Suatu hari, tiga orang sahabat berkunjung ke rumah Rasulullah SAW. Ketiganya ingin bertanya kepada istri beliau tentang ibadah Rasulullah. Setelah istri Nabi menjelaskan, mereka merasa bahwa ibadahnya masih kurang dan sangat tidak mencukupi bila dibandingkan dengan ibadah Nabi. Sahabat yang pertama lantas berniat akan shalat malam semalam suntuk tanpa tidur. Sahabat yang kedua mengatakan akan berpuasa sepanjang tahun. Sahabat yang ketiga berniat tidak akan menikah selamanya.
Mendengar pernyataan ketiga sahabat tersebut, Rasulullah SAW mendatangi mereka seraya menegurnya. Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa beliau adalah orang yang paling takut dan paling takwa kepada Allah ta’ala, akan tetapi beliau tidak lantas berlebihan dalam beragama. Nabi Muhammad SAW berpuasa, tetapi juga berbuka. Menunaikan shalat malam, tetapi juga tetap tidur. Pun pula, beliau juga menikah. Riwayat hadis sahih ini terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Dari kisah ini, Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita cara beragama yang benar, yaitu tidak berlebihan (ghuluw), memberat beratkan (tasyaddud), melampaui ketentuan (i’tida) dan memaksa-maksakan diri (takalluf). Cara beragama yang benar adalah berkeseimbangan (tawazun), berkeadilan (ta’addul), bertoleransi (tasamuh) dan berkasih sayang (tarahum). Cara beragama yang benar ini adalah prinsip-prinsip dasar moderasi Islam. Islam adalah agama yang moderat, ciri khas dan kelebihan ajaran Islam adalah segi moderasinya.
Dalam konteks keindonesiaan yang multi agama, budaya, bahasa, suku, dan adat istiadat, prinsip-prinsip moderasi beragama di atas sangat dibutuhkan. Perlu disandingkan dengan prinsip-prinsip yang menjadi falsafah hidup bersama. Satu di antaranya ialah nilai-nilai Pancasila. Lima sila yang digali oleh para bapak pendiri bangsa. Pancasila menjadi payung bersama bagi keragaman Indonesia. Menjadi acuan untuk hidup damai. Membangun peradaban bangsa. Jika kita cermati, moderasi Islam dan Pancasila adalah dua hal yang saling menopang.
Beberapa hari yang lalu, 1 Oktober 2019, masyarakat Indonesia hangat memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Di tengah suasana kurang harmonisnya kehidupan sehari-hari, peringatan ini penting kita maknai. Hingga kini, sisa kontestasi Pemilu 2019 ternyata belum sepenuhnya usai. Ditambah lagi dengan aksi demonstrasi penolakan RUU kontroversial, bencana asap di Sumatra dan Kalimantan, hingga gejolak konflik di Papua. Beberapa hal ini membuat suasana kurang mengenakkan bagi bangsa Indonesia.
Karena itu, mesti kita teguhkan kembali komitmen untuk hidup damai bersama di bumi Nusantara. Terlebih umat Islam sebagai mayoritas, harus mampu mengejawantahkan pesan mulia agama guna meneguhkan semangat persatuan dan kesatuan. Di antaranya ialah dengan menyandingkan semangat moderasi Islam dan Pancasila. Jangan sampai keragaman dan perbedaan membuat kita berperilaku ekstrem dan fanatik buta. Memandang kelompok dan golongannya sebagai pemilik kebenaran tunggal.
Moderasi Islam dan Pancasila
Sila pertama dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai bangsa yang multi agama; Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu, seluruh rakyat Indonesia mempercayai keesaan Tuhan. Toleransi yang hakiki dari semua penganut agama dan kepercayaan di Indonesia bertemu pada konsep keesaan Tuhan. Semangat toleransi ini termaktub dalam surat Ali Imran ayat 64.
