Pada sebuah hari Minggu, kau berjalan-jalan pagi dengan Bapak dan Ibumu. Sesudah memutari alun-alun sebanyak lima kali, membungkus serabi atau nasi kuning sebagai oleh-oleh pulang ke rumah, kau juga menyempatkan diri untuk menyapa penjual koran yang mangkal di seberang kantor Bupati. Kau membeli sebuah koran daerah, Suara Merdeka namanya. Tiba di rumah, kau buru-buru membolak-balik halaman demi halaman koran, lalu tersenyum-senyum menghayati satu kolom pendek dari seorang penulis sambil mencomot serabi hangat berselimut parutan kelapa.
Begitulah, rutinitas hari Minggu yang biasa saya lewati di usia remaja. Selalu asyik menikmati kolom Parodi Prie GS di surat kabar. Saya belum paham banyak isme-isme atau logos-logos ketika usia saya masih belasan, tapi saya bisa memahami tulisan Pak Prie. Kini, sesudah lima tahun saya menjadikan kegiatan tulis menulis sebagai aktivitas profesional, saya paham apa yang dilakukan Pak Prie itu sebagai bercerita.
Bersama penulis yang bercerita, ia selalu nampak hadir mengobrol dan tertawa-tawa bersama kita. Bersama penulis bercerita, kita bukan seperti jamaah yang mendengar pengkhotbah di atas mimbar, melainkan setara duduk bersila di atas tikar pandan sederhana. Saya amat menyukai penulis yang bercerita hingga saya berusaha meniru-niru formula itu saat berlatih menulis esai.
Cerita seharusnya jadi milik siapa saja. Saya sering kelagepan ketika membaca gagasan yang bertabur bahasa melangit, yang mesti ditindaklanjuti dengan membuka kamus atau meng-googling sebuah istilah agar bisa paham konteks. Sehingga, selalu menyenangkan membaca cerita dengan bahasa yang tidak ndakik–ndakik, seperti tulisan-tulisan Pak Prie.
Pak Prie bercerita apa saja. Ia bercerita pisang goreng sangat enak yang dibikin tetangga. Ia bercerita sebuah kendi berisi air matang di halaman rumah seseorang lain desa. Ia bercerita pribadi luhur kawan-kawannya, yang kadangkala lebih terasa seperti ia sendirilah si tokoh dalam kisah itu. Ia bercerita pohon jambu air di depan rumah, juga dongeng tentang nyamuk, dan wayang. Tawa dalam tulisannya bukan ditujukan untuk mereka yang lemah, tapi tawa tanpa merendahkan ia hadirkan kepada tokoh-tokoh yang memiliki kuasa: pejabat dan para artis. Yang paling sering ia lakukan adalah rasan-rasan istri dan anaknya sendiri.
Konon, humor yang baik membuatmu tertawa. Tapi, humor yang luar biasa membuatmu menangis. Demikianlah yang terjadi pada saya saat membaca kolom Pak Prie berjudul Humor Pengemis. Pak Prie menangkap fenomena sosial masyarakat yang kehilangan kepercayaan kepada pengemis, mencurigai bagaimana seorang buta di Kereta Api mendadak bisa lari sipat kuping saat kereta hendak berangkat atau seorang pengemis cacat dengan kain perban yang berpindah-pindah tempat di tubuhnya. Kecurigaan itu mengakibatkan efek yang dilematis, yakni masyarakat menganalisis pengemis dengan banyak teori dan berpikir banyak pertimbangan sebelum menyodorkan receh mereka.
“Yang gawat adalah ketika pemberi merasa selalu punya hak atas derma yang diberikan. Sebuah kegawatan yang sangat diperhitungkan kaum penderma agar bantuannya tidak diselewengkan. Maka sambil mengulurkan tangan, para penderma ini bisa pula menitipkan segebung moral, idealisme, petuah, wanti-wanti dan syarat-syarat dermanya.” Begitu Pak Prie menyampaikan pesan dalam tulisan yang berhasil menampar pipi kanan dan kiri saya. Kenapa untuk menitip derma recehan saja, kadangkala saya penuh perhitungan. Padahal, sebagai rakyat kecil, kita sudah biasa menitip banyak uang kepada pejabat dan tak terhingga amanat masyarakat yang telah diselewengkan.
Selain bercerita lewat tulisan, Pak Prie juga bercerita sebagai kartunis, penyiar radio, pembawa acara dan pelawak tunggal di teater-teater kesenian. Ia pernah coba menjadi pemusik, tapi sepertinya tak cukup berjodoh secara rezeki dalam bidang itu.
Tentu saja saya tidak banyak bertemu Pak Prie. Saya hanya menyalami Pak Prie beberapa kali di panggung kebudayaan Haul Gus Dur di Ciganjur, dalam beberapa kali hajatan di rumah Gus Mus di Rembang, dan terakhir kali berpoto di panggung perayaan Ulang tahun Gus Mus di Gedung Sam Poo Kong Semarang. Seperti Gus Dur, potret Pak Prie di media, televisi maupun linimasa adalah potretnya dengan peci hitam nusantara yang tengah tertawa lepas terlihat deretan gigi.
Konon, seseorang hanya perlu menemukan satu buku yang membuatnya jatuh cinta untuk selanjutnya tertarik membaca buku-buku berikutnya. Itulah jasa Pak Prie yang paling berpengaruh dalam hidup saya, bagaimana saya jadi tertarik dengan hobi membaca karena membaca novel Ipung pertama kali saat SMP. Saya menemukan buku tipis bersampul hitam kusut itu di perpustakaan sekolah. Karakter Ipung, secara rahasia juga adalah laki-laki pertama yang membuat saya jatuh cinta.
Saya banyak membaca novel remaja lain, tapi tetap Ipung yang paling memikat diri saya saat remaja.
Laki-laki kerempeng miskin yang mengayuh sepeda kemana-mana, yang berhasil dapat beasiswa sekolah di kota. Keteguhannya berhasil membuat Paulin si cantik jatuh hati. Begitulah selama bertahun-tahun, Ipung hidup dalam imajinasi saya.
Selamat jalan, Pak Prie. Swargi langgeng.
إِنَّا لِلَّٰهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Turut berduka cita atas berpulangnya Mas @Prie_GS seorang penulis dan budayawan. "Beragama itu seperti bersepeda, semakin ahli, kian rileks, " kata beliau.
Yuk kita doakan bersama, Allahumagfirlahu warhamhu. Alfatihah… pic.twitter.com/31IboqDKOq
— Islami (@islamidotco) February 12, 2021