Katanya orang yang mencegah atau membuat aturan supaya masjid dikosongin, sekalipun ada pandemi Covid-19 itu termasuk orang yang paling zalim seperti dalam surat al-Baqarah ayat 114? Apa benar seperti itu? Mari, kita coba bahas pelan-pelan ya dari keterangan ulama tafsir.
Saya baca keterangan dari Syekh Thahir ibn ‘Asyur, ulama Tunisia pakar tafsir juga Maqashid Syariah, ayat itu berkenaan dengan orang-orang musyrik Mekah yang melarang umat Muslim untuk beribadah di Masjidil Haram. Kenapa? Umat Islam gak boleh menjalankan keyakinannya.
Tapi kalau yang dimaksud hanya Masjidil Haram saja, kan satu tuh, dalam bahasa Arab disebut mufrad, kenapa lafal Al-Qur’an menggunakan jamak ‘masajidullah atau masjid-masjid Allah’? Menurut Syekh Ibnu ‘Asyur, ada tiga kemungkinan. Pertama, redaksi jamak dalam bahasa Arab, secara ilmu Pragmatik atau Balagah, kadang kata jamak itu bertujuan untuk mengagungkan.
Kedua, ‘masjid-masjid Allah’ yang dimaksud dalam ayat itu tempat-tempat ibadah yang ada di Tanah Suci Mekah, yaitu Ka’bah, Masjidil Haram, Maqam Ibrahim, Hajar Ismail atau al-Hathim, Mina, dan Masy’aril Haram. Tapi menurut Syekh Ibnu ‘Asyur, memang ada ulama yang memahami ‘masjid-masjid Allah’ dalam ayat ini adalah semua masjid yang ada di seluruh dunia, bukan hanya Masjidil Haram saja. Dalam ilmu tafsir, ini disebut ayat yang turun atas sebab khusus, tapi berlaku umum.
Pendapat yang ketiga ini yang mungkin dijadikan teman-teman Muslim yang menolak penutupan rumah ibadah saat pandemi. Padahal, menurut saya, pelarangan ibadah di Masjidil Haram di zaman Nabi itu karena memang umat Islam gak boleh mengamalkan keyakinannya atas dasar kebencian.
Kalau sekarang? Rumah ibadah diimbau untuk ditutup atas dasar perhatian dan rasa tanggung jawab pemerintah dan tenaga medis atas kesehatan dan keselamatan orang banyak, bukan atas dasar kebencian. Kan Presidennya Muslim, Menteri Agamanya Muslim kok!
Keterangan Syekh Ibnu ‘Asyur itu bisa dibaca di al-Tahrir wa al-Tanwir (juz 1, hlm 680). Nah, di samping itu, kalau kita baca kitab fikih, di antara uzur boleh tidak shalat berjamaah dan meninggalkan Jumat adalah khawatir sakit. Keterangan itu ada di kitab al-Inshaf fi Ma’riffah al-Rajih min al-Khilaf karya Imam al-Mardawi (juz 4, hlm 464). Begini kata beliau:
ويعذر في ترك الجمعة والجماعة، المريض. بلا نزاع، ويعذر أيضا في تركهما لخوف حدوث المرض
“Termasuk uzur meninggalkan shalat Jumat (diganti Zuhur) dan shalat Jamaah (di masjid) itu.”
Sakit tanpa ada perbedaan pendapat ulama. Termasuk uzur juga (meninggalkan Jumat dan Jamaah spt di atas) adalah khawatir timbul penyakit. Dalam ilmu fikih, imbauan dokter juga bisa jadi rekomendasi bagi kita untuk mengamalkan pendapat di atas, apalagi terkait Covid-19.
Kalau kita baca sejarah, masjid kosong atau ditutup saat ada musibah itu pernah juga terjadi. Imam al-Dzhabi di kitab Tarikh al-Islam (juz 30, hlm 25) bilang begini:
كان القحط العظيم بالأندلس والوباء، ومات الخلق بإشبيلية بحيث إن المساجد بقيت مُغلقة ما لها من يصلي بها
“Paceklik dan wabah pernah terjadi di Andalus, Spanyol. Masyarakat di Sevilla (banyak yang) wafat, sampai masjid-masjid pun tutup tak ada satu orang pun yang shalat di dalamnya.”
Imam Ibnu ‘Adzari dalam al-Bayan al-Mughrib fi Akhbar al-Andalus wa al-Maghrib, juga menceritakan hal yang kurang lebih sama. “Di Tunisia pernah terjadi wabah besar pada tahun 395 H. Musibah besar ini menyebabkan toko tutup, harga-harga melambung tinggi, bahan pokok langka, orang kaya dan tak mampu banyak yang wafat. Yang terlihat hanya dokter yang mengobati orang sakit, keranda jenazah, dan masjid-masjid pun kosong di kota Kairouan.
Ada keringanan atau rukhshah dalam beribadah dalam agama mengapa kita tidak ambil untuk menjaga keselamatan orang banyak? Tapi sampai saat ini, saya lihat masih banyak masjid yang masih buka, dan bahkan tidak ada protokol kesehatan sama sekali. Kalaupun memaksa buka, paling tidak mbok ya ada prokesnya, apalagi kalau wilayahnya masuk zona merah. Tetap ikhtiar, berdoa, dan jangan panik ya. Mari saling menjaga!