Oh Muhammad, Bagaimana Aku Bisa Menirumu?

Oh Muhammad, Bagaimana Aku Bisa Menirumu?

Oh, Muhammad, Junjunganku. Bisakah aku menirumu?

Oh Muhammad, Bagaimana Aku Bisa Menirumu?

Rohatil atyaru tasydu, fi layalil maulidi, wa bariqunnuri yabdu, min ma’aani ahmadi.

“Burung-burung berkicauan teramat bahagia di malam kelahiranmu (Muhammad), dan kilatan cahaya terpancar penuh makna di dirimu”.

Begitu, kumandang ramai perkampungan mengenang dan menceritakanmu. Dengan tembang sastra beriramakan lantunan rebana, tak ada bekas penghalang kegembiraan mereka selain menyatu dalam pujian kagunganmu. Tak berhenti sejenakpun. Sungguh mereka tak lain hanya berharap mampu meniru teladanmu.

Wahai lelaki matahari dan bulan, bersamaan dengan suara-suara rebana itu, izinkan kami menengadah sembari merintih dalam sirah-sirahmu. Kami hanya ingin terus menerum bejalar dari uswah-usawahmu. Meski sedikit, izinkan pula kami menceritakan diri sebagai umat yang jauh dari yang menyamaimu.

Wahai lelaki sejuta gelar, ketika musibah banjir menenggelamkan kota Mekkah, engkau aktif terlibat bersatu padu, saling bahu membahu dalam pembangunan ka’bah. Pembangunan memasuki tahap peletakan Hajar Aswad, selisih pendapat bermunculan. Siapakah tokoh yang layak mendapatkan kehormatan untuk meletakkan Hajar Aswad? Masing-masing saling ingin mengedepankan pemimpin kelompoknya sendiri.

Dengan kebijaksanaan, engkau hadir ditengah-tengah mereka dengan ungkapan santun halusmu, ”Siapa pun yang besok pagi datang paling awal ke tempat pembangunan, maka dialah yang berhak atas kehormatan untuk meletakkan Hajar Aswad.”

Masyarakat pun menyetujui dan mereka yakin itu adalah jalan terbaik bagi mereka.

Keesokan harinya, ternyata engkau sendiri yang datang paling pagi dan paling awal. Namun rupanya engkau bukanlah seorang yang egois. Engkau bentangkan sorbanmu, engkau taruh Hajar Aswad itu di atasnya, lalu engkau ajak beberapa tokoh lain untuk turut serta meletakkannya bersama-sama. Sungguh mereka puas atas keputusan bijak akal sehatmu.

Rupanya, di era kami, “Gelar-gelar semakin tinggi justru akal sehat semakin rendah”. Sungguh berbanding terbalik dengan yang engkau teladankan wahai penghimpun yang bercerai berai’. Hadirlah ditengah-tengah hamba, meski sebentar.

Wahai lelaki pemegang kesetiaan, engkau senantiasa meletakkan cinta istri kinasihmu itu di serambi sanubarimu. Saat Fath Makkah, engkau mengambil waktu khusus di sela-sela Yaumul Marhamah ini dengan menziarahi pusara Khadijah, meletakkan jubahmu di sisi makam, dan engkau pun bernostalgia dengan menyebut kemuliaan perempuan agung itu. Khadijah tak pernah pergi dari sanubarimu, duhai Khairul Bariyyah.

Ketika engkau diberi hadiah daging, yang engkau ingat adalah Khadijah. Engkau mengambil bagian terbaik dari daging itu, lalu menyedekahkannya atas nama Khadijah kepada kaum miskin.

Engkau memahat nama ibunda anak-anakmu itu dalam amal keseharianmu, hingga dalam berbagai kesempatan dirimu memujinya dalam kalimat-kalimat indah dengan balutan cinta.

Rupanya di era hamba, ”Perselingkuhan semakin marak, justru kesetiaan yang semakin punah”. Sungguh kami jauh dari risalah perjalananmu wahai pemilik kesetiaan cinta.

