Pamitnya Muslim-Coki dan Kisah Sufi yang Harusnya Dibaca Golongan Kami

Pamitnya Muslim-Coki dan Kisah Sufi yang Harusnya Dibaca Golongan Kami

Tretan Muslim dan Coki Pardede sebenarnya biasa saja, mengingatkan saya pada cerita-cerita humor sufi

Pamitnya Muslim-Coki dan Kisah Sufi yang Harusnya Dibaca Golongan Kami
Padahal, keduanya membuat kita jadi muslim yang terus berpikir dengan gaya satir.

Semalam (30/10) di video berjudul Debat Kusir – Episode Terakhir yang diunggah channel Youtube Majelis Lucu Indonesia, Coki Pardede dan Tretan Muslim (komika standup) menyatakan pamit dari dunia komedi. Banyolan khas “e tapi bohong.. hiya hiya hiya!” yang biasanya jadi twist punchline mereka kali ini tidak muncul sampai akhir. Kali ini mereka benar-benar serius mempertimbangkan undur diri dari panggung yang membesarkan nama mereka.

Pamitnya Coki dan Muslim ini bukan tanpa sebab. Unggahan video mereka memasak daging babi bumbu sari kurma, bikin gaduh sosial media beberapa waktu lalu.

“Lho, ini daging kok enggak bau babi ya?” Ujar Muslim sambal mengendus-endus box berisi daging babi.

“Coba kalau kita dengarkan!” sambil mendekatkan telinga ke box daging babi tersebut. “Waah tolong! Terdengar suara neraka!” Banyol Muslim. Coki yang seorang Kristen terbahak-bahak melihatnya.

Kurang lebih itu sedikit dari guyonan yang mereka lontarkan dalam video itu. Bagi saya sendiri, guyonan ini menggugah nalar kita; Sejak kapan benda mati (babi dan kurma) punya agama? Sekaligus sindiran bagi mereka yang masih memuja simbol dalam beragama,

Candaan yang rupanya membuat panas kuping kelompok yang gagal menangkap esensi humor satire. Hujatan, makian dan tuduhan melecehkan agama kontan dialamatkan kepada duo komika Batak dan Madura ini. Tidak hanya netizen yang maha benar dengan segala komentarnya, beberapa ustadz beken tak ketinggalan angkat bicara.

Bukan hanya itu, Coki dan Muslim mengaku mendapatkan persekusi dan bahkan ancaman pembunuhan yang dialamatkan kepada orang-orang terdekat mereka. Beberapa penampilan komika lain di daerah yang siap digelar, terpaksa dibatalkan akibat terjadi penolakan dari berbagai pihak. Ketika persoalan sudah menyangkut nyawa orang, menghindari kerusakan adalah pilihan utama. Coki dan Muslim melakukan itu.

Kejadian persekusi kepada komunitas standup comedy bukan kali ini terjadi. Sebelumnya, Ge Pamungkas, Joshua dan Uus pernah jadi sasaran tembak kelompok sumbu pendek yang gampang tersulut amarah. Ini berefek pada teman-teman komika di daerah. Sering saya temui di berbagai event, komika sudah keduluan rasa takut bahkan sebelum tampil di pentas. Atau selama berlangsungnya acara, para komika berulang kali memastikan supaya penonton tidak ada yang merekam lewat video.

“Takut nanti kejadian lagi, dituduh menistakan agama”.

Islam dan Humor

Kejadian seperti ini menyisakan pertanyaan buat kita pikirkan bersama. Apakah agama memang sedemikian berjarak dengan anekdot dan guyonan? Agama memang tidak mengajarkan kita untuk menjadi pelawak, tapi mustahil humor tidak hadir di tengah kehidupan manusia.

Rasulullah Muhammad sendiri pun pernah melontarkan guyonan ketika ada seorang nenek-nenek mendatangi beliau. “Wahai Rasul, berdoalah pada Allah supaya memasukkanku ke dalam Surga.” Lantas Rasulullah menjawab, “Wahai Ummu Fulan, Surga tak mungkin dimasuki oleh nenek tua.”

Nenek itu merasa sedih dan berjalan pergi. Kemudian Rasulullah menimpali, “Ketahuilah Surga tidak mungkin dimasuki sedangkan engkau dalam keadaan tua, karena Allah berfirman akan menjadikannya bidadari berusia muda.” (HR. Tirmidzi)

Khazanah Islam pun tidak asing dengan anekdot dan humor satire. Banyak tokoh Sufi dan cerdik pandai melontarkan satire yang membuat kita berpikir dan menuai hikmah. Seperti Rabiah Adawiyah yang berlari-lari membawa ember berisi air dan obor. Ketika ditanya, Rabiah menjawab “Aku ingin membakar surga dan memadamkan neraka karena orang-orang beribadah kepada Allah bukan atas dasar cinta kepada-Nya! Mereka hanya ingin surga dan takut neraka!”

Ada banyak nama lain seperti Nasruddin Hoja, Bahlul, dan Abu Nawas. Kisah Abu Nawas yang cukup terkenal, misalnya;

“Guru, apakah manusia bisa menipu Tuhan?” Tanya murid Abu Nawas. “Bisa,” jawab Abu Nawas. “Dengan apa manusia bisa menipu Tuhan?” lanjut sang murid. “Caranya lewat rayuan dan doa” Lantas Abu Nawas melantunkan syair yang sampai kini dikenal dengan doa Abu Nawas;

“Ilaahi lastu lil Firdausi ahlan, wa laa aqwa alaa Naari al-jahiimi. Fa habli taubatan waghfir dzunuubi. Fainnaka ghaafiru dzanbi al-adhiimi.”

Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku tak pantas jadi ahli surga. Tapi aku juga tidak kuat menerima siksa api neraka. Maka terimalah taubatku dan ampunilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa-dosa.

Cerita-cerita dari “orang gila” ini lantas dirangkum dalam satu kitab klasik yang berjudul Uqalaa al-Majaniin karya Abu al-Qasim al-Naisaburi dari Iran yang ditulis seribu tahun silam. Judul kitab ini sendiri berarti “Kebijaksanaan Orang-orang Gila” dan jadi khazanah kekayaan budaya Islam.

Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang. Jargon yang dulu ngetop di penutup film-film legendaris Warkop DKI itu jadi seperti ramalan yang kini nyata adanya. Bahkan rasanya untuk menertawakan diri sendiri kita makin enggan, karena polisi moral dan pengawal akhlak yang kapan saja siap menempeleng kepala kita tiap kali terpeleset dalam kata-kata.

Saya tidak merasa kasihan kepada Coki dan Muslim yang mundur dari karirnya. Justru saya kasihan kepada kedewasaan emosi kita yang makin ke sini rasanya makin tumpul. Dari mereka saya jadi mengerti ucapan Gus Dur benar adanya; perdamaian tanpa adanya keadilan adalah ilusi belaka.