NU, PKI dan Fenomena Rekonsiliasi Alami

NU, PKI dan Fenomena Rekonsiliasi Alami

NU, PKI dan Fenomena Rekonsiliasi Alami

Dalam menghadapi eks-Tapol PKI ini terdapat dua kelompok, yaitu pertama kelompok yang menghendaki adanya rekonsiliasi politik yang didahului dengan pengadilan HAM. Kelompok ini terdiri dari kelompok pewaris PKI garis keras yang didukung beberapa aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kedua, kelompok yang menolak rekonsiliasi dalam bentuk apapun. Kelompok ini didukung oleh beberapa kelompok Islam garis keras, termasuk kalangan TNI garis keras, sehingga benturan dan ketegangan diantara kedua kelompok itu cukup keras, baik pada di tingkat sosial maupun di panggung media.

Mengatasi ketegangan dua kubu yang bersebarangan itu, NU menawarkan rekonsiliasi alami, yaitu rekonsiliasi yang dijalankan berdasarkan prinsip kemanusian, yang tanpa didahului dengan pengadilan. Ini yang disebut dengan rekonsiliasi alami atau rekonsiliasi kultural. Sebab hal itu telah berlangsung sejak tahun 1965 yakni sejak benturan antara NU dengan PKI selesai, langsung terjadi rekonsiliasi di tingkat masyarakat, sehingga kehidupan di masyarakat bawah kembali normal dan kembali harmoni pascaterjadinya tragedi.

Rekonsiliasi secara alami terjadi antara kelompok NU dan bekas PKI dan keluarganya terjadi justru sejak pemberontakan tahun 1965 itu usai. Di Bojonegoro Desa Kunci Dander, misalnya, ada seorang tokoh PKI bernama Karso Lamin punya anak bernama Giyono yang selama ini selamat dari pembantaian karena sekolah SMP di Kota Bojonegoro. Begitu pulang ke desa segera disergap oleh Pemuda Marhaen, dan berusaha membunuhnya, karena Gino anak tokoh PKI, tetapi niat itu dihalang-halangi oleh Pemuda Ansor. Maka diadakan debat di kantor kelurahan antara Pemuda Marhaen dengan Gerakan Pemuda Ansor. Perdebatan itu dimenangkan oleh Ansor, maka sejak itu Giyono serta adiknya Wagiman dilindungi oleh kiai NU dan mulai belajar mengaji di langgar. Selama belajar ngaji Giyono dilindungi, dijemput saat berangkat menjelang maghrib agar tidak diganggu atau dibunuh oleh siapapun, sebab pemuda ini anak seorang tokoh PKI yang diincar Pemuda Marhaen. Begitu pula setelah selesai mengaji malam hari diantar pulang ke rumah, dan rumah itu juga terus diawasi dari jauh agar tidak ada yang menggerebek, termasuk dari TNI. Akhirnya Gino selamat dan menjadi keluarga yang saleh, bahkan kemudian Gino masuk TNI AL. Kemudian adiknya yang lebih kecil Wagiman juga diselamatkan dari serangan massa dan sekarang menjadi polisi di Bogor. Mereka itu semua menjadi Muslim yang taat hingga saat ini.

Contoh lain terjadi di Desa Trisulo, Kecamatan Ploso Klaten, Kabupaten Kediri. Di desa ini, 100 persen penduduknya adalah PKI. Pasca peristiwa 65, hampir tidak ada orang yang berani datang ke desa ini. Selama 31 tahun pasca peristiwa 65, di desa tersebut tidak ada ormas. Karena kedekatan kultural dengan NU. ketika ada kematian maka yang membacakan tahlil mendoakan adalah orang-orang NU yang ada di sekitarnya. Demikian juga saat pernikahan, melahirkan anak dan sebagainya. Dengan cara ini, perlahan trauma sejarah warga desa tersebut bisa diobati. Sehingga pada tahun 1997 organisasi yang pertama kali berdiri di desa tersebut adalah NU dan Ansor.

Rekonsiliasi NU-PKI juga dilakukan oleh KH Abd. Rochim Sidik yang pernah menjadi Ketua NU dan MUI Blitar. Beliau dengan beberapa kiai NU lainnya mempelopori gerakan mengasuh anak-anak yatim yang bapaknya menjadi korban PKI 65. Melalui gerakan ini ratusan anak yatim PKI disekolahkan, dimasukkan ke pesantren dan dididik oleh para kiai dan warga. Dengan cara ini banyak anak-anak PKI yang sukses menjadi pegawai negeri, pengusaha, politisi dan sebagainya. Atas perlindungan para kiai ini anak-anak PKI bisa lolos dari tekanan Orde Baru yang sangat ketat dengan sistem litsusnya.

