Beberapa waktu lalu ketika jalan-jalan ke sebuah pusat perbelanjaan ada satu hal yang cukup menyita perhatian saya. Sepasang suami istri, muda, dan kebetulan mbaknya memakai cadar, bermesraan layaknya dalam scene romantis drama Korea. Mereka bergandengan tangan mesra, sesekali bercanda, bisik-bisik dan saling berpelukan. Erat sekali. Seakan tak peduli akan keberadaan puluhan orang lain yang sedang berpapasan, atau ketiban apes jalan di belakang mereka.
Posisi saya waktu itu, sayang sekali, ada di belakang pasangan muda ini bahkan dengan tujuan yang sama naik ke tingkat tiga pakai eskalator. Bayangkan saja, durasi 2 menit serasa puluhan menit. Karena mau tidak mau, saya, mungkin juga beberapa pengunjung lainnya, menyaksikan adegan romantis mereka berdua. Sesekali kami, sesama pengguna eskalator, saling bertatapan mata seperti sama-sama mbatin, sambil berujar ‘duileee serasa yang lain ngontrak’.
Beberapa orang lebih tertarik memalingkan wajah untuk melihat etalase berjejer dengan segala produk sekedar untuk lepas dari pemandangan yang buat kikuk, geli, dan entahlah. Namun, saya justru sebaliknya, penasaran dan tertarik untuk melihat mereka dari sudut pandang lain.
Dahulu, paling tidak beberapa tahun silam, image perempuan bercadar kerap dihubungkan dengan sesuatu yang ‘konservatif’, tidak up to date, dan seakan tak bisa bergerak bebas di dalam ruang publik. Cadar, bagi sebagian orang, tak hanya dipahami sebagai bentuk kesalehan diri, namun kian kemari cadar bisa juga dipahami sebagai salah satu cara berpakaian wanita muslimah. Dengan begitu, ukuran kesalehan tak lagi bisa serta merta dihubungkan dengan penggunaan cadar.
Belakangan, perempuan bercadar semakin mendapat ruang dalam masyarakat meskipun ada satu dua kasus yang dianggap tidak kompromi dengan penggunaan cadar. Namun, secara garis besar masyarakat kita cukup menerima hal tersebut. Dengan cadar mereka masih bisa beraktifitas seperti biasa. Penuh leluasa.
Tak ketinggalan dalam dunia fashion. Para fashion designer juga tak ingin kehilangan momentum. Mereka menciptakan busana muslimah lengkap dengan cadarnya guna menunjang aktivitas sehari hari, termasuk baju olah raga hingga gaun pengantin bercadar.
Sampai hari ini, saya tak lagi kaget atau merasa asing dengan perempuan bercadar. Ada beberapa kawan saya yang juga memutuskan untuk bercadar, dan kami berteman dengan baik. Tak hanya berada di tempat-tempat tertentu yang eksklusif, di pusat-pusat perbelanjaan, warung, cafe, bioskop, atau rumah makan hits, saya biasa menjumpai perempuan bercadar.
Seperti halnya yang lain, saya memandang mereka seperti masyarakat pada umumnya. Tak kurang dan tak lebih. Tidak ada sesuatu yang spesial, kecuali mbak yang ada di hadapan saya ini, yang sedari tadi bersender mesra di bahu suami sambil bergandengan tangan tanpa jeda. Sesekali diiringi tawa kecil, dan saling cubit.
***
Kembali lagi ke persoalan ukhti-akhi yang kerap menunjukkan kemesraan di ruang publik. Lagi lagi, saya harus stalking di dunia Instagram untuk melihat berbagai perubahan prilaku keagamaan generasi muda yang banyak dimunculkan oleh para selebgram, yang nyatanya juga kian diikuti oleh beberapa kalangan, khususnya para milenial.
Gerakan menikah muda, adalah salah satu kunci dibalik fenomena ini. Fenomena saling mengumbar kemesraan ‘syar’i’, yang tujuannya tak lain agar para pemuda pemudi lainnya mupeng pengen nikah. Semudah itu. Narasi yang kerap kali dipakai adalah pacaran halal dan menolak perzinaan. Bagaimana caranya? Ya dengan menikah muda. Pokoknya kalo udah kebelet langsung lamar, dan akad. Beres. Halal, dan syar’i. Modalnya cuma keberanian.
