Gus Im, atau Hasyim Wahid, telah meninggal dunia hari ini, Sabtu (1/8), pukul 04.18 WIB di RS Mayapada, Jakarta. Beliau dikenal sebagai adik bungsu dari Presiden RI keempat, Abdurrahman Wahid. Tak banyak yang mengetahui sepak terjangnya karena sosoknya nyaris tidak pernah tampil di publik.
Muhammad Hasyim Wahid, yang akrab disapa Gus Im, adalah putra bungsu dari KH. Abdul Wahid Hasyim. Beliau lahir pada tahun 1953, dengan kondisi yatim sebab sang ayah wafat ketika beliau masih ada di dalam kandungan sang ibu.
Ayahnya,KH. Abdul Wahid Hasyim, merupakan Menteri Agama Republik Indonesia, dan kakeknya, KH. Hasyim Asy’ari adalah pahlawan nasional, pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama.
Meski lahir dari trah ‘darah biru’ pesantren, Gus Im bukan sosok yang lekat dengan tradisi pesantren. Beliau mengaku sendiri menyempal dari tradisi keluarganya dengan menempuh pendidikan di luar tradisi pesantren. Hal ini dikarenakan beliau tidak menjumpai sang ayah semasa hidup. Selain itu, beliau lahir dan tumbuh di lingkungan yang kosmopolit di Menteng, Jakarta.
“Saya memang nyeleneh sendiri. Kakek, bapak, kakak saya, semuanya kiai. Nah saya ini preman.” Ujar Gus Im dikutip dari Tempo (14/5/2000).
Tak perlu mengernyitkan dahi jika Gus Im menyebut dirinya sendiri sebagai preman. Tidak seperti kakak sulungnya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), kiai yang menjadi media darling dengan menghiasi halaman muka surat kabar, Gus Im adalah aktivis yang bergerak secara klandestin. Rahasia dan terselubung. Beliau dikenal dekat dengan gerakan bawah tanah menjelang jatuhnya Orde Baru. Banyak menghabiskan waktu di balik layar, dan tidak banyak pamer peran di panggung elit politik.
Tidak jarang, banyak rumor dan mitos yang berkembang seputar dirinya. Mulai disebut sebagai bagian dari “kabinet malam”, sampai disebut punya kesaktian karena berhasil menghindar dari target operasi kerja intelijen.
Nama Gus Im tidak selamanya terselubung kabut misteri. Pergaulannya yang luas dari dunia bawah tanah sampai kalangan pengusaha besar menggiringnya terlibat dalam usaha penyehatan perbankan pada masa reformasi. Namanya pernah mencuat di publik ketika masuk dalam jajaran Staf Ahli BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) di periode kepresidenan Gus Dur guna menyehatkan iklim perbankan yang ambyar karena krisis moneter 1998 dan para pengusaha nakal.
Dalam sebuah wawancara dengan Majalah Tempo pada tahun 2000, beliau disebut mampu menyeret nama-nama pengusaha besar datang ke BPPN dengan membawa data perusahaan mereka. Nama-nama besar keluarga Cendana tak luput jadi sasaran tembaknya, seperti Tommy Winata, Bambang Trihatmodjo, dan Tommy Soeharto.
Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siradj mengenang beliau sebagai sosok yang berprinsip, tegas dan tak mudah dilobi. Prinsip Gus Im sebagai seorang pejuang masih bisa dilacak dalam sebuah buku karya beliau, yang berjudul Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia yang diterbitkan oleh LKiS pada tahun 1999.
Walhasil, sulit mendefinisikan sosok Gus Im dalam satu kategori. Beliau bukan pengusaha bonafid, meski banyak bertarung dengan para konglomerat. Bukan pula dikenal sebagai akademisi ekonomi, tapi mampu masuk ke dalam jajaran Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Tidak pula masyhur sebagai seorang sastrawan. Namun, ia menulis kumpulan puisi yang terangkum dalam buku berjudul ‘Bunglon’ (2005).
Kiranya Gus Im memang ingin dikenal seperti demikian adanya. Seseorang yang punya banyak warna, tapi tetap samar sampai akhir hayatnya. Selamat jalan, Gus Im!