Bukti lain yang mencerminkan terjadinya rekonsiliasi sosial antara kiai dan warga NU dengan massa PKI terjadi di Pekalongan. Setelah peristiwa G-30-S/PKI itu para kiai di Pekalongan banyak mendirikan mushola di pintu-pintu masuk kampung/desa yang ada di sepanjang jalan Pekalongan-Banjarnegara yang menjadi basis PKI. Salah seorang yang melakukan tindakan tersebut adalah KH Anwar Amin (Ayah dari bapak Ashif Qalbihi, Bupati Pekalongan 2016-2021). Hal ini dilakukan dengan tujuan utama yaitu menjadi tempat ibadah kaum Muslim yang ada di desa tersebut dan sekaligus untuk melindungi orang-orang PKI yang ada di desa tersebut dari gerakan pembersihan yang dilakukan oleh aparat Orde Baru. Dengan adanya mushalla di desa tersebut, maka akan menghapus image sebagai desa yang menjadi basis PKI. Selain itu, dengan adanya mushalla-mushalla tersebut, warga masyarakat yang ikut dalam PKI juga bias menyembunyikan identitas mereka dengan menjadi muslim yang baik.

Selain mendirikan mushola di pintu masuk desa, beberapa kiai di Pekalongan juga melindungi orang-orang PKI di desa-desa dari ancaman massa. Selain itu dengan cara mengangkat mereka menjadi pegawai di koperasi NU atau lembaga lainnya. Seperti yang dilaikukan oleh KH Anwar Amin yang mengangkat salah seorang PKI menjadi juru tulis koperasi NU karena orang tersebut pandai mengetik. Selain itu, para kiai juga memberikan kesempatan pada anak-anak PKI untuk belajar di pesantren. Dengan kata lain pada saat itu para kiai NU membuka peluang seluas-luasnya kepada massa PKI untuk masuk dan berlindung ke dalam NU.

Ada dua alasan utama yang mendorong para kiai NU di Pekalongan ini bersikap melindungi rakyat yang menjadi simpatisan PKI. Pertama, karena para kiai melihat bahwa banyak rakyat yang tidak tahu apa-apa tentang PKI. Mereka masuk menjadi anggota PKI hanya karena ikut-ikutan. Terhadap orang-orang yang seperti ini, maka tidak layak mereka dipersekusi bahkan perlu dilindungi. Kedua, para kiai sadar bahwa konflik harus segera diakhiri karena hal itu akan merugikan semua pihak. Oleh karena itu para kiai segera memutus mata rantai konflik tersebut dengan secepat mungkin melakukan rekonsiliasi.

Sejak awal NU melakukan rekonsiliasi alami, karena di NU tidak mengenal adanya dosa warisan apalagi dosa lingkungan. Karena itu NU mengajak bangsa ini agar menerima mereka kembali ke masyarakat dan disantuni agar mereka tidak kembali ke habitanya sendiri yaitu PKI. Dengan adanya hukuman yang telah ditimpakan pada PKI baik dengan Mahmilub dan pembuangan serta pengasingan, dan setelah selesai masa hukumannya mereka dibebaskan, maka bagi NU persoalan 1965 telah selesai. Tidak boleh dibongkar lagi atas nama apapun, karena hal itu akan mengganggu kerukunan nasional. Termasuk menggangu ketenteraman warga eks-PKI yang telah memperoleh rehabilitasi dan perlindungan selama ini.

Rekonsiliasi politik yang didahului dengan pengadilan serta pembongkran kuburan harus ditolak, sebab cara yang ditawarkan lembaga internasional itu bermaksud menyalahkan pemerintah dan NU serta ormas Islam. Hal itu kalau diteruskan akan mengundang pertikaian. Oleh karena itu NU menolak cara itu. Sebaliknya sepakat untuk melanjutkan rekonsiliasi alami yang telah dirintis sejak tahun 1966 yang lalu, yang telah berhasil melakukan pemulihan mental, menciptakan kerukunan dan membangun persatuan yang memuaskan semua pihak, tanpa gejolak. Tradisi itu telah berjalan dengan baik dan lancar selama 50 tahun lebih, walau tanpa publikasi dan tanpa ada dana dari lembaga internasional, masyarakat telah memiliki mekanisme sendiri dalam melakukan rekonsiliasi, baik dalam menentukan cara mapun dalam memenuhi kebutuhan dana.

Sejak awal aktivis NU menyikapi PKI tidak secara gebyah uyah, karena ada beberapa katagori PKI. Ada kelompok PKI yang agresif dan mengancam, menculik dan membantai. Di beberapa tempat ada PKI yang hanya ikut-ikutan dan tidak melakukan kekerasan, terhadap mereka ini NU dan umat Islam tidak melakukan gangguan, bahkan selama masa pemberantasan PKI, mereka itu dilindungi. Dibuatkan masjid atau langgar serta dibimbing melaksanakan kegiatan sosial dan keagamaan. Bahkan kalau ada massa rakyat hendak menyerang mereka, pihak NU melindungi, sehingga mereka aman dalam lindungan NU, mereka itu kemudian kembali bermasyarakat sebagai warga biasa.

