Malang sekali nasib Nabi Muhammad SAW saat masih kecil. Musibah sepertinya tak pernah berhenti menimpanya. ‘Ditinggal’ oleh orang-orang yang tersayang dan menjadi bagian penting dari hidupnya adalah hal yang sangat ia kenal. Mulai dari ayahnya, disusul ibunya, hingga kemudian kakeknya, Abdul Muthalib. paman Nabi
Setelah ibundanya, Sayyidah Aminah wafat. Muhammad kecil tingal bersama kakeknya, Abdul Muthalib. Dua tahun setelah kepergian ibunda tercinta, Abdul Muthalib pun meninggal dunia pada tahun 578 M di kota Mekah. Ketika ajal menjemput, kakek Rasulullah mewasiatkan kepada Abu Thalib, untuk merawat dan mengasuh keponakannya tersebut.
Abu Thalib menerima dengan senang hati dan ikhlas, Muhammad kecil masuk ke dalam keluarganya. Abu Thalib merupakan sosok yang sangat mulia, baik hati dan juga penyayang. Bahkan Abu Thalib menganggap Muhammad kecil seperti anak kandung nya sendiri. Sampai-sampai Abu Thalib tidak mau tidur jika tidak di samping Muhammad kecil.
Seiring berjalannya waktu, Muhammad kecil baru menyadari. Bahwa pamannya bukanlah seorang yang kaya raya. Kondisi ekonomi pamannya sangat memprihatinkan, ditambah pamannya memiliki anak yang banyak.
Suatu ketika, Muhammad kecil menyampaikan keinginannya untuk menggembala kambing kepada pamannya, Abu Thalib. Sang paman kaget mendengar hal itu. Ia berusaha mencegahnya, namun gagal. Begitu pula dengan sang bibi, Fatimah binti Asad, istri Abu Thalib. Keduanya sebetulnya tidak tega kalau keponakannya yang masih kecil itu harus kerja menggembala kambing. Akan tetapi tekad Muhammad kecil begitu bulat sehingga tidak bisa dihentikan oleh siapapun.
Di lain kesempatan, Nabi Muhammad juga melakukan hal yang sama, membantu meringankan beban ekonomi Abu Thalib, namun dengan cara yang berbeda. Yaitu menemani Abu Thalib berdagang ke negeri Syam bersama para sahabat yang lainnya. Muhammad kecil pun sangat menyayangi pamannya seperti ayah kandungnya sendiri. Sehingga ia rela mengorbankan apapun hanya untuk pamannya, Abu Thalib.
Pada suatu hari, penyakit Abu Thalib kambuh. Nabi Muhammad merasakan bahwa penyakit pamannya kian memburuk. Paman yang sudah ia anggap seperti ayah kandung nya sendiri, merasakan kesakitan yang parah. Nabi Muhammad merasa sangat sedih. Bahkan pamannya pun merasakan kecemasan dan kesedihan keponakannya itu, tetapi Abu Thalib tidak bisa menenangkan Nabi Muhammad ketika itu, karena dia pun tidak yakin bahwa ia akan sembuh.
Di sisi lain, ada kecemasan, ketakutan dan kesedihan yang di rasakan Nabi Muhammad. Abu Thalib, pamannya tidak mau mengikuti dakwah Nabi Muhammad untuk memeluk agama islam. Nabi takut, orang yang selama ini rela berkorban untuknya dalam berdakwah akan dimasukan ke dalam nerakanya Allah.
Nabi tidak rela paman yang sudah ia anggap sebagai ayahnya sendiri merasakan kesakitan, kepedihan yang kekal di kehidupan nanti. Nabi sedih jika paman yang selalu mendukung, menguatkan dan meyakinkan disaat Nabi dihina, dan dicaci maki oleh orang musyrik yang menolak mentah-mentah dakwahnya, tidak akan merasakan indah surgaNya Allah.
Hubungan antar keduanya bukanlah sekedar seorang keponakan dan pamannya. Melainkan seorang anak laki-laki kepada ayahnya. Kedekatan yang luar biasa dengan sang paman terjalin sedari kanak-kanak hingga masa kenabian. Abu Thalib merupakan orang yang bertanggung jawab atas Nabi Muhammad selama kurang lebih 40 tahun.
Sayangnya, 40 tahun hidup bersama. Cinta, kasih, sayang dan kedekatan yang sekian lama terbangun antara Abu Thalib dan Nabi Muhammad, tidak mampu meluluhkan dan menjangkau dalamnya lubuk hati Abu Thalib. Ia tetap ragu dan menolak untuk memeluk agama Islam. Abu Thalib, paman tercinta Rasulullah SAW telah wafat sebelum ia mengucapkan kalimat syahadat.
Ketika Rasulullah SAW mendengar berita bahwa pamannya sedang di ujung kematian, beliau bergegas mendatangi rumah Abu Thalib dengan perasaan yang sangat sedih. Ia bawa segala harapan, bahwa pamannya akan mengikuti dakwahnya untuk memeluk agama Islam di akhir hembusan nafasnya. Sehingga Nabi Muhammad mampu mewujudkan harapannya untuk menjauhkan pamannya dari siksa neraka dan memasukan paman tercintanya itu ke dalam Surga-Nya.
Rasulullah menyadari bahwa di detik-detik kematian Abu Thalib semakin dekat, di sisi kepala Abu Thalib terdapat musuh besar Rasulullah SAW, yaitu Abu Jahl. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab Tafsir al-Quran, Surat al-Qashash, dalam Fath al-Bari.
Dari Said bin al-Musayyib dari ayahnya, ia berkata, “Menjelang wafatnya Abu Thalib, Rasulullah SAW datang menemuinya. Saat itu beliau melihat telah hadir Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah. Beliau bersabda,
أَيْ عَمِّ، قُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللهِ
‘Wahai paman, ucapkanlah laa ilaaha illallaah. Dengan kalimat ini, akan aku bela engkau nanti di sisi Allah.’
Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah menanggapi,
أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ؟
‘Apakah engkau membenci agamanya Abdul Muthalib?’
Rasulullah SAW terus menawarkan kepada pamannya. Namun kedua orang itu juga terus menimpalinya. Akhirnya Abu Thalib mengatakan kepada mereka, ‘Di atas agamanya Abdul Muthalib’. Ia enggan mengucapkan laa ilaha illallaah.
Rasulullah SAW mengatakan,
وَاللَّهِ لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ
‘Demi Allah, akan kumohonkan ampun untukmu selama aku tidak dilarang.’
Kemudian Allah menurunkan firman-Nya,
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ
‘Tidak patut bagi seorang nabi dan orang-orang yang beriman untuk memohonkan ampunan kepada orang-orang musyrik.’ (QS. At-Taubah: 113).
Allah pun menurunkan sebuah ayat tentang Abu Thalib. Kepada Rasulullah SAW, Allah SWT berfirman,
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
‘Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak mampu menunjuki orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah-lah yang menunjuki siapa yang Dia kehendaki.’ (QS. Al-Qashash: 56).
Kesedihan atas kematian Abu Thalib ini terasa sangat berat bagi Nabi Muhammad SAW, Mengapa? Karena sang paman yang sangat beliau cintai wafat dalam kekufuran. Sehingga ia merasa bahwa perpisahan dengan Abu Thalib seperti perpisahan untuk selama-lamanya. (AN)
Wallahu A’lam bisshowaab.
Baca tulisan lain tentang Sirah Nabawiyah, sejarah hidup Nabi Muhammad SAW.