Para Mufassir yang Menghindari Huruf Bertitik

Para Mufassir yang Menghindari Huruf Bertitik

Para mufassir ini menulis kitab tafsirnya dengan huruf-huruf yang tak bertitik.

Para Mufassir yang Menghindari Huruf Bertitik
Doc: KH. Afifuddin Dimyathi

Para mufassir (ulama tafsir) mempunyai cara masing-masing untuk mengekspresikan pemikiran dan kemampuannya dalam berinteraksi dengan Al-Quran. Tentu saja, di antara mereka ada yang “hanya” mengikuti metode-metode sebelumnya, tapi tidak sedikit pula yang berinovasi mengembangkan metode unik, yang menjadikan tafsirnya menarik perhatian para pengkaji tafsir.

Dan berikut ini beberapa mufassir yang menerapkan metode unik dalam menafsirkan Al-Quran, yaitu dengan menghindari penggunaan huruf bertitik. Jadi, kita takkan menemukan huruf berikut dalam tafsinya: ب، ت، ث، ج، خ، ز، ظ، ض، ف، ق، ن، dan ي

Mereka adalah:

Pertama, Faydhullah bin Mubarak al Akbar Abaadi (954 – 1004 H).

Beliau terkenal dengan nama Imam Faydhy. Beliau lahir dan besar di India, Kakeknya adalah Syekh Khidhir berasal dari Yaman dan hijrah ke India. Kitab tafsirnya berjudul Sawati’ al-Ilham lihalli Kalamillah al-Malik al-Allam (سواطع الإلهام لحَلّ كلام الله الملك العلاّم)

Tafsir ini mempunyai sistematika penyajian yang unik, yaitu dari awal sampai akhir al-Faydhi menghindari penggunaan huruf bertitik, padahal kitab ini dicetak dalam 6 jilid, dan tentu saja, nampak sekali takallufnya (terlalu memaksakan). Dia mengawalinya dengan kalimat berikut demi untuk menghindari hamdalah yang ada titiknya:

أحامد المحامد ومحامد الأحامد لله مصعد لوامع العلم وملهم سواطع الإلهام، مرصص أساس الكلم، ومؤسس محكم الكلام… إلخ

Di akhir tafsir ini, beliau menambahkan semacam mu’jam (kamus) untuk menjelaskan kata-kata yang menurutnya asing yang ada dalam tafsirnya. Ya, tentu saja, siapapun yang menghindari huruf bertitik pasti akan terpaksa menggunakan lafaz yang tidak familiar.

Dalam tafsir ini, beliau membahas permasalahan kebahasaan, menjelaskan qiraat-qiraat, dan menampilkan perbedaan para ulama lalu memilih yang kuat di antara perbedaan tersebut, di samping beliau juga menjelaskan tema tema yang terkandung dalam ayat.

Kedua, Mahmud bin Muhammad al Hamzawi al Hanafi (1236-1305 H).

Beliau adalah mufti negara Syam pada masanya dan termasuk penulis buku yang produktif di berbagai bidang. Kitab tafsirnya berjudul Durrul Asrar fi Tafsiril Quran bil Huruf al-Muhmalah (دُرّ الأسرار في تفسير القرآن بالحروف المهملة)

Tafsir ini terdiri dari dua jilid, dan dari awal sampai akhir hanya menggunakan huruf-huruf muhmalah (huruf tanpa titik). Membaca tafsir ini, kita akan merasakan kehebatan bahasa Arab dan keunikannya di tangan sang mufassir. Untuk menghindari basmalah yang ada titiknya, beliau menulis:

اسم الله العلام أول الكلام.

Kata an-nabiy (النبي) diungkapkannya dengan kata al-Rasul Muhammad (الرسول محمد) untuk menghindari titik di kata النبي.

Selain itu, kata Shallallahu alaihi wasallam (صلى الله عليه وسلم) digantinya dengan Shallallahu ‘ala Ruhihi wa Sallam (صلى الله على روحه وسلم) demi menghindari kata alaihi (عليه) yang bertitik.

Kata alaihissalam (عليه السلام) juga diungkapkannya dengan Raddadallahu akmalas salam (ردّد الله له أكمل السلام)
tanpa titik sama sekali. Kedua tafsir ini Insya Allah sudah tercantum dalam buku saya berikutnya tentang “Kitab-Kitab Tafsir”.

Wallahu A’lam.