Konsep pernikahan direduksi sedemikian rupa seolah isinya hanya melulu tentang keintiman dan keromantisan. Permasalahan lain terkait rumah tangga, termasuk kesiapan biologis, mental, dan ekonomi tak lagi diperhitungkan.
Dengan jargon “Karena beribadah butuh keberanian”, cukup banyak akhi-akhi yang kemudian hanya bermodalkan keberanian, langsung nekad melamar. Lagian lelaki mana sih yang tidak merasa terusik kejantanan dan superioritasnya jika disindir tidak punya nyali?
Faktanya, gerakan ini cukup masif menyasar anak anak muda yang masih labil, dan di usia yang produktif. Berbagai postingan foto romantis nan ‘syar’i’ menjadi konten utama dalam laman sosial media gerakan nikah muda. Anggotanya bahkan sudah mencapai ribuan, tentunya dilengkapi dengan fasilitas kartu anggota alias ID Card.
Saya jadi teringat kisah salah satu selebgram muda, yang juga seorang mahasiswa di Universitas Al-Azhar Kairo,Taqy Malik. Sebagai salah satu pasangan yang digadang-gadang menjadi panutan para pengikut gerakan ini, kisah pernikahannya justru berakhir tak seindah foto-foto romantisnya dikala memutuskan menikah di usia yang masih sangat muda. Ia bercerai hanya dalam waktu tiga bulan. Salah satu alasan terkuat dan menjadi pemicu utamanya adalah ketidaksiapan mental, labil, sehingga rentan terhadap masalah masalah kecil yang kemudian dianggap besar.
Tentu saja, ada banyak Taqy-Taqy yang lain. Menggebu gebu menikah muda, karena diiming-iming potret kesalehan pasangan lain alih-alih menolak pacaran. Tak se-ektrem itu sebetulnya. Selalu ada jalan tengah, pun sikap kehati-hatian dalam menjalin setiap hubungan dan kisah asmara.
Berzina, dan memilih untuk menikah muda tanpa kesiapan mental dan psikis, merupakan sikap yang sama sama berlebihan. Sesuatu yang sebenarnya, siapapun itu, termasuk manusia dewasa yang dikaruniai akal sehat serta mematuhi norma sosial keagamaan dalam masyarakat, bisa menghindari. Tak lantas untuk menghindari zina, nikah muda diklaim menjadi solusi satu satunya.
Memang tingkat kedewasaan seseorang tak bisa serta merta dilihat dari umur, namun mayoritas kasus pernikahan dini di usia muda yang kandas ditengah jalan hanya membuat daftar korban, khususnya kaum perempuan, semakin bertambah. Stereotype dalam masyarakat kita yang masih berat sebelah akan menempatkan perempuan sebagai pihak yang paling dirugikan. Apalagi jika sudah memiliki keturunan, ekonomi tidak stabil, dan sederet problematika lain yang cukup pelik dalam berumah tangga.
Toh, jika sudah saling berikrar janji atau ijab-qabul, pelopor berikut para aktivis gerakan ini tak lagi punya domain dan turut bertanggung-jawab jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Karena pernikahan tak ada lagi hubungannya dengan keterikatan pada suatu kelompok maupun jamaah tertentu. Pernikahan, dengan segala tanggungjawab dan konsekuensinya adalah wewenang kedua pasangan. Ia, akan memasuki wilayah baru yang privat dan individual. Tak lagi bisa dilihat sebagai bentuk kesalehan kelompok, melainkan kesalehan individu baik dari pihak suami maupun istri.
Jalan tengah yang semestinya menjadi pijakan adalah dengan melalui proses sewajarnya, tenang, dan matang. Terburu-buru tidak melulu berujung kebaikan. Sebagai manusia dewasa yang bisa menjaga diri dan mengerti akan segala konsekuensi perbuatannya, menjajaki perkenalan untuk niat yang baik sah-sah saja. Bukankah lebih baik para generasi muda membekali dirinya terlebih dahulu dengan mematangkan dalam hal beragama, juga niat, mental dan pendidikan, sebagai bekal paling utama menciptakan keluarga yang sehat, sakinah dan rahmah?
Generasi muda seharusnya punya pendirian. Berani untuk berkata tidak untuk zina, dan juga berani berkata tidak untuk menikah muda hanya karena mupeng lihat romantisasi pasangan yang diumbar dan dipamerkan dengan kemasan ‘syar’i’?
.