Pandemi Corona dan Otonomi Diri: Dilema antara Ikut Cemas dan Tetap Bahagia

Pandemi Corona dan Otonomi Diri: Dilema antara Ikut Cemas dan Tetap Bahagia

Diri yang sehat tidak cukup urusan tubuh ragawi. Lebih dari itu, kesehatan mental, pikiran dan spiritual butuh diperhatikan.

Pandemi Corona dan Otonomi Diri: Dilema antara Ikut Cemas dan Tetap Bahagia

Sampai hari ini, Corona atau COVID-19 masih (terus) menjadi headline wacana sosial arus utama. Setidaknya jika menilik media di Indonesia. Kompas (14/3/2020) menulis headline tebal: “Menanti Langkah Cepat Gugus Tugas Atasi Pandemi”. Jelas, yang dimaksud “pandemi” adalah COVID-19 atau Corona.

COVID-19 telah menyita banyak perhatian dari banyak pemerhati dan para pakar di bidangnya masing-masing. Termasuk khalayak banyak yang tak punya kepakaran khusus. Karena satu alasan paling mendasar: “Corona mengancam kebahagiaan saya dan orang-orang yang saya sayangi”.

Hal tersebut menunjukkan bahwa Corona adalah bola viral yang menggelinding semakin deras dan membesar. Menggilas bahkan ke ruang-ruang privat setiap orang. Termasuk pikiran dan sentimen kejiwaan mereka.

Kesan cemas sangat kuat terlihat. Berbagai otoritas publik menjadi sibuk dengan strategi-instruksi khusus, sebagai langkah antisipasi menyebarnya virus ini. Mulai dari Presiden sampai pak RT, bekerja ekstra. Kecuali beberapa tetangga saya yang sibuk cari makan, karena tak ada jatah gaji bulanan dan tunjangan kesehatan. Sedang bagi mereka, ancaman sakit dan kematian sudah basi. Takenak dimakan.

Saya justru lebih tertarik menyoroti aspek “kecemasan” masyarakat terkait Corona, daripada tentang Corona sendiri. Virus kecemasan ini melanda hampir setiap konsumen berita.

Medis dan Media Merapuhkan Kesehatan Otonomi Diri

Kepanikan tersebut semakin kokoh dan menancap, ketika secara padu institusi-institusi sosial kompak dan serempak bergerak di jalur yang sama: virus Corona adalah pandemi dunia. World Health Organization (WHO) memberi pengumuman resmi tentang pandemi ini, lalu seluruh dunia patuh mengamininya.

Siapa WHO? Kenapa suaranya menjadi penting bagi hidup kita? Secara lirih akan terdengar aklamasi masyarakat, bahwa WHO adalah ahli medis yang paling otoritatif dalam urusan kesehatan manusia sedunia. Namun tetap kita harus bertanya kembali, apakah kita sebegitu tak punya hak atas kesehatan kita sendiri?

Secara sosiologis, situasi hari ini adalah kelanjutan dari gelaran modernitas yang, di satu sisi ditandai dengan memudarnya otoritas penuh individu atas “dirinya sendiri” (B. Herry Priyono, 2016: 55). Budaya dan ekosistem sosial telah mencabut hak kita atas diri kita sendiri. Setiap permasalahan dikondisikan untuk diampu oleh para ahli, termasuk di wilayah medis dan media. Masalah kesehatan, wilayahnya dokter. Masalah berita, wilayahnya jurnalis media. Masyarakat adalah entah.

Terkait perkara informasi mana yang terbilang “penting” untuk dikonsumsi, sistem sosial menyerahkannya kepada media. Padahal kebutuhan setiap orang tak sama.

Masyarakat terisi oleh banyak orang, dengan banyak kepentingan yang berbeda. Kalau mau jujur, justru kepentingan untuk ‘bahagia’ lebih mendesak. Tapi banyak orang terpaksa ikut cemas dan menunda kebahagiaannya, karena media mengepung setiap akses berita, dengan headline Coronanya.

Terlepas dari bergunanya informasi dari media, ada kritik mendasar yang juga melekati arah dan pilihan pemberitaan media professional. Bourdieu (Pierre Bourdieu, 2020: 116), mendapati para pemegang otoritas kunci di media, khususnya televisi kian terseret kepentingan komersial. Sedemikian, jadi tidak aneh bila kita bertanya, bukankah berita tentang kecemasan dunia tentang COVID-19 terkait dengan profit media?

Jauh sebelum lahirnya institusi medis—terlebih tentang otoritas dokter sebagai hakim kesehatan—manusia diajarkan untuk merawat dirinya sendiri. Foucault dalam Teknologi-Teknologi Diri, mengingatkan bahwa tradisi merawat diri secara pribadi, sudah diajarkan pada masa-masa awal filsuf Yunani. Artinya pernah ada suatu masa ketika manusia baik-baik saja dengan dirinya sendiri, tanpa menunggu ‘ceramah’ para ahli. Orang-orang pada masa itu, dilatih untuk berproses supaya dapat otonom terhadap dirinya sendiri.

Otoritas medis berpengaruh besar terhadap munculnya keragu-raguan untuk nyaman dengan kondisi kesehatan pribadi. Sama halnya dengan media. Melalui berita-berita dan informasi yang sebegitu meruyak, seseorang jadi rabun dengan kebutuhannya terhadap berita. Kebutuhan yang sifatnya khas untuk dirinya sendiri.

Waspada Sembari Tetap Bahagia

Jauh-jauh hari sebelum muncul COVID-19, seorang Ph.D dari Ohio University, Peggy Zoccola melakukan penelitian tentang pengaruh kecemasan terhadap ‘daya tahan’ atau imunitas tubuh manusia. Hasil penelitian yang dipresentasikan di Miami pada American Psychosomatic Society (2013), menyatakan bahwa proses inflamasi terjadi begitu seseorang menjadi cemas. Inflamasi adalah reaksi khusus dalam tubuh sebagai tanda pertahanan (imun) dari penyakit.

Dengan terpicunya inflamasi saat seseorang mengalami kecemasan, tanpa adanya Corona pun sudah rentan terhadap penyakit. Alih-alih ada pandemi, peluang terjangkiti virus influenza biasa jadi berlipat.

Kewaspadaan dalam setiap perkara yang mengancam, adalah kewajaran. Bagi setiap orang yang mawas diri, setiap saat telah terbiasa untuk ‘hati-hati’. Berpikir dingin dan jernih selalu berguna di momen apa pun. Terlebih ketika krisis.

Jika memang WHO telak dengan diagnosisnya, membangun kewaspadaan terhadap COVID-19 adalah mutlak perlu. Namun perlu diperhatikan, dalam disiplin Psiko-Neuroimunologi (PNI), perasaan senang-gembira dapat meningkatkan daya tahan tubuh. Lebih jauh, dengan kondisi jiwa yang sehat dan bahagia, orang sakit bisa sembuh. Tanpa obat.

Tulisan ini bukan ingin mendakwahkan apatisme sosial yang, mengajak pada sikap acuh terhadap realitas. Tetapi lebih berkepentingan membawakan serum imunitas terhadap otonomi diri. Karena diri yang sehat tidak cukup urusan tubuh ragawi. Lebih dari itu, kesehatan mental, pikiran dan spiritual butuh diperhatikan. Jadi, waspada sembari tetap bahagia adalah jalan lurus menuju sehat dan selamat.