Dia seorang janda. Gaji bulanannya sebagai guru swasta hanya cukup untuk menyambung hidup. Biaya pendidikan untuk dua anaknya nyaris di luar jangkauan kemampuan keuangannya. Ketika dia menghadap pejabat kampus untuk meminta pengurangan UKT (Uang Kuliah Tunggal) anak sulungnya, yang diterima bukan hanya penolakan, tapi juga penghinaan yang menghancurkan harga dirinya. Dia diminta untuk beralih profesi dari guru menjadi kuli bangunan, agar bisa melunasi biaya pendidikan. Dia terdiam. Dadanya sesak menahan tangis yang malu untuk ditunjukkan saat itu. Tapi air matanya tetap meleleh jua.
Kisah seperti di atas dengan berbagai variasinya dialami oleh ribuan orang di Indonesia, mungkin juga jutaan. Orang tua ingin menguliahkan anaknya, tapi biaya pendidikan tak mampu dijangkau. Ada sebagian yang dengan berbagai cara akhirnya berhasil membiayai anaknya hingga selesai kuliah, sekalipun harus membebani dirinya dengan pekerjaan yang membuatnya tidak lagi seperti manusia. Tapi, tidak sedikit yang akhirnya harus mengikhlaskan anaknya meninggalkan bangku kuliah, karena memang tidak tahu lagi bagaimana cara melunasinya.
***
Seorang dosen meradang kepada seorang mahasiswanya. Si mahasiswa hanya dua sampai tiga kali masuk kelas selama satu semester. Si mahasiwa mengatakan bahwa dia tidak lagi semangat untuk kuliah. Tapi bukan itu yang membuat sang dosen gemeretak giginya. Kemarahan sang dosen meledak ketika si mahasiswa mengatakan bahwa dia sehari-hari hanya menghabiskan waktunya tidur di kos.
Uang untuk membayar biaya hidup dan UKT sepenuhnya berasal dari kiriman orang tuanya di desa yang berprofesi sebagai pemijat. Tak ada sawah, taka da usaha lain. Kedua orang tuanya hanya menyambung hidupnya melalui jasa pijat, di mana pendapatannya sepenuhnya tergantung pada keikhlasan pemberian orang yang dipijatnya.
Kisah mahasiswa ini juga mungkin dialami ribuan mahasiswa lain. Orang tua bekerja seperti kuda demi kasih sayang kepada anaknya. Biaya pendidikan tinggi sesungguhnya berada di luar jangkauannya. Sekalipun demikian, dia memaksa dirinya untuk bekerja hingga di luar batas kewajarannya.
Orang tua mengurangi makannya hingga nyaris setiap hari berpuasa. Kasih sayang dan pengorbanan orang tua yang tangisnya mampu menggedor-gedor langit ketujuh ini tidak mampu menggerakkan hati anaknya untuk sekedar bangun tidur dan berngkat kuliah.
***
Untuk apa sekolah? Untuk apa kuliah? Di pertengahan tahun 1977, WS. Rendata menulis sebuah puisi panflet berjudul “Sajak Sebatang Lisong”. Di dalamnya, dia menulis:
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya, tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan, tanpa pepohonan, tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
***
Mengapa setelah empat puluh tahun persoalan yang kita temui tetap sama? Jutaan anak Indonesia setiap awal semester menahan kepedihan karena tidak tahu bagaimana harus membayar biaya pendidikan. Orang tuanya hanya kuli bangunan. Orang tuanya hanya pemijat yang menunggu panggilan. Bagaimana ia bisa membayar biaya pendidikan hingga lima sampai sepuluh jutaan. Apa lagi yang harus digadaikan? Apa lagi yang harus dikorbankan.
Setiap pertanyaan tentang ketidakadilan ini akhirnya hanya membentur meja kekuasaan yang selalu dijawab, “Itu sudah kebijakan”. Kebijakan? Kebijakan apa yang buta terhadap keadilan?
Untuk apa pendidikan? Di dalam “Sajak Seonggok Jagung,” Rendra berpuisi:
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda
yang kurang sekolahan.
….
Ia siap menggarap jagung
Ia melihat kemungkinan
otak dan tangan
siap bekerja
….
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
Ia memandang jagung itu
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta.***
Empat puluh tahun berlalu, mengapa masalah yang kita hadapi tetap sama? Orang tua yang tak berpendidikan, tak ada ladang, hanya punya tangan, dan dengan tangan itu dia sekolahkan anaknya. Seorang anak dididik di sekolah, tapi sekolahan telah membuat si anak kehilangan kesadaran. Dia kehilangan kaki dan tangan hingga tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Dia tak hanya merasa terlunta-lunta, tapi juga mungkin merasa malu terlahir dari orang tua yang tak berpunya.
***
Seberapa bebal kita sehingga nyaris setengah abad tak bisa menjawab persoalan yang itu-itu saja. Jika pendidikan adalah hak semua anak bangsa, jangan jualan sekolah-sekolah dan kampus-kampus dengan harga yang tak mungkin bisa dijangkau oleh para orang tua yang bahkan tidak tahu besok harus makan apa.
Jika pendidikan adalah kunci kebaikan hidup di masa depan, mari membangkitkan kehidupan, bukan membangun impian melalui rumus-rumus yang harus dihafalkan yang tidak ada kaitannya dengan kenyataan.
Ini bukan pertanyaan baru karena empat puluh tahu lalu kegundahan yang sama telah diberondongkan:
Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja,
bila pada akhirnya, ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
“Di sini aku merasa asing dan sepi!”[]