Bagaimana pabrik semen yang menafikan peran warga itu mengingkari prinsip-prinsip dalam Islam
Tujuh tahun lalu, saya terlibat diskusi kecil dengan guru geografi saya selepas kelas selesai. Kami bicara soal pabrik semen yang mengeruk habis gunung-gunung di Indonesia. Saat itu media belum terlalu riuh seperti sekarang, apalagi sampai ada cyber war antara dua kubu yang memperebutkan suara massa mengambang (floating mass). Hasilnya, kami sama-sama khawatir dengan paradoks pembangunan ini. Diskusi kecil itu menyisakan pertanyaan yang mengendap di pikiran saya: “Mau berapa gunung lagi dihabiskan untuk menuruti pertumbuhan dan pembangunan yang tak pernah selesai?”
Baru tahun-tahun ini saya kembali memunculkan pertanyaan lama yang mengendap itu. Suara ramai di segala lini media telah mengangkat kembali rasa simpati (sekaligus empati) saya. Saya pun baru sadar, bahwa konflik agraria antara pabrik semen dan warga-petani setempat sudah lama berlangsung. Bahkan ketika saya hanya duduk di kelas memikirkan hal itu, para petani di Pati sudah berjuang keras menolak PT Semen Gresik yang mencoba melakukan “invasi” keduanya di Jawa Tengah.
Saat ini, pabrik yang sama, dan hanya mengubah namanya menjadi PT Semen Indonesia (barangkali supaya lebih nasionalis dan terkesan legal), telah bergeser ke Rembang untuk tujuan serupa. Pabrik semen telah membidik kawasan karst yang strategis di Pegunungan Kendeng Utara, Rembang. Para petani Kendeng melawan mati-matian untuk harga yang tak serupa itu. Sekitar dua tahun lalu saja, ketika pabrik mulai dibangun dan belum beroperasi, dampaknya sudah mulai terasa di sana, seperti banjir, debu, dsb. Lebih jauh, para petani itu enggan menukar sumber mata air mereka dengan kesejahteraan semu yang ditawarkan sang pabrik. Masa depan anak-cucu mereka sedang dipertaruhkan dalam medan ini.
Para petani Kendeng telah melakukan perjalanan panjang dan melelahkan untuk menyuarakan aspirasinya. Mulai dari mendirikan tenda perjuangan dan mengadakan istighosah (doa bersama) di sana, melakukan aksi long march dari Rembang ke Semarang, hingga aksi mengecor kaki dengan semen di depan Istana Merdeka sampai detik ini. Perlawanan ini tidaklah mudah, sebab selalu ada serangan balik dari pihak pabrik semen di segala aspek, termasuk “bermesraan” dengan penguasa.
Kasus pabrik semen di Rembang saat ini sedang memasuki fase kritis. Pemerintah pusat, sebagai kunci, dengan terus terang mengabaikan tuntutan para petani Kendeng. Presiden Jokowi secara tegas mengatakan tidak tahu-menahu soal kasus ini, dan melemparkannya pada urusan daerah. Hal ini sangat kontradiktif dengan pernyataannya jauh sebelumnya, bahwa dia akan mengawal kasus ini sampai tuntas. Inkonsistensi ini tentu sangat disayangkan dan harus kita kecam bersama supaya pemerintah tidak selamanya diam di zona nyamannya.
Apa yang terjadi hari ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam. Setidaknya ada tiga pengingkaran terhadap nilai-nilai keislaman yang terjadi selama ini:
Pertama, pemimpin yang tidak adil. Baik pemerintah pusat atau daerah, keduanya telah melakukan tindakan inkonstitusional alias melanggar hukum, karena tidak mematuhi putusan Mahkamah Agung yang telah ditetapkan untuk mencabut surat izin pendirian pabrik semen. Presiden Jokowi mangkir dengan inkonsistensinya dan mengumpan “bola panas” ini ke pemerintah daerah. Di level pemerintah daerah, Gubernur Ganjar telah siap menerima umpan tersebut dan memainkannya dengan teknik “politik mbulet”: menerbitkan izin baru pembangunan pabrik semen.
