Setelah debat antara Abu Janda dengan Felix Siaw tentang bendera khilafah dalam sebuah acara televisi swasta beberapa hari yang lalu. Kemudian berlanjut viralnya video mereka menjadi perbincangan warga Youtube. Lalu disusul ramainya isu klaim sepihak Donald Trump atas Jerusalem sebagai ibukota Israel. Jagat maya kita masih riuh tak habis-habis membahas masalah “Bendera Islam”, “Khilafah”, “Bela Ulama” dan “Reuni 212”.
Rasa-rasanya, yang terus dan tak habis-habisnya diperbincangkan warganet cyber moslem army adalah seputar “menista Islam”, “mesnista Ulama”, dan mari kita “Bela Ulama”. Padahal, jauh dari hiruk pikuk ibu kota, yaitu di daerah Temon, Kulon Progo, Yogyakarta, banyak umat manusia, yang beragama islam, yang sedang mengalami kesedihan mendalam dan penuh ketertindasan. Tanah, ladang dan rumah yang selama ini mereka tinggali dan mereka gunakan untuk mengais rezeki untuk hidup, dirampas paksa untuk pembangunan bandara.
Tanah mereka, rumah dan peladangan mereka yang selama ini suburnya luar biasa, dipaksakan untuk hengkang dari tempat tinggal yang secara hukum sah menjadi hak miliknya. Tanpa adanya kesepakatan akad yang sah secara hukum, negara main ghosob begitu saja.
Kenapa “umat Islam” tidak bergerak membelanya? Terutama alumni yang berjilid-jilid itu. Padahal, mereka (warga Temon) adalah orang-orang yang nyata-nyata terenggut hak-haknya, yang dalam istilah maqasid syari’ah, terenggut jaminan hifz al-mal (memelihara/hak harta bendanya), kenapa tidak dibela, atau setidaknya disuarakan atau diperbincangkan di ranah publik?
Dalam setiap doktrin agama atau entitas kolektif lainnya, memang seringkali terjebak terhadap hal-hal yang simbolik. Umat akan lebih tersinggung jika simbol agama mereka sedikit ternodai oleh orang dari luar agama mereka. Seperti dalam sebuah tulisan dari peneliti Australia Ian Douglas Wilson yang dilakukan di Jakarta, yang mempunyai judul yang menarik dan cukup menggambarkan suasana ini.
Judul tulisan tersebut adalah “Selama Caranya Halal: Preman Islam di Jakarta”. Dalam tulisan hasil penelitian tersebut Ian menyinggung soal fenomena premanisme berjubah Islam oleh ormas vigilante di Jakarta yang selama ini sering bertindak intoleran. Artinya, relevansi dengan pembahasan tentang keterjebakan terhadap “Simbol Islam” adalah sesuatu yang tidak “Islami” secara “substansial” pun bisa dianggap “Islam”. Ada kecenderungan dalam cara ekspresi berislam umat Islam yang berorientasi dalam ranah kulit/tampilan/simbol saja, tetapi kurang memperhatikan kualitas dalam keberislamannya, seperti preman yang Islami dalam penelitian Ian tersebut.
Malah sebaliknya, persoalan yang sebenarnya merupakan masalah yang harusnya diperjuangkan dalam Islam, seperti pembebasan kaum tertindas, malah dilupakan. Seperti halnya masyarakat korban gusuran di Kulon Progo, sebenarnya merupakan bentuk paling aktual seperti perbudakan pada zaman Nabi. Yang mana pada saat itu, nabi bertindak bersama sahabat-sahabatnya membebaskan Bilal dari belenggu ketidakadilan ini.
Membela Kaum Tertindas
Terkait dengan persoalan kenapa umat yang berjumlah berjuta-juta melakukan Reuni 212 itu tidak melakukan pembelaan pula terhadap masyarakat yang tertindas, persoalannya adalah terletak pada pemahaman dan doktrin keislamannya. Yang selama ini mereka yakini sebagai Islam, adalah simbol-simbol Islam itu; berjubah, berjenggot, dan perkataan yang senantiasa menampakkan keshalihan dan hal-hal simbolik, kulit, cover Islam lainnya.
Mereka tak pernah mau tau, bagaimana nasib tetangga, saudara sekitar mereka yang selama ini setiap hari menahan kelaparan yang disebabkan oleh kemiskinan struktural. Padahal, dahulu ketika zaman Rasulullah, datangnya Islam adalah membawa kebahagiaan bagi umat dan masyarakat zaman itu. Islam mempunyai visi untuk melawan ketidakadilan.
Dengan datangnya Islam, kaum perempuan yang pada zaman jahiliyah hanya dipandang sebelah mata, diangkat harkat dan martabatnya. Sahabat Bilal bin Rabah yang tertindas dalam sistem perbudakan masyarakat feodal zaman jahiliyah dibebaskan dan dibela oleh Islam. Pada zaman penjajahan, KH Hasyim Asy’ari juga menyerukan kepada umat untuk melawan penjajah yang selama ini melakukan penindasan terhadap harkat kemanusiaan.
Seharusnya, contoh pembebasan yang dilakukan oleh para nabi dan ulama’ di atas yang membela kaum tertindas menjadi role model keberpihakan umat Islam. Seharusnya kita lebih marah, ketika harkat kemanusiaan kita dinodai, tetangga dan saudara kita tidak bisa makan, bukan? Wallahhu a’lam.
Fakhru Riza –pegiat di Islami Institute Jogja.