Dalam bangunan sosio-politik dan kultural Indonesia, dapatkah kita menemukan kembali unsur-unsur yang dulu merupakan sumbangan NU? Kemudian, dapatkah kita mengklim bahwa unsur tertentu dalam bangunan tersebut adalah hasil karya NU? Mungkin tidak. Seperti halnya tak mungkin seorang kiai akan bisa menemukan kembali jejak pendidikan yang pernah ditinggalkan dalam diri para santrinya. Ini, tentu saja, karena sang santri sendiri juga berkembang dan menyerap dari berbagai sumber lain buat basis dan pengayaan pemikirannya.
Tetapi, jika para analis bisa dengan mudah bicara tentang kontribusi pemikiran sosio-politik-keagamaan Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid, yang nampak mewarnai pemikiran Islam di Indonesia sekarang, kita juga bisa kembali melihat apa yang sudah pernah disumbangkan NU bagi kehidupan kemasyarakatan kita melalui, antara lain, keputusan-keputusan yang pernah diambil dalam Munas yang berlangsung selama ini.
Kita ingat bahwa dalam Munas di Kaliurang, September 1981, NU memutuskan tiga hal: mengangkat Kiai Ali Ma’sum sebagai Rais Aam, tidak mencalonkan lagi Soeharto sebagai presiden, dan tidak mendukung Soeharto sebagai Bapak Pembangunan, yang saat itu gencar disuarakan oleh berbagai kekuatan sosial politik di Indonesia.
Saat itu NU berpendapat bahwa hal itu sebaiknya diserahkan pada MPR. Kita juga masih ingat bahwa dalam Munas itu pula NU terpecah menjadi dua kubu: Cipete dan Situbondo.
Dalam Munas berikutnya di Situbondo, Desember 1983, diambil keputusan yang menimbulkan kekaguman banyak pihak, di samping penyesalan sementara kalangan, yaitu kembali ke khittah 26 dan menerima Pancasila sebagai asas tunggal.
Dengan kembali ke khittah 26, berarti NU meninggalkan dunia politik untuk memilih kembali menjadi organisasi sosial.
NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal karena bagi NU, Indonesia ini sudah merupakan bentuk final yang diperjuangkan dan dicita-citakan Islam sejak dulu. Seperti dapat kita lihat dalam perkembangan politik Indonesia selanjutnya, keputusan ini terasa jitu. Seolah keputusan ini langsung terkait dengan Islam yes, partai Islam no, yang terkenal itu.
Dengan begini, sebenarnya NU mencoba keluar dari kepompong untuk meng-Indonesia-kan diri. NU, dengan kata lain, berusaha menanggalkan baju primordialnya untuk menapak di jalur cepat (nasional) dalam pergaulan dengan berbagai kekuatan sosial politik lainnya. Dalam pergaulan itu, NU menghilangkan aneka prasangka (ras, suku, dan keagamaan) tetapi juga tidak perlu menghilangkan identitas asalnya.
Di dalam Munas Cilacap, Desember 1987, NU mengambil dua macam keputusan: tajdid (pembaruan) dan ukhuwah. Pembaruan ajaran dianggap perlu dilakukan karena ajaran, bagi NU, adalah ibarat aliran sungai. Makin jauh dari sumber sucinya (zaman Gusti Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w.) dan makin dekat ke muara (kehidupan zaman kita ini), segala najis dan khadas yang mengotori ajaran kita tentu semakin banyak. Namun, pembaruan bukan dimaksudkan untuk mengajak umat bersama-sama menata kembali pola kehidupan sosio-politik-kultural sebagaimana tercermin dalam kehidupan bangsa Arab tempo dulu (yang tentu saja tidak akan cocok dengan kondisi obyektif kita sekarang), melainkan untuk membersihkan kotoran tersebut.
Dalam kaitan ini, NU tiba-tiba lalu menemukan diri bergandengan tangan dengan Muhammadiyah, tetangganya itu. Pada titik ini NU-Muhammadiyah bertemu dalam aspirasi dan doktrin keagamaan. Dengan kata lain, NU membuka jendela yang selama ini menyekat hubungannya dengan Muhammadiyah.
Keputusan mengenai ukhuwah menyangkut tiga hal penting: ukhuwah Islamiah (sesama Islam), ukhuwah wathaniah (sesama warga negara), dan ukhuwah basyariah (sesama manusia).
Ini, sekali lagi, mempertegas kembali tekad NU untuk lebih membuka cakrawala pergaulan dengan siapa saja, tanpa beban prasangka tadi. NU mencoba hidup secara enak, mengalir bagai aliran sungai, ke arah mana saja sejauh tak menodai diri dan inti perjuangannya. Ini menarik, karena seolah-olah NU sudah jauh memperhitungkan bakal datangnya era globalisasi dalam berbagai segi kehidupan seperti kita rasakan sekarang ini.
Setelah “dekrit” tentang tiga ukhuwah itu, NU lalu membuka peluang kerja sama ekonomi dengan berbagai pihak. Maka terbentuklah kemudian BPR, Morelli Makmur, Morelli Aswaja, dan Buana Citra Asparagus. Yang terakhir ini merupakan kerja sama NU dengan pihak Swiss.
Dalam Munas Lampung, 21-25 Januari 1992 mendatang, akan dibahas tiga hal: soal bank, asuransi, dan hirarkhi pengambilan keputusan hukum Islam di lingkungan NU.
Bisik-bisik dan segenap komentar, konon sudah berkembang. Ada yang menganggap, Munas Lampung mendatang merupakan suatu langkah mundur bagi NU. Ada pula yang bilang bahwa asuransi dan bank tak ada relevansinya dengan NU, sementara hirarkhi pengambilan keputusan hukum Islam pun dianggap sudah telat.
Kemunduran? Dan bank serta asuransi tak relevan dengan NU? Pokok-pokok yang akan dibahas di Lampung, sepintas lalu, dan itu bila hanya dilihat dari segi politik, memang tak kelihatan menggebrak. Tapi mestikah yang tak menggebrak itu suatu kemunduran? Belum tentu.
Kita kan tak harus menggebrak terus-menerus. Artinya, bila situasi menghendaki kita bekerja secara kalem, mengapa pula harus menggebrak? Saya setuju bahwa dibanding dengan keputusan Munas Situbondo dan Munas Cilacap, arti politis Munas Lampung mungkin lebih kecil.
Tapi anggapan bahwa bank dan asuransi tak relevan dengan NU, sulit saya pahami. Adalah panglima tertinggi NU yang selalu bilang betapa pentingnya kita membenahi kehidupan (ekonomi) umat yang sampai saat ini masih morat-marit. Dan, bahwa demi pembenahan itu, kita dianjurkan pula untuk tak usah selalu ribut tentang thethek mbengek perkara khalifiah, karena problem pokok umat adalah kemiskinan.
Memang, kita tak harus setuju dengan panglima tertinggi. Tapi bila sebagai tindak lanjut dari “dekrit” tentang tiga ukhuwah kita kerja sama dengan bank, dan hal itu sekarang kita tindaklanjuti, bagaimana bisa bank dianggap tak ada relevansinya dengan NU? Saya melihat bahwa Munas kali ini masih terkait dengan soal penting dalam kehidupan umat. Dengan kata lain, NU masih tetap mengalir. Ia tak kehilangan relevansi apa pun.
Warta NU, Bulanan, Januari 1992