NKRI, HTI dan Khilafah yang Ditolak

NKRI, HTI dan Khilafah yang Ditolak

NKRI, HTI dan Khilafah yang Ditolak

Ada banyak tanggapan yang berbeda-beda ketika beberapa gerakan di daerah mulai bertindak terhadap HTI. Ada yang nyinyir, ada yang memuji, ada yang was-was, dan berbagai hal tanggapan. Saya sendiri termasuk yang beberapa kali pernah duduk diskusi bersebelahan dengan orang-orang HTI. Saya juga pelajari buku-bukunya, dan saya berkesimpulan, memang dari sudut doktrin pendiri HT dan tokoh-tokohnya, agendanya jelas, mengganti sistem dan dasar Negara bangsa, yaitu yang tidak menggunakan sistem Islam dan khilafah.

Saya juga lihat video-video di Youtube bagaimana HTI mengakampanyekan ajarannya; dan video-vodeo tentang HTI yang mulai ditolak di beberapa daerah. Saya juga baca juga kajian-kajian, bahwa HT dilarang di banyak Negara di Timur Tengah. Kesimpulan saya, memang ini organisasi sangat leluasa menikmati ruang gerak di Indonesia, termasuk ketika mengkampanyekan memusuhi sistem pemerintahan Negara Indonesia, yaitu demokrasi yang berdasarkan Pancasila, UUD 45, dan amandemennya. Sementara kita lihat, pengikutnya tidak lagi dalam jumlah ratusan, atau ribuan saja.

Perkembangan akhir-akhir ini, di mana acara HTI yang mengambil tempat simbol-simbol di sebuah daerah, telah dilawan di beberapa daerah itu, meskipun HTI menggunakan klaim-klaim Islam. Bagi banyak santri yang para pendahulunya ikut mendirikan Republik Indonesia, dan didirikan para ulama ini, maka menjaga eksistensi bangsa Indonesia dari upaya penggantian yang dilakukan HTI adalah kewajiban.

Maka Negara yang ada sekarang dengan Pancasila sebagai dasar ini, tidaklah perlu dibongkar-bongkar lagi. NKRI dalam hal demikian adalah harga mati, atau meja statis dalam bahasa Bung Karno di salah satu tulisannya, yang tentu mengandung penjelasan-penjelasan. Kekurangan-kekurangannya adalah harga hidup yang terus menerus harus diperbaiki. Tetapi penggantian Pancasila dan sistem kenegaraan kita dengan Khilafah akan merusak yang sudah ada. Tidak produktif dan hanya mengulang-ulang perdebatan yang bertele-tele, di masa lalu.

Idealnya, dasar Negara Pancasila dan sistem yang berlaku di Indonesia yang masih perlu diperk ualitas terus menerus ini, menjadi dasar pijak bagi setiap kelompok dan komponen. Sehingga setiap kelompok perlu bergerak ke tengah untuk ikut proses, baik sebagai pengontrol sistem yang ada atau pelaku politik untuk memperkuat dan memperkualitasny, dengan kebebasan orientasi yang dikembangkannya dengan tetap mengacu pada Pancasila.

Ada juga pilihan yang dimungkinkan banyak orang masih menerima, dengan berdebar-debar, bila ada kelompok yang tidak sepakat sebagai bagian dari agenda, dengan sistem yang ada, dan dasar Negara, lalu terlibat dalam sistem yang ada, dalam sistem Negara Pancasila. Dan kalau menang di parlemen dia mengganti sesuai dengan agendanya, seperti mengambil contoh model yang dilakukan kelompok Mursi untuk kasus Mesir. Tentu menjengkelkan, dan akhirnya menimbulkan kekacauan. Akan tetapi jelas, proses ikut demokrasi yang ada akan meminimalisir reaksi dari mereka yang ingin menegakkan Negara nasional yang telah ada.

Ada juga pilihan kelompok yang ingin mengganti sistem yang ada, juga tidak mau terlibat di dalam proses demokrasi di Indonesia, di mana setiap kampanye mengecam dan menolak, mengajak generasi-generasi muda untuk memusuhi negara. Akan tetapi secara praksis tidak mengambil bagian gerakan bersenjata untuk memisahkan dari Republik Indonesia. Ini adalah tipe HT, induk dari HTI. Maka yang ditimbulkan adalah pinciptaan kontradiksi dan konflik di dalam Republik Indonesia, memecah kelompok-kelompok lain dengan idenya.

Di luar itu, sama seperti mereka meski tidak dengan payung khilafah, tetapi menempuh jalan lain soal mengerahkan senjata, adalah bagian dari model NII. Mererka lebih mudah dihadapi, karena bersenjatanya itu, sehingga reaksi yang ditimbulkan juga jelas.

Reaksi-reaksi di daerah, menyadari kondisi tidak ideal ini di dalam harapannya. “Lebih baik kita bertindak dan mulai bertindak sekarang daripada telat. Kita mulai membatasi gerakannya. Sebab bila terlambat dan membesar, bukan hanya kita nanti akan kesulitan menghadapi kontradiksi-kontradiksi yang diciptakannya.” Saya memahami begitu dari gerakan-gerakan yang menolak HTI di beberapa daerah. Karena Negara tidak bertindak dengan alasan-alasan demokrasi yang dianutnya. Dengan begitu, tentu ini bukan suatu yang ideal, bagi para santri yang pendahulunya ikut mendirikan dan harus menjaga Republik Indonesia ini, karena ia harus masuk dalam arena yang demikian.

Kembali para santri disibukkan oleh debat dan persoalan sistem kenegaraan lagi dan menimbulkan kerawanan yang berimplikasi luas, yang sangat tidak ideal. Tapi kalau mereka tidak bertindak, gerakan khilafah itu akan mengancam dan menimbulkan konflik dan pertumpahan darah bila mewujud. Sementara polisi dan tentara tidak mampu berargumen dari sudut agama soal itu, juga dari sudut aturan. Suatu yang tidak ideal, tetapi riil di hadapi para santri itu. []

Nur Kholik Ridwan, alumni pesantren Darunnajah Banyuwangi