Selain itu banyak orang yang dulu tersangkut gerakan PKI tetapi setelah selesai masa hukumannya kembali menjadi manusia yang sangat soleh dan sangat peduli pada lingkungan, ringan menolong orang lain dengan berbagai program sosial dan kemanusiaan. Apalagi kalau selama ini mereka masuk PKI hanya ikut-ikutan tidak tahu apa itu PKI karena mereka dijebak, ditipu dan sebagainya. Mereka disantuni, diterima dengan baik kembali ke masyarakat, justru mereka itu sangat menyesali ketidaktahuannya sehingga mudah terseret dalam arus PKI yang menjanjikan berbagai kekayaan dan fasilitas, tetapi janji itu tidak pernah dipenuhi, karena cara memenuhinya dengan cara merampas dan merampok milik orang lain, akhirnya bukan kekayaan yang didapat, tetapi malah malapetaka yang didapat. Itu yang dikesankan sementara eks-Tapol. Mereka merasa bersalah dan merasa beruntung kesalahan mereka dimaafkan oleh masyarakat, bahkan mau menerima mereka, tanpa ada hukuman sosial, tanpa ada diskriminasi atau dianggap warga tiri di masyarakatnya. Untuk melindungi dan menyantuni mereka itu para ulama dan masyarakat Islam mengeluarkan tenaga, mengeluarkan dana sehingga mereka hidup tenteram dan sejahtera.

Sayangnya langkah itu dianggap sepi oleh kalangan aktivis HAM, dan pejuang demokrasi, justru mengekspos dan mengeksploitasi berbagai penderitaan eks-Tapol sebagai komoditi politik yang dijual ke luar negeri. Karena itu mereka melakukan kerjasama dengan komunitas hak asasi manusia internasional, mereka hendak menjalankan rekonsiliasi dengan caranya sendiri yang meminjam cara bangsa lain yang kebetulan tidak pas, sebiuah rekonsiliasi politik yang dihahului dengan pengadilan. Pelaku kejahatan diadili dulu dinyatakan bersalah lalu minta maaf dan direhabilisitasi serta diberi kompenasi baru saling memaafkan. Itu cara berpikir dan argumen mereka. Bangsa Indoenesia menolak rekonsliasi politik, sebab kasusnya berbeda di sini tidak ada tindakan sepihak baik yang dilakukan TNI maupun Banser NU. Mereka menyerang PKI karena PKI meneyerang mereka sehingga terjadi perang saudara. Dalam perang saudara tidak dikenal siapa pelaku dan siapa korban, karena keduanya menjadi pelaku dan keduanya menjadi korban. Kalau ini diadili maka harus menghadirkan saksi dari masing-masing korban.

Apalagi PKI adalah kelompok yang dalam menyerang NU dan TNI adalah dalam upaya menghancurkan ideologi dan bentuk negara, maka mereka tidak memiliki hak politik untuk membela diri dalam pengadilan. Selain itu pengadilan seperti ini juga akan memakan waktu dan akan semakin menambah ketegangan dan pertengkaran, justru dikhawatirkan apa yang sudah diperoleh PKI selama ini akan hilang kembali, ketika pengadilan menemukan kesalahan PKI. Karena itu, NU menolak rekonsiliasi cara itu, dan tetap mendrong untuk menjalankan rekonsiliasi alami sebagaimana yang telah terjadi. Memang rekonsiliasi seperti itu tidak mendatangkan simpati internasional, dan dengan sendirinya tidak akan mendatangkan dana internasional, sebab semuanya telah terjadi secara otentik, jauh dari formalitas, jauh dari publisitas, sehingga dunia internasional juga tidak memberikan bintang penghargaan dalam bentuk apapun, karena dalam rekonsiliasi ini tidak ada koordinator dan tidak ada tokoh dan tidak juga butuh juru bicara.

Oleh karena itu, menurut NU sumber malapataka dan kontroversi ini adalah pernyataan Komnasham 2012, yang menyebut bahwa langkah yang ditempuh pemerintah dan ormas dalam menyelematkan ideologi negara Pancasila pada tahun 1965 itu disebut sebagai pelanggaran HAM berat yang pelakunya baik militer dan para militer harus diadili. Istilah semena-mena yang digunakan Komnasham yakni pelanggaran Ham berat peristiwa 1965 itu harus dihapus. Kalau pernyataan itu tidak dicabut maka negara akan terus didesak dan diganggu untuk melaksanakan desakan Komnasham yang jelas-jelas melakukan kesalahan itu. Lagi pula bangsa ini sedang melakukan reintegrasi sosial, yang membutuhkan kekompakan. Kalau masih terus direcoki oleh urusan-urusan ribet yang penuh kontroversi seperti itu, negara dan masyarakat tidak bisa bekerja dan berjalan dengan baik, karena harus mengurusi hal-hal yang seharusnya tidak menjadi urusan. Bangsa ini harus mengurus dan menjalankan agenda yang lebih strategis dan lebih bermanfaat.

*) Abdul Mun’im DZ, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama