Ada Pajak dalam Islam. Catatan untuk Ustadz Khalid Basalamah dan Erwandi Tarmidzi (Bag-1)

Ada Pajak dalam Islam. Catatan untuk Ustadz Khalid Basalamah dan Erwandi Tarmidzi (Bag-1)

Betulkah pajak tidak ada dalam islam? Tulisan ini mencoba mengulik hal itu lebih dalam.

Ada Pajak dalam Islam. Catatan untuk Ustadz Khalid Basalamah dan Erwandi Tarmidzi (Bag-1)

Seorang teman memberi saya tautan dari sebuah video di YouTube tentang haramnya bekerja sebagai pemungut pajak. Dalam video tersebut, seseorang hendak mengajukan pertanyaan kepada ustadz tetapi buru-buru dipotong bahkan sebelum pertanyaan sempat diajukan. Tepat ketika si penanya memperkenalkan diri dan menyebut profesinya sebagai pegawai Bea Cukai, Sang ustadz langsung menyuruh si penanya resign. Gelak tawa hadirin mengiringi kata-kata sang ustadz. Saat tawa berhenti, ustadz mengutip sebuah hadits,

La yadkhulul jannata shahibu maks. Tidak akan masuk surga orang yang menarik pajak dan bea cukai. Antum mau masuk surga atau tidak? Diriwayatkan oleh Abu Daud dan disahihkan oleh banyak para ulama. Kalau Anda ingin masuk surga, resign […]”

Video tersebut yang saya pakai untuk mengawali presentasi pada sebuah diskusi.[2] Anda bisa mencarinya di YouTube dengan judul Hukum Bekerja di Kantor Pajak dan Bea Cukai – Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, M.A.. Video tersebut diunggah oleh akun Abu Khaled (telah ditonton 802 kali) dan akun One Ummah United (telah ditonton 3.252 kali).[3] Ustadz Erwandi bukan satu-satunya pendakwah yang ‘menolak’ pajak dengan alasan agama. Pendakwah lain adalah ustadz Khalid Basalamah. Video ceramah ustadz ini lebih banyak lagi, salah satunya berjudul Bagaimana hukumnya orang yang bekerja di kantor pajak? Ustadz Dr. Khalid Basalamah, M.A., diupload oleh akun Lentera Islam (ditonton 31.502 kali).[4]

Jika ustadz Erwandi mendasarkan pendapatnya secara mentah-mentah pada terjemahan sebuah hadis, ustadz Khalid justru menggunakan alasan yang lebih ‘dialektis’: selain karena ia menganggap pajak tidak ada dalam Islam, pajak juga termasuk perbuatan dzalim karena mengambil hasil jerih payah orang. Adapun hadis yang sama seperti yang dikutip oleh ustadz Erwandi, cuma ia gunakan sebagai alasan sekunder—itu pun tetap menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan al-maks dalam hadis tersebut. Di samping itu, ia tetap memberi toleransi bahwa pajak bisa diperbolehkan dengan kerelaan para pembayarnya.

“Kalau kita bicara umum, global, dan pendapat jumhur ulama, sebenarnya pajak itu tidak ada dalam Islam. Tidak ada sama sekali. Dan tidak boleh negara hidup dari pajak, mustinya. Keringatnya orang kita ambil gimana tuh? Itu seperti negara sedang merampok hasil kerjanya masyarakat, ini bahasa langsungnya ya. […] Saya tidak pernah temukan ada pendapat ulama yang mengatakan boleh penetapan pajak secara mutlak di sebuah negara. Tidak pernah saya temukan. Malah pendapat ulama umumnya melarang itu. Dan ada hadis yang berbunyi pemilik (pemungut) maksmaks itu orang yang suka memungut bayaran-bayaran dari orang yang lewat. Seperti, maaf, teman-teman di Bea Cukai. Masuk barang lebih dari seribu dolar harus bayar. Kenapa harus bayar, Akhi? Orang kerja setengah mati banting tulang, dia beli barang untuk kebutuhan rumahnya, kita harus bayar ke negara. Kenapa harus bayar? Kan tidak nyambung itu ya? Harusnya biarin aja.

Di zaman Nabi SAW orang bolak-balik bawa barang di Madinah tidak ada masalah […] Ada sebagian ulama yang mengatakan, ada satu celah di mana pajak itu tidak apa-apa. Pada saat pajak itu bukan ditetapkan oleh pemerintah, bukan ditetapkan secara wajib. Dia (pajak) bukan diwajibkan. Dia ditetapkan sebagai sebuah peraturan pemerintah, terbuka bebas, masyarakat siapa yang mau membantu pemerintah dengan pajak. Tidak dipaksa. Sebab kalau maksa, ini tidak boleh. Memaksa orang, mengambil hasil keringatnya, tidak boleh dalam Islam. Tidak ada hak kita untuk itu. Tetapi kalau diberi kesempatan siapa yang mau menyumbang, silakan […] Celah di mana ia mungkin menjadi bisa kalau dia berbentuk shadaqah, kerelaan dari masyarakat. Itu boleh.”

Apa itu Pajak?

Secara etimologis, ada pendapat yang mengatakan kata pajak berasal dari bahasa Jawa, ajeg. Pada masa kolonial, pemerintah menarik pajak tanah setiap tahunnya dengan jumlah tetap (ajeg). Seiring berjalannya waktu, kata ajeg bergeser pengucapannya menjadi pajeg yang kemudian diserap oleh bahasa Indonesia menjadi pajak. Pendapat lain mengatakan, pajak berasal dari bahasa Belanda pacht, yang berarti sewa tanah yang harus dibayar penduduk.[5]

Kita bisa berdebat seharian mengenai asal-usul kata pajak. Yang jelas, tidak semua kata dalam suatu bahasa punya padanan yang 100 persen akurat dalam bahasa lain. Kata dan bahasa adalah produk budaya, hasil interaksi komunitas pengguna bahasa tersebut untuk menerjemahkan relitas yang mereka hadapi. Sebuah kata dalam satu budaya, tak selalu punya padanan dalam budaya lainnya. Terlebih jika konteks waktunya jauh berbeda. Kata pajak dalam bahasa Indonesia dalam konteks sekarang, tak akan punya padanan dalam bahasa Arab zaman Nabi—yang selain terbentang lima belas abad jaraknya, juga jauh berbeda kondisi politiknya.

Pajak adalah produk politik, salah satu bentuk interaksi antara negara dengan warganya. Sistem politik pada negara Islam awal yang dipraktikkan Nabi (dan para khalifah setelahnya), tak akan pernah ditemukan yang sama persis pada negara manapun zaman sekarang ini. Karena itu, jika pajak hanya diterjemahkan secara dzahiriyah, tentu tak akan pernah ditemukan pada masa Nabi. Tapi hanya karena bahasa Arab pada zaman Nabi tak punya kosakata yang akurat untuk menerjemahkan pajak, bukan berarti serta-merta bisa disimpulkan pajak tak ada dalam Islam. Cara berpikir semacam itu jelas tindakan gegabah (untuk tidak menyebut dangkal). Apalagi jika lantas dihadapkan dengan kenyataan bahwa di masa Islam awal juga ada pungutan seperti jizyah, kharaj, dan ‘ushr. Lalu apa bedanya pungutan-pungutan tersebut dengan pajak?

Pajak adalah Perampokan?

Ustadz Khalid tidak setuju jika negara hidup dari pajak. Ia mengibaratkan pajak sebagai perampokan yang dilakukan oleh negara terhadap hasil jerih payah masyarakat. Pendapat tersebut terdengar begitu familiar jika Anda pernah membaca pendapat ekonom-ekonom liberal seperti Robert Nozick. Nozick menyamakan pajak dengan perampokan jam kerja warga negara. Dalam uang yang dimiliki oleh warga negara, terkandung curahan tenaga yang dikeluarkan dalam proses kerja. Dan negara yang mengambil uang dari warga negara yang berpunya dalam bentuk pajak, sama halnya sedang memaksa warga negara tersebut bekerja demi tujuan selain yang dikehendakinya: melayani kalangan berkekurangan.[6]

Sekalipun ustadz Khalid menambahkan “celah” di mana pajak bisa diperbolehkan, yaitu jika warga negara membayarkannya dengan sukarela sebagai sedekah, hal tersebut hanya sedikit mengurangi ‘keliberalan’ pendapatnya. Pendapat ustadz Khalid ini begitu mirip dengan pendapat John Locke, ekonom liberal yang juga mempengaruhi pemikiran Nozick mengenai justifikasi apa yang boleh dan tak boleh dilakukan oleh negara terhadap warga negara. Menurut Locke, dana yang dikeluarkan pemerintah harus ditetapkan menurut persetujuan mayoritas rakyat. Kesepakatan setiap orang menjadi legitimasi bagi pemerintah dalam mengambil sebagian (harta) dari apa yang dimiliki warga negara.[7]

Apakah itu artinya ekonomi Islam hanyalah versi religius dari liberalisme a la Barat? Apakah ekonomi Islam adalah liberalisme plus doa-doa?

