Di awal pandemi, sebagian di antara kita masih mempertentangkan antara kesehatan dan ekonomi. Meski data kematian akibat COVID-19 terus menanjak, dan belum ada data tentang orang yang wafat akibat PSBB, desakan mengakhiri PSBB demikian besar. Kita telah mengalami pandemi 16 bulan dan sekarang kita menghadapi gelombang kedua yang lebih dahsyat dari gelombang pertama, tetap saja orang masih mempertentangkan antara kesehatan dan ekonomi. Sebagian menganalogikannya sebagai rem dan gas.
Satu yang luput dari diskusi selama 16 bulan terakhir adalah aspek kemanusiaan. India dan Nepal telah mengalami tragegi kemanusiaan akibat penularan COVID-19 yang tidak terkontrol. Masih relevankah kita mempertentangkan ekonomi dan kesehatan jika nanti kita mengalami tragedi kemanusiaan? Masihkah kita berdebat tentang dampak sosial pandemi dan penanganannya ketika tragedi kemanusiaan melanda Indonesia? Masihkah kita membicarakan dampak politik penanggulangan pandemi ketika tragedi kemanusiaan menyerang Indonesia? Sekarang saatnya pemerintah menarik rem darurat untuk menghindarkan Indonesia dari tragedi kemanusiaan.
Media sosial, WAG kantor, WAG kampung, dan bahkan WAG keluarga besar kita akhir-akhir ini didominasi oleh berita duka yang menyesakkan dada. Satu per satu teman alumni kita, kolega kita, saudara jauh kita, saudara dekat kita, dan bahkan keluarga inti kita, meninggalkan kita. Di saat gelombang kedua ini, banyak rekan kita dan bahkan keluarga kita terpapar COVID-19. Enam belas bulan berlalu, para nakes berjibaku, sebagian di antara mereka gugur. Sudah terlalu banyak warga harapan bangsa menjadi korban. Kelelahan yang dialami rekan-rekan dokter, perawat, supir ambulan, penggali kubur tidak dapat diungkapkan dengan kata. Di lapangan, tidak hanya nakes yang berjuang, para camat, para lurah, para relawan pemulasaraan, para relawan petugas ambulan, hingga ibu-ibu PKK bersinergi membantu sesama melawan COVID-19.
Pernahkah terbersit di benak kita sekelompok relawan MCCC Sewon Utara, Bantul memulasarakan dan memakamkan dua jenazah COVID-19 berturut-turut sejak jam 01.00 malam? Mereka terpaksa melakukan itu karena rekan relawan lain terpapar COVID-19. Ayam berkokok, azan Subuh berkumandang, mereka baru menyelesaikan pemakaman jenazah kedua. Sebagian di antara mereka tertidur kelelahan masih dengan APD dan face shield. Di saat itu, di manakah kita? Mungkin kita masih terkantuk-kantuk mengambil air wudhu. Sebagian dari kita malah masih terlelap. Sementara para relawan yang tidak mendapat SK dan tidak menerima uang SPPD ini kelelahan dan bahkan beberapa di antaranya belum bertemu dengan keluarganya sejak pagi.
Melihat berbagai fakta di lapangan tersebut, masihkan kita mengkhawatirkan dampak lockdown/ PSBB yang membawa kematian? Enam belas bulan COVID-19 menyerang kita, belum ada data kematian warga terjadi akibat PSBB ataupun lockdown. Inilah data imaginer yang sejak Mei 2020 didengungkan dan ternyata memang tidak pernah ada. Namun anehnya data imaginer ini lebih menakutkan daripada angka kematian yang nyata akibat COVID-19. Bahkan data imaginer tersebut lebih ditakuti daripada dampak panjang COVID-19 maupun kondisi kesehatan banyak penyintas COVID-19 yang belum dapat pulih seperti sediakala. Mengapa kita tidak membicarakan dampak COVID-19 dari sisi QUALY (quality assurance life years) yang jelas-jelas dapat dihitung? Mengapa data meningkatnya kematian yang jelas tidak dapat dipungkiri dikalahkan oleh data imaginer kematian warga akibat lockdown yang belum pernah ada?
Mengapa di negeri ini, sejak Orde Baru hingga sekarang, kita seolah membobot ekonomi lebih tinggi daripada sektor lain? Bahkan di masa pandemi sekalipun, kita sangat kawatir terhadap penurunan arus modal asing. Di masa pandemi ini, kita sangat kawatir dengan pertumbuhan ekonomi, padahal jelas-jelas perekonomian dunia menjadi autarki akibat pandemi. Adakah faktor lain yang jauh lebih penting daripada faktor ekonomi, sosial dan politik di dunia ini yang perlu kita perhatikan? Jawabannya “Ada”, yaitu aspek kemanusiaan. Ekonom mungkin dipandang sebagai kaum yang materialitis. Benarkah ekonom lebih mengedepankan indikator-indikator kinerja ekonomi dibandingkan kemanusiaan? Apakah itu realitas ataukah jangan-jangan itu mitos?
Di masa darurat menghadapi gelombang kedua COVID-19, fokus penanganan bukan karena pertimbangan ekonomi, sosial, ataupun politik. Namun di atas itu semua, di masa krisis dan kritis ketika COVID-19 merajalela, aspek kemanusiaan adalah prioritas utama kita bersama. Di saat krisis seperti ini, di saat ujung kapan badai ini akan berakhir tidak kelihatan, tidaklah patut untuk kemudian mempermasalahkan siapa yang harus menangani pandemi ini. Kapal tidak bisa dibiarkan karam. COVID-19 akan terus digjaya jika kerumunan, ketidakpatuhan, pelumrahan, tetap berlanjut.
Pandemi adalah musuh bersama yang dapat menimpa siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Musuh bersama tidak dapat ditangani oleh pemerintah saja, ataukah kalangan bisnis saja, ataukah masyarakat saja. Pandemi sebagai musuh bersama, adalah beban dan tanggung jawab kita bersama. Pemerintah dengan APBN, terlalu kecil untuk mampu menanggulangi pandemi. Oleh karena itu, diperlukan sinergi semua elemen bangsa, yaitu pemerintah, dunia usaha, masyarakat, dan keluarga untuk bersinergi dan bekerja sama menanggulangi pandemi ini. Tidak ada lagi saya atau kamu, dalam kondisi genting seperti ini hanya ada satu kata: KITA.