Selain itu, moderasi Islam mengajarkan umatnya untuk bersikap toleran terhadap penganut agama lain. Pada titik inilah sila pertama Pancasila sejalan dengan prinsip moderasi Islam. Tidak diperkenankan bagi umat Islam menghina sesembahan agama lain. Prinsip ini tegas termaktub dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat 108:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللهِ فَيَسُبُّوا اللهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya:
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (Q.S. al-An’am: 108).
Imam Ibnu Katsir (701-774 H) dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini merupakan larangan Allah ta’ala kepada Nabi Muhammad saw dan umat Islam pada umumnya untuk menghina sesembahan agama lain. Tidak lain karena akan mendatangkan kerusakan yang lebih besar. Yakni akan terjadi saling umpat dan saling hina antar penganut agama. Masing-masing tidak menerima sesembahannya dihina dan direndahkan.
Sila kedua dari Pancasila adalah Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Kemanusiaan, keadilan dan keadaban adalah bagian integral dari prinsip moderasi dalam Islam. Umat Islam diajarkan untuk menghormati nilai-nilai kemanusiaan, menegakkan keadilan dan mewujudkan adab yang mulia dalam kehidupan. Dalam konteks inilah, Nabi Muhammad menyusun Piagam Madinah. Di antaranya adalah untuk menghormati dan menjaga hak-hak orang Yahudi dan Nasrani yang tinggal di Madinah. Serta mengajak mereka bekerja sama menjaga keamanan kota Madinah. Pada tataran ini, umat Islam sejajar dengan mereka dalam mewujudkannya.
Sila ketiga dari Pancasila adalah Persatuan Indonesia. Memiliki tanah air yang merdeka dan berdaulat adalah nikmat terindah yang Allah anugerahkan kepada bangsa Indonesia. Wilayahnya sangat luas membentang dari Sabang sampai Merauke. Terdiri dari 17.000 pulau, enam agama resmi dan aliran kepercayaan, beragam suku, bahasa, dan adat istiadat. Anugerah ini sangat potensial sekaligus krusial. Jika tidak dikelola dengan baik niscaya akan berujung pada konflik dan perpecahan. Pancasila dan UUD 1945 adalah pemersatu seluruh rakyat Indonesia.
Sila keempat dari Pancasila adalah Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Nilai-nilai moderasi Islam yang dapat digali dari sila keempat ini adalah hikmah peristiwa perang Uhud. Saat itu, Rasulullah saw adalah pemimpin dan panglima perang melihat penyebab kekalahan dalam perang Uhud adalah ketidakdisiplinan dan ketidaktaatan pasukan pemanah yang berada di atas bukit. Pasca perang Uhud, pasukan pemanah itu datang menghadap Rasulullah untuk meminta maaf. Rasulullah dengan bijak dan penuh kasih sayang menerima, memaafkan, mendoakan, dan mengajak mereka bermusyawarah.
Dari peristiwa ini lantas turunlah ayat 159 surat Ali Imran:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Q.S. Ali Imran: 159)
Sila kelima dari Pancasila adalah Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang adil makmur dan sejahtera, moderasi Islam mengajarkan prinsip keseimbangan. Keseimbangan antara dunia dan akhirat, berpikir dan berzikir, iman dan amal shalih, material dan spiritual. Berdasarkan konsep keseimbangan inilah seluruh aspek kehidupan manusia dijalankan. Mulai dari ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hingga pertahanan dan keamanan.
Dari titik ini, dapat kita pahami bersama bahwa sinergisitas antara Pancasila dengan prinsip moderasi Islam adalah rumusan yang saling menopang. Pancasila telah diwariskan sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia. Dengan payung Pancasila, keragaman dan perbedaan agama, budaya, dan adat istiadat harus menjadi modal bersama. Menguatkan harmoni dan sinergi untuk menciptakan kedamaian dan kemajuan bersama. Karena tanpa kedamaian dan keamanan, mustahil bangsa Indonesia mampu menatap masa depan sebagai bangsa yang maju dan beradab.
*Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di Buletin Muslim Muda Indonesia