Para pendukung ekonomi Islam sekaligus anti-liberalisme yang tak pernah serius mempelajari substansi ekonomi Islam, bisa dipastikan akan kebingungan dengan pendapat ustadz Khalid. Dalam ekonomi Islam, dikenal sebuah doktrin untuk menyelaraskan antara praktik, teori, dan wahyu. Doktrin tersebut dikenal dengan maqasid at-tasyri’ atau maqasid al-syariah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, dan al-syar’iyah berarti jalan menuju sumber air. Fazlurrahman mengartikan al-syari’ah sebagai jalan menuju sumber pokok kehidupan.[8] Inti dari doktrin ini adalah mengupayakan yang lebih besar manfaat ketimbang mudarat. Istilah populernya adalah maslahat (sering dilafalkan maslahah, dengan ta marbuthah), yang berarti baik menurut agama. Al-Gazali membagi maslahat menjadi lima, secara berurutan sesuai skala prioritas adalah: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.[9]

Sementara Naqvi, menyatakan maslahat punya empat prinsip: kesatuan (unity) dalam tauhid, keseimbangan (al-’adl wal ihsan), kehendak bebas (free will atau ikhtiyar), dan tanggungjawab (fardh).[10] Perbedaan antara ekonomi Islam dan laissez-faire a la liberal adalah: Islam menekankan distribusi kesejahteraan di atas kebebasan. Artinya, prinsip kebebasan dibatasi secara etis oleh prinsip keadilan sosial.[11] Dalam konteks peribadatan formal, keadilan sosial itu mewujud dalam bentuk zakat, infak, dan sedekah. Ada semacam tanggungjawab moral yang dibebankan kepada orang-orang kaya untuk memperhatikan mereka yang miskin.

Namun hanya amalan-amalan filantropis semacam tentu tak cukup mampu mendistribusikan kesejahteraan. Yang paling revolusioner dari ekonomi Islam justru larangan penimbunan harta dan larangan riba. Spirit kedua hal ini sama, yaitu membatasi kepemilikan pribadi agar kesejahteraan tak menjadi komoditas yang hanya terakumulasi di golongan tertentu saja sebagaimana disebut dalam Attaubah ayat 34.[12]

Dalam ayat tersebut, komoditas yang secara eksplisit tak boleh ditimbun memang hanya emas dan perak. Tetapi para ahli fiqih menjadikannya qiyas untuk semua jenis penimbunan yang menyebabkan kesusahan orang lain. Tiga prinsip yang menjadikan penimbunan haram: barang ditimbun melebihi kebutuhan, penimbunan disengaja agar terjadi kenaikan harga, dan penimbunan dilakukan saat masyarakat membutuhkan. [Bersambung]

[1] Selain (masih) tercatat sebagai pegawai di Direktorat Jenderal Pajak, penulis juga kontributor aktif untuk Birokreasi.com ; alumni Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (sekarang PKN STAN); boleh disapa di Twitter via akun @trendingtopiq.

[2] Diskusi tersebut bertajuk Tax Café, sebuah forum untuk umum yang berfokus pada isu-isu perpajakan yang didiskusikan dari berbagai macam perspektif, diadakan rutin setiap bulan. Tax Café ketiga dilaksanakan 23 Februari 2017 di Tjikini Lima Restaurant & Café, dengan mengambil tema “Keadilan Pajak dari Tinjauan Agama dan Filsafat”. Saya dan Gita Wiryawan yang dipercaya menjadi pemantik diskusinya. Gita membahas dari sisi filsafat, saya kebagian sisi agama.

[3] Tautan untuk video unggahan akun Abu Khaled di https://youtu.be/NfOsTpB4kIY, dan unggahan One Ummah United di https://youtu.be/WdU6S3X9RUU. Keduanya diakses terakhir kali 12 Maret 2017.

[4] https://youtu.be/rpsE3BJtBUo, diakses terakhir kali 12 Maret 2017.

[5] Marihot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Elementer, Graha Ilmu 2010, hal. 31.

[6] Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia.

[7] Russell, Bertrand. 2007. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 826 – 828.

[8] Fazlurrahman 1984, Islam, Penerbit Pustaka, Bandung, hal. 140.

[9] Ibid.

[10] Syed Nawab Haider Naqvi 2003, Menggagas ilmu Ekonomi Islam (terj. M. saiful Anam dan M. Ufuqul Mubin), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 37-46.

[11] Yusuf Qardhawi 2001, Norma dan Etika Ekonomi Islam (terj. Zainal Arifin dan Dahlia Husin), Gema Insani Press, Jakarta.

[12] Attaubah (34), “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan (mereka) menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih.”