Ada sebuah hadits yang menjadi favorit para khatib shalat Idul Fitri. Hadits itu diriwayatkan Jarir bin Abdillah, atau versi yang lain, diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut: “Sesungguhnya puasa Ramadhan tergantung atau melayang-layang antara langit dan bumi, tidak akan sampai ke hadirat Allah kecuali dengan mengeluarkan zakat fitrah”.
Para ulama berselisih tentang hadits ini, baik dengan alasan kandungan isinya maupun kekuatan periwayatanya. Berdasarkan isinya, hadits ini ditolak karena zakat bukan syarat sahnya puasa seperti hubungan wudhu terhadap shalat. Tanpa wudhu, shalat seseorang tidak sah. Tapi tanpa zakat, puasa seseorang tetap sah karena zakat tidak menjadi syarat sahnya puasa.
Bagi kalangan yang lebih menekankan pada aspek periwayatan, hadits ini dianggap lemah (dha’if) karena dalam rangkaian sanad-nya terdapat nama Muhammad bin Ubaid al-Bashri yang tidak diketahui identitasnya (majhul).
Terlepas dari penilaian di atas, hadits tersebut mengandung makna yang sangat dalam tentang faedah puasa. Beberapa ulama semisal Abu Bakar Syatha, Sulaiman al-Jamal, dan al-Syarwani menyatakan bahwa makna hadits tersebut bersifat alegoris/kinayah (kiasan). Memang, zakat sama sekali bukan syarat sahnya puasa, sehingga sekalipun orang tidak mengeluarkan zakat adalah dosa, puasanya tetap sah. Sekalipun demikian, orang yang tidak mengeluarkan zakat berarti tidak mampu menangkap pesan moral dari disyariatkannya kewajiban berpuasa. Dalam bahasa para ulama tersebut, tidak sempurna “pahala puasa” seseorang jika ia tidak mengeluarkan zakat.
Membaca sekilas saja hadits tersebut kita akan segera menangkap makna alegorisnya. “Pahala puasa melayang-layang di antara langit dan bumi” jelas adalah sebuah kiasan karena jagad raya ini adalah ruang kosong yang dihuni oleh bintang, planet, satelit dan benda-benda angkasa lain. Apa yang tampak seperti kanopi warna biru di atas adalah pembiasan cahaya matahari oleh debu angkasa yang ditangkap oleh keterbatasan penglihatan kita. Akan semakin terasa makna alegorisnya jika kita mempertimbangkan bahwa Allah tidak mengambil tempat manapun di alam semesta karena Allah tidak mungkin membutuhkan makhluk-Nya.
Hadits tersebut mengingatkan kita bahwa muara dari puasa adalah kepekaan sosial. Setelah latihan sebulan penuh untuk secara langsung merasakan kesengsaraan orang-orang tak beruntung, mestinya kita terlahir menjadi pribadi baru yang memiliki kepekaan sosial tinggi.
Makna hadits di atas sejalan dengan hadits lain yang di dalamnya diriwayatkan, “Rasul Muhammad mewajibkan umat Islam berzakat karena zakat bisa menyucikan orang yang berpuasa dari senda gurau dan kata-kata keji, [dan zakat juga] bisa memberi makan kepada orang-orang miskin.”
Puasa bisa hanya senda gurau belaka dan tetap tidak mampu menjaga pelakunya dari menyakiti dan merendahkan orang lain, jika ia tak menunaikan zakat. Zakat adalah wujud empati kepada orang-orang yang tertimpa kemalangan. Apa makna puasa jika pada akhirnya kita tetap tidak sanggup melahirkan pribadi baru yang dipenuhi cinta kepada sesama?[]