Meski tak bisa dianggap saluran politik satu-satunya bagi orang-orang Nahdlatul Ulama (NU), PPP dan PKB adalah partai politik yang berbasis massa Nahdliyin. Kalau ada isu-isu yang menyangkut ketahanan ekspresi Islam tradisional melawan Islam puritan, maka kedua partai itulah yang banyak diharapkan akan menyalurkan aspirasi Nahdliyin.
Sebagai partai politik, tentu PPP dan PKB ingin meraup suara sebanyak-banyaknya. Dalam taraf tertentu, keduanya ingin jadi partai “terbuka”. PKB sejak awal bukanlah partai berasas Islam, meski tetap saja di mana-mana platform yang diusungnya ialah Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jamaah). Sedangkan PPP kini mengudarkan wacana “Rumah Besar Umat Islam”; termasuk ingin menyerap kalangan Islam-modernis. PPP mengampanyekan wacana koalisi partai Islam, meski tampaknya tak mendapat sambutan positif.
Sekalipun ingin bergerak keluar dari “kampung” asalnya, PPP dan PKB tak bisa serta merta melupakan rumah asalnya: NU. Di tataran ini, PPP dan PKB justru harus berebut massa. Naasnya, rebutan massa itu kadang bikin sebagian orang NU mesti mengelus dada.
PPP belum lama ini menggelar haul Gus Dur. Tak ada masalah berarti sebenarnya sebagai sebuah perhelatan demi mengenang orang besar bangsa ini. Tapi di akar rumput, itu cukup meramaikan pertengakaran. Di level bawah, para simpatisan PPP tidak begitu menyukai figur Gus Dur. Bagi sebagian simpatisan PPP, Gus Durlah yang kala mendirikan PKB dulu menggembosi suara PPP; di samping memang sepak terjang Gus Dur dulu juga kurang disuka para kiai PPP.
PKB sendiri mulai tampak cenderung bergerak ke dalam: ingin merawat basis massa asalnya—meski masih berusaha “keluar” juga dengan niatan meminang Rhoma Irama. Di banyak plakat-plakat kampanyenya, PKB masih membawa-bawa figur Gus Dur—meski mendapat banyak tentangan dari pihak keluarga Gus Dur. Rumah saya pun mendapat kalender PKB bergambar Gus Dur.
Mutakhir, yang banyak jadi bahan pertengkaran pula antar sesama Nahdliyin: munculnya Kiai Said Aqil Siraj, ketua umum NU, di iklan PKB. Bagi awam, itu jelas menyisakan kesan seolah-olah ketua NU “merestui” PKB sebagai representasi NU.
Jadi, PKB dan PPP ini berebut massa NU, mungkin juga bisa dikatakan berebut figur Gus Dur, padahal sama-sama mengklaim berpolitik Aswaja. Kita tahu ternyata, satu jargon Aswaja yang sama, tak lantas menjadikan ekspresi politiknya seragam, bahkan bisa berseberangan tajam (belum lagi dengan melihat fenomena merger-nya PKNU ke Gerindra).
Lalu para simpatisan masing-masing dari PPP dan PKB berperang retorika. Simpatisan PPP menyerang PKB dengan mencatut nama NU sekaligus memperingatkan NU tentang khittah-nya untuk tak dibawa-bawa masuk ke ranah politik praktis. Apalagi, Kiai Sahal Mahfuzh baru saja kapundhut, sedangkan peringatan keras dari beliau adalah NU tak boleh ikut terseret arus politik praktis. Lawan politik PKB juga menggoreng isu peminangan Rhoma Irama: yang dibutuhkan negeri ini satria piningit, eh yang muncul satria bergitar.
Dari sisi sebaliknya, PKB menyerang PPP, apalagi kalau tidak dengan isu pencalegan Angel Lelga. Ini isu yang cukup empuk jadi bancakan; terutama untuk menyudutkan Menag Suryadharma Ali yang, hanya dalam satu pertemuan, bisa tahu “potensi” Mbak Lelga.
Entah apa alasan pasti pencalegan Lelga itu. Mungkin memang begitulah watak politik praktis: kader karbitan penting untuk meraup sebanyak-banyaknya suara. Maksudnya, Lelga hanyalah sasaran antara, sebab tujuan utama adalah melenggang ke parlemen. Atau mungkin Pak Menag menyadari bahwa dalam kondisi panasnya suhu politik menjelang pemilu, umat ini butuh dagelan pendingin kepala?
Atau mungkin Pak Menag dan para kiai PPP punya tafsir tertentu yang canggih terhadap hadits Nabi “idza wussida al-amru ila ghairi ahlihi fantazhir as-sa’ah” (ketika urusan [penting] diserahkan pada bukan ahlinya, maka tunggulah waktu [kehancurannya]? Apa yang terjadi jika wussida al-amru ila Angel Lelga… ?
Tampaknya memang Pak Menag menyadari bahwa isu Lelga ini jadi sasaran empuk lawan politik PPP, sampai-sampai Pak Menag menyebut “zalim” ke Najwa Shihab yang di acara talkshow-nya “menyerang” Lelga dengan pertanyaan berat. Lelga sama gelagapannya (memalukan?) dengan Rhoma Irama saat menjawab pertanyaan Najwa Shihab.
Fenomena Rhoma (PKB) dan Lelga (PPP) ini menandakan politik orang-orang NU masih terpentok pada figur. Politik orang-orang NU masih terpancang pada keandalan tokoh-tokoh tertentu, ketimbang kinerja. Orang-orang NU yang berkiprah di partai politik belum memunculkan figur kuat yang meraih simpati rakyat (mungkin Mahfudh MD masuk perkecualian?).
Orang-orang NU yang berkiprah di politik praktis belum bisa melahirkan kembali figur sekuat Gus Dur (atau mungkin tak akan pernah bisa?).
Manuver-manuver yang dilakukan PPP dan PKB belakangan ini tentu harus jadi bahan kritik untuk konsep khittah NU yang abu-abu. Pertanyaan yang penting diajukan, antara lain, bolehkah NU secara institusional dan petinggi NU secara personal memberikan restu ke tokoh atau parpol tertentu?
Politik yang dimainkan NU itu, yang kerap diulang-ulang pula oleh Almaghfurlah Kiai Sahal Mahfuzh, ialah politik “tingkat tinggi”. Praksis dari konsep itu, meminjam istilah yang kerap diutarakan dalam ceramah Kiai Hasyim Muzadi: “NU tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana.” Hanya saja, jangan-jangan jargon itu kini berubah makna menjadi “NU tidak ke mana-mana, ada di mana-mana, tapi terseret oleh kepentingan di mana orangnya berada.”
~artikel ini pertama kali dimuat di Kedaulatan Rakyat, 17/03/2014