Wahai lelaki yang senantiasa tersenyum, seorang perempuan pernah sowan kepadamu dan memberi hadiah. Ini adalah kain yang kutenun sendiri, semoga engkau berkenan menggunakannya, wahai utusan Allah, Kata perempuan itu,Engkau berbahagia menerimanya hingga ada seorang sahabat yang menginginkan dan memberanikan diri meminta kain indah itu, padahal engkau belum pernah sama sekali mengenakannya.

Engkau tersenyum, masuk kamar, kemudian melipat kain indah itu lalu menghadiahkannya kepada sahabatmu tadi. Duhai Rasulullah, demi Allah, aku menginginkan kain ini bukan untuk kupakai, tapi untuk kujadikan kafan saat mati kelak. Kata sahabatmu dengan suara bergetar. Engkau lagi-lagi tersenyum mendengar alasan sahabatmu. Sungguh mempesona kedermawananmu, duhai Shahib al-Maqam al-Mahmud.

Lantas di masa kami, “pengetahuan semakin banyak, justru kearifan semakin berkurang”, sungguh kami bejat, ngawur dan sama sekali tak mampu meniru arif dermawanmu ya karimal anbiya.

Wahai Annajmu ats-tsaqib, suatu ketika, seorang Arab Badui buang air kecil di dalam masjid (tepatnya di sudut masjid). Orang-orang lantas berdiri untuk memukulinya. Dengan gegas, engkau mencegahnya, lalu berkata, “Biarkanlah dia, siramlah air kencingnya dengan seember atau segayung air. Sesungguhya kamu ditampilkan ke tengah-tengah umat manusia untuk memberi kemudahan bukan untuk membuat kesukaran.” Begitu lembut caramu menghakimi ummatmu.

Tapi mengapa, disekitar kami yang kualitas ilmunya semakin tinggi, justru kualitas emosi semakin rendah. Tak jarang kami temui, ummat yang selalu mengagung-agungkanmu, justru menghujat dengan luapan klimaks emosi tak berkesudahan. Apakah begitu, cermin keagunganmu? Hadirlah ditengah-tengah kami meski hanya sebentar ya atqol atqiya.

Wahai lelaki penutup aib, suatu hari para sahabat sedang berkumpul di masjid. Lalu terciumlah bau kentut diantara mereka, sehingga membuat para sahabat tidak tahan dengan bau tersebut, salah seorang dari mereka berdiri dan berkata, “Barangsiapa yang kentut, silakan bangun”. Hening, tak seorang pun berdiri.

Ketika datang waktu ‘Isya mereka berkata, “Orang yang kentut pasti akan berwudhu setelah ini”. Lalu, para sahabat menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang keluar. Masih seperti tadi, tak seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya, mungkin malu.

Lalu Bilal bangun untuk mengumandang kan adzan. Tapi engkau justru berkata, “Tunggu dulu, aku belum batal, tapi aku hendak berwudhu lagi.” Para sahabat pun ikut berwudhu dan tidak diketahui siapa yang kentut waktu itu. Subhanallah. Sungguh, dalam diri engkau terdapat teladan mulia, ya asfal asyfiya.

Tapi, mengapa di era kami, malah mencemaskan. “Teknologi informasi semakin canggih, mengapa justru fitnah dan aib yang semakin tersebar?”

Sangat bodoh, prilaku hamba yang selalu lalai akan uswahmu ini. Hamba gelap dalam kegelapan. Hamba butuh pancaran sinar cerah budi pekertimu ya nurun fauqo nur. Hadirlah ditengah-tengah kami meski sebentar wahai utusan yang bersandang gelar misbahus sudur.

Kami sadar, kami hanya pengagungmu yang angkuh dan sama sekali tak mencerminkan keagungan yang selalu kami agung-agungkan.

Marahi kami, bentak kami, sebagaimana nyai Surti mengupas tuntas ketololanku ini, wahai pemberi syafaat.

Hingga pada akhirnya aku berbesit, “Aku sama sekali bukan Muhammad.”