Orang Tuaku Keras dalam Pendidikan Agama, Tapi Tidak Pernah Mengajariku Membenci Non-Muslim

Orang Tuaku Keras dalam Pendidikan Agama, Tapi Tidak Pernah Mengajariku Membenci Non-Muslim

Aku dibesarkan dalam pendidikan agama yang keras. Tapi tidak pernah sekalipun orang tuaku mengajarkan untuk membenci umat dan agama lain.

Orang Tuaku Keras dalam Pendidikan Agama, Tapi Tidak Pernah Mengajariku Membenci Non-Muslim

Melihat kerukunan antar umat beragama yang masih saja terusik di negeri kita beberapa tahun belakangan, dalam hati aku bertanya-tanya mengapa fenomena itu ada? Kenapa perbedaan itu mudah menyulut permusuhan?

Beda agama, beda mazhab, beda partai, beda sikap politik, dan sebagainya, acapkali berujung pada permusuhan antar-individu dan antar-kelompok. Celakanya, permusuhan itu seringkali dibenarkan dengan dalil-dalil agama yang kaku dan sempit.

Fakta sebaliknya terjadi pada diriku. Aku yang lahir dan besar di lingkungan Islam yang kolot, rigid, dan eksklusif. Tetapi ternyata aku bisa berkawan akrab dengan seorang Kristen taat dari keluarga Kristen tulen. Bahkan akhirnya pertemanan kami menjadi layaknya saudara.

Sampai usia remaja, aku hidup di lingkungan yang homogen: suku Jawa, agama Islam. Dari TK hingga SMP, aku bersekolah di sekolah Islam yang mengajarkan pendidikan agama setara dengan pesantren. Waktu itu aku hanya mengenal budaya Jawa dan agama Islam, berteman hanya dengan sesama suku dan sesama agama.

Aku baru mulai masuk ke lingkungan yang heterogen ketika sekolah di SMA Negeri – karena di lingkunganku tidak ada SMA Islam. Meski di SMA Negeri mayoritas siswanya beragama Islam, tapi  keislaman mereka rata-rata di bawah standar kecukupan. Di kelasku, di antara 52 siswa, yang bisa baca Al-Quran tak lebih dari lima orang.

Hari pertama di SMA, kejutan besar sudah kurasakan. Hasil undian membuat aku mau tidak mau harus sebangku dengan teman Kristen. Walaupun awalnya ada rasa ganjil, tetapi lama-lama aku mulai terbiasa. Bahkan dari hari ke hari kami berdua semakin akrab dan saling berbagi cerita, termasuk tentang keyakinan. Meski demikian, dalam masalah agama kami berdua saling menghormati.

Keakraban kami terjalin terus. Selama tiga tahun, mulai kelas 1 hingga kelas 3, kami tetap sebangku. Bahkan selepas SMA, walaupun terpisah kota, kami tetap menjalin komunikasi: surat, telepon, SMS, hingga kini via Facebook dan WhatsApp.

Kuingat kembali semasa SD dan SMP, pendidikan agama yang kuperoleh membatasi pergaulanku  hanya dengan sesama Muslim, namun tidak pernah kudengar ajaran dan ajakan untuk membenci dan memusuhi orang-orang non-Muslim.

Sejak kecil ditanamkan kepadaku bahwa Islam itu satu-satunya agama yang benar, tapi tidak pernah kudengar orangtuaku atau guruku mengkritik, apalagi mencerca, agama-agama selain Islam.

Semasa anak-anak dan remaja aku dilarang baca buku dan nonton siaran TV yang bernafaskan non-Muslim, bahkan sampai kini aku tak tahu alasannya. Akan tetapi yang kuingat, mereka tak pernah bilang tontonan itu berbahaya, buruk, apalagi haram.

Pendek kata, meskipun orangtuaku dan guruku dulu amat keras dalam pendidikan agama, namun  mereka tak pernah mengajari atau mencontohkan sikap kebencian terhadap siapapun. Aku dididik agama secara intens dengan sistem yang ketat, tapi tak pernah sekalipun aku diajari benci kepada orang lain, suku lain, atau agama lain.

Ternyata, seseorang yang tak pernah diajari kebencian tak akan suka dan tak mudah membenci. Naluri kebencian itu sebenarnya tidak mewujud dalam hati manusia. Kebencian itu sekadar potensi atau bibit yang hanya akan tumbuh jika di-“pupuk” dan di-“sirami”. Tanpa perawatan dan pemeliharaan, kebencian tak akan hidup, apalagi berkembang.

Orang yang tidak pernah diajari benci akan merasakan kebencian itu “sesuatu” yang asing, pahit, menyakitkan, dan menyesakkan dada. Sedangkan rasa cinta itu selalu melegakan, menyehatkan, menenangkan, dan membuat bahagia.

Agama atau keyakinan itu harus menancap kuat di hati dan tak boleh ada keraguan lagi. Karena dengan agama atau keyakinan yang kuat dan mantap itulah ketenangan hidup akan kita peroleh. Orang yang sudah mantap dengan agamanya dan keyakinannya tak akan gelisah dengan keberadaan agama lain. Alih-alih menjadi musuh, orang-orang yang berlainan agama itu justru menjadi mitra-latih guna memperkokoh imannya.

Hal yang mengejutkan juga kulihat, bahwa hampir semua kawan sepermainanku di masa kanak-kanak dan remaja dahulu memiliki sikap dan pemikiran yang sama denganku. Dalam perjalanan hidup setelah berpuluh tahun, mereka rata-rata menjadi orang-orang yang toleran, menerima adanya perbedaan, fleksibel, inklusif, dan realistik.  Fakta di sekitar semakin memperkuat keyakinanku, bahwa penyebab utama timbulnya permusuhan adalah kebencian, dan kebencian itu diajarkan.

Pertanyaannya, apakah sudah benar cara kita mengajarkan Islam hari ini?