu, tidak heran kitab ini bisa menarik perhatian para muḥaddits dalam melakukan kajian terhadap Hadis-hadis yang terdapat di dalamnya, baik dari ulama terdahulu maupun ulama kontemporer.

Apabila diperhatikan, metode penukilan al-Ghazali dalam kitab Ihya, maka dapat disimpulkan bahwa ia tidak pernah menyebutkan sanad Hadis walaupun hanya satu. Oleh karena itu, maka ada di antara para ulama setelahnya yang berusaha men-takhrij Hadis-hadis tersebut. Ada juga yang memberikan syarah sekaligus takhrij. Namun, tak kalah pentingnya ada juga yang hanya memberikan kritikan.

Adapun ilmuwan yang hanya mengkhususkan diri dalam men-takhrijnya adalah Imam al-Hafizh Zainuddin al-Iraqi. Imam al-Iraqi menulis kitab khusus yang berjudul “al-Mughni fi Haml al-Asfar fi al-Asfar fi Takhrij ma fi Ihya min al-Akhbar.” Beberapa peneliti kontemporer menyebutkan dengan judul yang sedikit berbeda. Terlepas dari itu, al-Iraqi menjelaskan pada muqaddimah kitab tersebut sebagai berikut,

“Jika Hadis yang terdapat di dalam Ihya ditemukan dalam Sahihain atau salah satu dari keduanya, maka aku mencukupkan dengan menisbahkan kepadanya (tanpa menyebutkan periwayat lain). Jika tidak demikian, maka aku merujuk kepada kutub al-sittah setelahnya. Seandainya terdapat pada salah satu dari kutub al-sittah maka aku tidak menyebutkan kitab yang lain, kecuali dengan tujuan yang benar.”

Menariknya, ketika Imam al-Iraqi tidak menemukan matan Hadis yang disebutkan al-Ghazalī, maka ia berusaha mengungkapkan lafaz yang mirip dengan matan tersebut. Oleh karena itu, ia terkadang menyebutkan, “Diriwayatkan oleh Imam si Fulan” maka bukan berarti lafaznya sama seutuhnya, namun memang kebanyakan lafaznya sama, tetapi terkadang lafaznya berbeda namun maknanya sama.

Dengan cara tersebut, al-Iraqi tidak serta merta mengatakan Hadis tersebut maudu’ (palsu). Ketika ia tidak mendapatkan sumber Hadis tersebut, maka ia hanya menyebutkan “Aku tidak tahu sumbernya” —la ashl lahu-.

Seandainya terdapat pengulangan satu Hadis yang sama pada satu bab maka al-Iraqi hanya mencukupkan dengan satu keterangan saja. Adakalanya ia menyebutkan kedua kalinya dengan mengatakan “qad taqaddam” (telah di-takhrij sebelumnya) dan terkadang tidak ia sebutkan kata-kata ini.

Selain itu, Hadis-hadis yang terdapat kitab al-Mughni fi Haml al-Asfar tersebut disusun kembali secara berurutan berdasarkan abjad hijaiyah oleh al-Muhaddits kontemporer, yaitu Mahmud Said Mamduh ketika berada di Mekkah. Ia menulisnya dalam kitab yang berjudul al-Isaf al-Mulhin fi bi Tartib Ahadits Ihya Ulumiddin.

Adapun ilmuwan yang memberikan syarah kitab Ihya sekaligus men-takhrij Hadis-hadisnya, seperti Imam al-Hafizh al-Lughawi Murtadha al-Zabidi. Ia menulis kitab syarah yang berjudul Ithaf al-Sadat al-Muttaqin bi Syarh Asrar Ihya Ulumiddin. Ia memberikan syarah secara global dan terperinci, serta pen-takhrijan yang lebih sempurna daripada Imam al-Iraqi.

Wallahu A’lam.

 

Tulisan selanjutnya: Ini Jumlah Hadis dalam Kitab Ihya Ulumiddin Karya Al-Ghazali