Di antara pahatan terpenting dalam bangunan ajaran Tasawuf Syekh Yusri—sebagaimana ajaran para sufi pada umumnya—ialah pesan agar senantiasa menanamkan spirit cinta dalam beragama. Tanpa adanya spirit cinta, agama akan sulit menemukan relevansinya dalam kehidupan nyata.
Rasa cinta itu, kata Syekh Yusri, pertama-tama harus kita tujukan kepada Allah SWT. Bukan saja karena Dia yang memilikinya segalanya, tetapi juga karena rasa cinta yang kita miliki itu tak akan pernah terpatri dan tertanam kecuali atas izin dan kehendak-Nya.
Tapi, kita tidak mungkin bisa mencintai Allah SWT kecuali setelah kita mampu mengenal dan juga mencintai kekasih-Nya, yakni Rasulullah SAW, karena beliau, dalam istilah Syekh Yusri, adalah “manifestasi kesempurnaan Tuhan” (majla al-kamalat al-Ilahiyyah) yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam. Rasulullah Saw adalah jalan. Karena itu, hanya melalui beliaulah kita bisa mengenal Tuhan.
Dalam setiap majlisnya, Syekh Yusri selalu menekankan pentingnya aspek ini dalam kehidupan beragama. Menurut beliau, cinta terhadap Rasulullah Saw itu merupakan keniscayaan mutlak bagi siapa saja yang ingin mendekatkan diri kepada Allah Swt.
“Semakin dekat kita dengan nabi kita, semakin dekat pula kita dengan Allah Swt. Orang yang tidak menjadikan Rasulullah Saw sebagai jalan, tidak akan pernah sampai kepada Tuhan walau beribadah siang dan malam.” Tuturnya dalam suatu majlis.
Di lain kesempatan, beliau juga pernah berpesan—dan pesan ini selalu saya ingat: “Harus kalian ingat, bahwa yang akan menjaga kalian dari kekufuran, kesesatan dan penyimpangan-penyimpangan itu bukan hafalan al-Quran, bukan pula amalan, melainkan ketergantungan dan rasa cinta yang mendalam kepada Rasulullah Saw. Orang yang memiliki kedalaman cinta kepada Rasulullah Saw akan selamat dari fitnah, walau sebesar ombak di lautan.”
Ajaran tasawuf Syekh Yusri senantiasa menekankan pentingnya memperteguh ikatan emosional dan spiritual kita dengan Rasulullah Saw. Karena hanya dengan memperteguh ikatan itulah kita bisa beragama dengan benar.
Ya, jasad beliau memang sudah berpindah ke alam baka. Namun, ruh dan spiritnya senantiasa menyertai kita. Keberadaan kita sendiri—kata Syekh Yusri—tak lepas dari adanya ruh Nabi Muhammad Saw. Tanpa kemuliaan ruh tersebut, niscaya kita semua tak akan tercipta.
Rasa cinta kepada nabi ini, tegasnya lebih jauh, pada akhirnya akan mampu memperbaiki akhlak dan budi pekerti kita dengan sesama hamba Tuhan. Semakin sering kita bersalawat, semakin sering kita membaca perjalanan hidupnya, akhlak kenabiaan pun secara perlahan lahan akan menyinari jiwa kita.
Orang yang mencintai nabi, misalnya, tidak mungkin menyakiti orang-orang non-muslim, karena dia pasti sadar bahwa nabi adalah rahmat. Bukan hanya untuk orang-orang Islam, tapi juga untuk orang-orang di luar Islam, bahkan seluruh alam. Selama mereka manusia, maka mereka adalah makhluk terhormat dan mulia. Karena mereka semua adalah manifestasi dari kebesaran Tuhan yang mahakuasa.
Besar kemungkinan, orang-orang yang sering terlibat dalam aksi-aksi terorisme, kekerasan dan pembunuhan atas nama agama itu adalah orang-orang kurang mampu dalam memupuk spirit cinta dalam beragama. Kecintaan kita pada Rasulullah Saw mestinya mampu menjadikan kita sebagai umat yang damai, tenang dan tak suka dengan kerusuhan.
Jika kita renungkan secara mendalam, semua problem kemanusiaan yang menghimpit dunia kita ini sejujurnya hanya berpulang pada satu sebab, yaitu cinta dunia. Persis seperti bunyi salah satu hadits yang menyebutkan, bahwa “cinta dunia itu merupakan pangkal dari seluruh kesalahan.” (hubb al-Dunya ra’s kulli khathiah)”
Dan rasa cinta kepada nabi itu, kata Syekh Yusri, dapat mengikis rasa cinta kepada dunia. Artinya, semakin dalam rasa cinta kepada beliau, dunia ini akan semakin terlihat kecil. Semakin kecil dunia di mata kita, semakin jauhlah kita dari fitnah dan hasutan setan yang senantiasa berusaha untuk menjerumuskan kita.
Dalam pandangan Syekh Yusri, inti dari bertasawuf itu adalah akhlak. Bertasawuf itu adalah upaya untuk memperbaiki akhlak. Baik akhlak terhadap sesama, maupun akhlak terhadap yang mahakuasa. Dan akhlak yang sempurna itu hanya bisa kita contoh dari Nabi Muhammad Saw.
Dengan memupuk rasa cinta kepada beliau, niscaya keindahan akhlak itu akan terpatri secara perlahan-perlahan. Jika akhlak kenabian itu sudah tertanam, niscaya hati kita akan dipenuhi oleh rahmat, seperti halnya nabi yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Wa ma arsalnaka illa rahmatan lil alamin.
Wallahu ‘alam bis Shawab.