Kisah Pangeran Diponegoro dan Bagaimana Seharusnya Muhammadiyah Hari Ini

Kisah Pangeran Diponegoro dan Bagaimana Seharusnya Muhammadiyah Hari Ini

Artikel ini salah satu bentuk sumbangsih pemikiran terkait akan berlangsungnya Muktamar Muhammadiyah Ke 107 di Surakarta.

Kisah Pangeran Diponegoro dan Bagaimana Seharusnya Muhammadiyah Hari Ini
Patung Diponegoro di Magelang (Isroi Fotography)

Selalu menarik untuk membaca lembaran sejarah yang terjadi pada persyarikatan Muhammadiyah yang saat ini sudah berusia lebih dari satu abad. Perhatian saya tertuju pada lembaran sejarah Congres Moehammadijah ke 20 di Djokja pada 8-16 Mei 1931 (Kongres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta).  Dalam poster kongres ini Muhammadiyah menggunakan gambar Pangeran Diponegoro yang berdiri dan menunjuk Masjid Gede Yogyakarta. Di bawahnya tertulis huruf Arab : Hayya ‘alal falah yang artinya “mari menuju kemenangan”. Pada era ini Pangeran Diponegoro menjadi icon perjuangan bagi kalangan pergerakan dari komunis, nasionalis dan agama.

Pangeran Diponegoro memukul Danurejo IV (menjabat 1813-1847) dengan selop kanan yang dikenakannya lantaran pertengkaran tentang penyewaan tanah kerajaan di Rojowinangun kepada orang Eropa. Dalam praktik tersebut ditemukan adanya tindak korupsi. (Lihat buku “Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro” ditulis oleh Peter Carey).

Salah satu pemicu perang Jawa (1825-1830) adalah isu korupsi. Arus uang yang melimpah-ruah dengan datangnya penyewa tanah dari eropa pasca Agustus 1816 (koloni Hindia Timur dikembalikan kepada Belanda oleh Inggris) di Pulau Jawa membuka jalan bagi pejabat korup seperti Danurejo IV. Cara korupsi 200 tahun yang lalu mirip dengan jaman sekarang. “Wani piro” yang diwujudkan dalam suap juga sudah terjadi di era abad yang lalu.

Dalam buku “beberapa aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke 19” karya Kareel A. Steenbrink, para sejarawan menyepakati bahwa perang Diponegoro adalah perang anti-kolonial. Hal ini disebabkan oleh beberapa poin penting: 1). Wilayah kraton yang menyempit akibat diambil alih oleh Belanda, 2). Pemberian kesempatan kepada orang Tionghoa untuk menarik pajak, 3). Kekurangadilan di masyarakat Jawa, 4). Aneka intrik di Istana, 5). Praktik sewa perkebunan secara besar-besaran kepada orang Belanda, yang menyebabkan pengaruh Belanda semakin membesar, 6). Kerja paksa bukan hanya untuk kepentingan orang Yogyakarta saja, tetapi juga untuk kepentingan Belanda.

Nampaknya jika kita lihat dari simplifikasi perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro terhadap kolonialisme Belanda, perlu kita pahami betul mengapa figur Diponegoro menjadi idola bagi kaum pergerakan pada eranya. Betapa revolusionernya Pangeran Diponegoro, seorang dari kalangan priyayi tetapi mampu meninggalkan kemewahan tahta kerajaannya dan mampu memobilisasi rakyat untuk mepertahankan keadulatannya dari tangan penjajah. Pangeran Diponegoro memerangi perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh para pejabat kerajaan.

Kondisi Indonesia saat ini berdasarkan catatan KPK dari tahun 2004 hingga 2019 sekarang, kasus korupsi paling banyak terjadi pada 2018 dengan jumlah 260 kasus. Anggota DPR dan DPRD menjadi aktor utama yang paling kerap terjerat dalam kasus korupsi dengan jumlah sebanyak 103 kasus. Kasus korupsi yang melibatkan swasta sebanyak 56 kasus, wali kota/ bupati serta wakilnya sebanyak 30 kasus.

Kemudian 24 kasus korupsi eselon I hingga III, lima hakim, empat korporasi, dua gubernur, satu kepala lembaga atau kementrian dan 31 kasus dari profesi atau jabatan lain. KPK mencatat ada sebanyak 1.064 tindak pidana korupsi sejak tahun 2004 hingga 2019. Dalam kurun waktu tersebut, korupsi paling banyak terjadi dengan melibatkan pihak swasta yakni sebanyak 266 kasus, diurutan kedua melibatkan anggota DPR/DPRD sebanyak 255 kasus.

Kejadian-kejadian perilaku korupsi di atas masih belum cukup untuk menunjukkan betapa terpuruknya bangsa Indonesia saat ini. Peristiwa-peristiwa politik akhir-akhir ini sangat sulit untuk dapat dijelaskan dengan nalar politik yang bermoral. Dimulai dari disahkannya UU KPK pada 17 September 2019 menjadi paradoks terbesar dalam agenda reformasi untuk memberantas perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme.

Tidak cukup sampai di situ supremasi hukum sebagai salah satu tuntutan reformasi juga menemui jalan yang terjal. Banyaknya pasal yang mendapatkan sorotan kritik dari masyarakat luas tidak dijadikan oleh legislatif sebagai pertimbangan untuk memperbaiki pasal tersebut. Sebagai contoh terkait pasal mengenai makar, kehormatan Presiden, Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Hukum yang hidup di Masyarakat.

Dilanjut dengan hadirnya RUU Pertanahan dan RUU Ketenagakerjaan juga memiliki berbagai catatan terkait pasal-pasalnya yang tidak pro kepentingan rakyat. Jadi nampaknya dengan banyaknya undang-undang yang mendadak muncul terkesan hadir sebagai formalitas penyelesaian tugas anggota DPR yang akan purna tugas.

Mengacu pada sejarah Kongres Muhammadiyah ke 20 di Yogyakarta yang menggunakan Pangeran Diponegoro sebagai tokoh dalam posternya, maka dalam Muktamar kali ini Muhammadiyah harus bisa meneladani sikap para pimpinan Muhammadiyah di era tersebut. Pada era tersebut Muhammadiyah menggunakan Pangeran Diponegoro sebagai panutannya karena Pangeran Diponegoro adalah simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan tindak KKN di kerajaannya.

Kondisi bangsa Indonesia saat ini sedang membutuhkan Muhammadiyah untuk bisa membenarkan arah kiblatnya. Di tengah persekongkolan para oligark bisnis dan politik, rakyat menjadi korban paling nyata dari produk hukum yang dibuatnya. Maka Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan dengan meneladani sikap pangeran diponegoro harus mampu  memberikan kontribusi nyata bagi pembenahan moral politik bangsa ini.

Muhammadiyah harus mampu menampar para koruptor di Indonesia ini dengan segala kekuatan yang dimilikinya untuk membuat jera pada para pelaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dan tidak berlebihan jika saya berpendapat bahwa dengan segala kemapuan, kekuatan, kekayaan, jejaring yang dimiliki Muhammadiyah saat ini, Muhammadiyah mampu menjadi Pangeran Diponegoro di Era Demokrasi Oligarkis ini.

Wallahu a’lam.

 

*Tulisan ini terinspirasi dari pidato budayawan JJ. Rizal saat memberikan ceramah di Muhammadiyah.

**Penulis adalah Wakil Ketua Bidang Hikmah Riset dan Hub. Antar Lembaga Pemuda Muhammadiyah Bojonegoro, dapat di hubungi di [email protected]