Nahdlatul Ulama (NU) baru saja memperingati harlah ke-88 pada 31 Januari lalu. Momen ini penting untuk melakukan refleksi demi menghadapi tantangan ke depan. Saya mencatat setidaknya dua hal yang perlu mendapat perhatian serius.
Pertama, dalam gegap gempita tahun politik 2014 ini, tentu NU akan mendapat banyak perhatian. Sebagai ormas Islam terbesar di negeri ini, NU memiliki magnet politik yang kuat menarik para calon legislatif dan eksekutif untuk sowan ke pesantren.
Dan itu benar belaka, sejauh ini NU dan pesantren-pesantren besarnya telah dikunjugi para politisi. Pemimpin Gerindra Prabowo Subianto datang ke PBNU. Anies Baswedan, yang ikut konvensi Partai Demokrat, mengunjungi pesantren Tebuireng, Jombang. Demikian pula presiden PKS Anis Matta bersilaturahim ke Tebuireng dan Lirboyo; bahkan belum lama ini kerap diberitakan melaksanakan ziarah kubur dan ikut maulid Nabi.
Jangan tanyakan ihwal PPP dan PKB—serta PKNU yang sudah merger ke Gerindra. Ketiga partai ini jelas berebut basis konstituennya yang mayoritas Nahdliyin itu. Bukan hanya berebut orang-orang NU, ketiga partai ini juga memperebutkan siapa yang paling sah merepresentasikan corak politik ala Ahlus Sunnah wal-Jamaah.
Maka para kiai dan pesantren-pesantren NU lain pun layak untuk bersiap-siap, siapa tahu nanti akan ada politisi yang datang meminta restu.
‘Ala kulli hal, apa yang salah dengan mendekati NU? Tiada yang salah dalam hal ini secara hukum dan konstisusi, tentu saja. Tapi secara politis, hal itu membuat mereka yang kurang suka—mungkin ini juga dari warga NU sendiri—kemudian membaca fenomena itu dengan nada negatif: ah, itu hanya pencitraan demi mencari simpati dan menambah bobot legitimasi!
Tapi setidaknya para kiai dan pesantren-pesantren NU bisa mendapatkan pegangan: bahwa mereka telah mengikat janji dan aspirasi pesantren, maka setelah jadi nanti janganlah lupa pada pesantren.
NU dan pesantren mestinya sudah cukup mawas pada pengalaman satu dekade mutakhir. NU lebih sering dijadikan alat untuk mendongkrak suara semata. Warga NU tentu tidak lupa dengan majunya Salahuddin Wahid dan Hasyim Muzadi sebagai cawapres dalam pilpres 2004. Di beberapa pilkada juga acapkali ditemui kiai NU yang, karena calon gubernur/bupatinya berasal dari kalangan sekuler maka, digunakan sebagai sarana untuk memompa legitimasi religiusitasnya. Semoga di tahun 2014 ini hal-hal begitu tak lagi terjadi, atau terminimalisasi, atau setidaknya mereka para calon pemimpin bisa sadar diri.
Kedua, yang tak kalah penting, NU mesti introspeksi kembali pada komitmennya untuk menjaga NKRI. Itulah yang dikatakan Ketua Umum NU Kiai Said Aqil dalam peringatan harlah ke-88 di PBNU. Kiai Said beberapa kali berkelakar: PBNU itu singakatan dari Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD ’45.
Satu persoalan mendasar yang harus diajukan terkait komitmen NU itu: bagaimana sikap NU pada Syiah dan Ahmadiyah? Diakui atau tidak, orang-orang yang bersengketa dengan warga Syiah di Sampang ialah Nahdliyin. Dan terkait Ahmadiyah, Menag kita yang juga orang NU, memberika dua alternatif: bertaubat atau bikin agama baru.
Komitmen NU pada kebangsaan diuji kala ormas terbesar negeri ini berurusan dengan minoritas di internal Islam yang kerap dianggap menyimpang dari ortodoksi. Bisakah NU, yang karena besar dan sudah tua (88 tahun), menjadi pengayom?
Pertanyaan ini tampak susah dijawab. NU belum memberikan sikap tegas secara formal kelembagaan terkait pemulangan warga Syiah Sampang dan pemenuhan hak-hak Ahmadiyah. Dalam kontroversi ihwal Syiah dan Ahmadiyah, pandangan para kiai NU terbelah—malah sudah bertengkar sengit. Hal ini menyebabkan NU tak tegas bersikap.
Maka, sekalipun secara formal kelembagaan NU tak bisa “memaksa” negara untuk bertindak tegas, NU mesti mengupayakan via para “wakil”-nya di parlemen. Bukankah jargon orang NU selama ini adalah “NU tidak ke mana-mana tapi NU ada di mana-mana”?
Karena itu, berbarengan dengan sowannya para politisi ke NU atau pesantren-pesantrennya, para kiai bisa menitip pesan ke para caleg: belalah hak-hak dasar semua warga Indonesia tanpa terkecuali. Jangan sampai jargon tadi berubah menjadi “NU ada di mana-mana tapi tak bisa berbuat apa-apa”.
~ tulisan ini pertama kali dimuat di Koran Tempo (04/02/2014)