Pandemi Covid-19 nyaris memasuki debut untuk tahun pertama. Sekolah-sekolah masih menerapkan belajar daring. Pun demikian dengan sejumlah perkantoran yang masih menerapkan kebijakan WFH.
Tentu saja, ini bukan berita yang menggembirakan. Apalagi, baru-baru ini dikabarkan bahwa total kasus Covid-19 di Indonesia sudah mencapai angka sejuta lebih.
1.012.350 #COVID19
Sekali lagi SATU JUTA KASUS.
— Islami (@islamidotco) January 26, 2021
Meski begitu, Jokowi rupanya masih tetap teguh pada optimismenya. Tidak saja dengan memborong vaksin Covid-19 yang telah dijajal sendiri dan didistribusikan ke berbagai daerah, tetapi optimisme Presiden Jokowi juga secara konsisten tertuang dalam setiap pidatonya.
Dalam acara Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, misalnya, Jokowi menyebut bahwa sepanjang 2020 dan memasuki 2021 Indonesia bisa mengendalikan dua krisis, yaitu krisis kesehatan dan krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19.
“Kita bersyukur Indonesia termasuk negara yang bisa mengendalikan dua krisis tersebut dengan baik,” kata Jokowi lewat tayangan YouTube Yakoma PGI, Senin (25/1/2021).
Terang saja, pernyataan Presiden Jokowi itu mendapat kritik dari publik, termasuk tenaga kesehatan.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) DKI Jakarta Slamet Budiarto, umpamanya, mempertanyakan parameter apa yang digunakan Jokowi saat menyebut pandemi terkendali.
“Saya tidak paham Pak Jokowi menyatakan begitu. Mungkin dari sisi ekonomi, saya juga tidak tau ekonomi seperti apa. Yang saya tahu dari sisi kesehatan,” kata Slamet, seperti dikutip Kompas.com.
Menurut Slamet, pandemi jelas tidak terkendali jika ditinjau dari sisi kesehatan. Parameter pertama bisa dilihat dari angka kematian yang tinggi.
“Angka kematian kita tertinggi nomor 1 di negara Asean, baik presentase maupun jumlah. Saya perkirakan ini sampai akhir tahun ada kematian 100.000 orang sampai Desember 2021,” kata Slamet.
Sementara itu, parameter kedua yang digunakan IDI adalah angka penularan kasus Covid-19.
“Ya mungkin Presiden punya parameter lain. Kalau parameter kami di IDI angka kematian dan infeksi,” ujar Slamet.
Di lain pihak, netizen turut membandingkan sikap pimpinan negara lain dengan Presiden Jokowi sehubungan dengan penanganan Covid-19.
Presiden Filipina Rodrigo Duterte, misalnya, tak segan untuk mengakui kegagalan menangani pandemi Covid-19 saat kasus di negaranya mencapai 103.185 pada Agustus 2020.
“Kami gagal total. Tidak ada yang mengantisipasi ini. Tidak ada orang yang memprediksi bahwa dalam sehari ribuan orang jatuh sakit,” kata Duterte sebagaimana dilansir dari AFP.
Hal serupa ternyata juga dilakukan oleh Kanselir Jerman Angela Merkel saat kematian pasien Covid-19 mencapai angka tertinggi dalam sehari pada Desember 2020.
“Saya memohon maaf dari lubuk hati yang terdalam. Namun jika harga yang kita bayarkan adalah 590 kematian sehari maka hal ini tidak bisa saya terima,” ujar Merkel sebagaimana dikutip dari DW.
Lalu, ada Perdana Menteri Inggris Boris Johnson yang juga meminta maaf kepada rakyatnya lantaran kasus kematian akibat Covid-19 telah menginjak angka 100.000 pada Selasa (26/1/2021). Kabarnya, ini membuat Inggris menempati peringkat kelima negara dengan kematian akibat Covid-19 tertinggi di dunia.
“Saya meminta maaf yang sedalam-dalamnya dan bertanggung jawab penuh atas nyawa-nyawa yang hilang. Sulit untuk menghitung duka yang diakibatkan hilangnya nyawa dengan cara yang tragis dalam setahun terakhir,” kata Johnson sebagaimana dilansir dari Telegraph.