Kedua, penindasan terhadap kaum lemah (mustadh’afin). Bukan hitungan sedikit lagi jika pihak pabrik semen mengutus bantuan aparat keamanan: TNI, polisi, satpam pabrik, dan preman sipil untuk melakukan “pengamanan” proses pendirian pabrik. Tahun 2014 silam, kasus intimidasi dan represi oleh aparat adalah puncaknya. Kita ingat kasus-kasus kekerasan yang telah menimpa para petani (yang mayoritas) perempuan itu saat melakukan aksi protes di depan jalan masuk pabrik semen. Di antaranya adalah Ibu Paedah yang dipukul salah satu preman sipil hingga pingsan, Ibu Murtini yang dipukul dan diinjak oleh salah seorang anggota Brimob, hingga perusakan dan pembakaran tenda dan musala warga oleh sejumlah orang (yang pura-pura saja) tak dikenal.
Ketiga, perusakan lingkungan dan alam. Satu-satunya hal yang paling ditakuti oleh para petani Kendeng atas berdirinya pabrik semen adalah: hilangnya sumber mata air di pegunungan tempat mereka tinggal. Jika sumber mata air hilang, irigasi ke puluhan hektar sawah di Kabupaten Rembang dan sekitarnya akan berhenti. Sektor pertanian akan kacau. Tidak dimungkiri hal ini akan berdampak pada merosotnya produktivitas beras dalam negeri. Padahal bertani adalah satu-satunya sumber mata pencaharian warga Kendeng secara turun-temurun. Lagi pula, sudah jelas dalam hasil KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) pertama menunjukkan, bahwa kawasan CAT (Cekungan Air Tanah) yang ada di kawasan Pegunungan Kendeng tidak boleh ditambang. Hal ini sangat berkaitan erat dengan faktor lingkungan.
Sebuah ironi memang, jika pengingkaran atas nilai-nilai keislaman ini terjadi di negara yang mayoritasnya muslim. Padahal telah jelas perintah Allah untuk kita, umat manusia, “Dan apabila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi.” (QS. al-Baqarah: 11). Kita tentu tak menginginkan hal-hal buruk terjadi, ketika alam mulai dieksploitasi di luar kebutuhan manusia, ketika keserakahan dan nafsu telah mendominasi.
Para petani Kendeng berulang kali melantunkan doa bernada karma: “Ibu bumi wis maringi, Ibu bumi dilarani, Ibu bumi kang ngadili, La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah.” Siapa yang akan menampik jika alam bisa melawan, saat ia mulai disakiti, setelah selama ini hanya terus memberi. Siapa yang merusak alam, dialah yang bertanggung jawab atasnya. Siapa yang melawan tanda kekuasaan Tuhan, dialah yang akan menanggung batunya. Jika hukum alam ini berlaku, itu berarti pabrik semen sedang membangun pusaranya (tanah kubur) sendiri di Pegunungan Kendeng.
Baiklah, itu semua adalah urusan Tuhan dan berada dalam ranahnya. Biarkan saja sang parbik terus mencoba “melawan” Tuhan dengan keberaniannya mengeksploitasi alam dan rakyat kecil. Kita tak perlu membela-Nya, Dia sudah maha dari segala maha. Satu hal yang tak boleh luput dari kita adalah, jangan sampai kita berhenti membela mereka yang diperlakukan tidak adil; membela para petani Kendeng yang saat ini terus memperjuangkan nasib lingkungan dan anak-cucunya. Ya, sebagaimana almarhum Gus Dur telah mengajarkan pada kita.
Mohammad Pandu. Esais; Menyukai buku dan pohon. Aktif di Gusdurian Jogja.