Nilai-Nilai Islam dalam Grebeg Maulud

Nilai-Nilai Islam dalam Grebeg Maulud

Yogyakarta memiliki tradisi Grebeg Maulud setiap bulan Robiul Awal tiba. Adakah nilai Islam yang terkandung di dalamnya?

Nilai-Nilai Islam dalam Grebeg Maulud
Foto: Yogyakarta.panduanwisata.com

Keraton dan masyarakat Yogyakarta merupakan sistem politik pemerintahan dan kehidupan di Jawa yang menggunakan perpaduan antara Islam dan budaya Jawa.

Keraton Yogyakarta menjadi salah satu sistem simbol identitas masyarakat Jawa pada umumnya dan masyarakat Yogyakarta pada khususnya, identitas ini berupa sistem kultur yang terdiri dari cara penghadiran diri atau representasi, pemaknaan dan penghayatan hidup, cara pandang hidup, serta nuansa kehidupan batin.

Sampai saat ini Keraton Yogyakarta mempunyai peranan yang penting sebagai faktor penentu dalam dinamika kehidupan masyarakat Yogyakarta.

Sikap kebatinan masyarakat Yogyakarta terhadap ketuhanan ialah pasrah, sumarah, menyerahkan diri, nerima, ikhlas dan sabar. Selain itu masyarakat Yogyakarta juga memiliki kepercayaan-kepercayaan terhadap sesuatu yang gaib, baik itu makhluk halus, dewa, maupun kekuatan-kekuatan gaib.

Kepercayaan yang banyak di kalangan masyarakat Yogyakarta ialah adanya makhluk-makhluk halus atau roh-roh halus, baik yang merugikan maupun menguntungkan. Oleh karena itu mereka berusaha untuk melembutkan hatinya dengan cara melakukan ritual atau upacara tertentu.

Masyarakat sekitar Keraton Yogyakarta mayoritas beragama Islam, sehingga objek yang penulis jadikan responden adalah masyarakat Islam yang bertempat tinggal di sekitar Keraton Yogyakarta. Setelah melakukan observasi dan wawancara kepada masyarakat, penulis kemudian mengkategorikan responden menjadi 3 unsur golongan yaitu yang terdiri dari masyarakat abangan, santri dan priyayi.

Menurut pandangan Geertz, masyarakat abangan adalah mereka yang masih menekankan kepercayaan pada unsur-unsur tradisi lokal, terutama upacara ritual semacam slametan, kepercayaan kepada makhluk halus, sihir dan magis. Sementara santri lebih menekankan kepercayaannya kepada unsur-unsur Islam murni. Sedangkan priyayi lebih menekankan kepada unsur hinduisme, yaitu konsep alus dan kasarnya. Masing-masing unsur masyarakat tersebut memiliki pandangan yang relatif berbeda-beda terkait implikasi nilai-nilai Islam dalam upacara Grebeg mulud  terhadap kehidupan mereka sehari-hari.

Dalam tradisi grebeg mulud, ada nilai-nilai Islam yang disimbolkan dalam wujud fisik seperti pakaian, sesajen dan gunungan. Beberapa masyarakat ternyata ada yang belum begitu paham bahwa di dalam tradisi Grebeg ada nilai-nilai Islam yang memiliki filosofi yang sangat mendalam.

Secara umum jika mendengar kata sesajen cenderung akan berpikir ke arah yang negatif. Namun ketika tahu bahwa sesajen ternyata memiliki makna filosofis yang berkaitan dengan nilai Islam, maka mereka membenarkan bahwa sesajen memang ada makna dan filosofinya. Masyarakat memaklumi itu, selama sesajen tidak diserahkan kepada makhluk gaib dan semacamnya melainkan hanya sebagai simbolis.

Walaupun sesajen masih menjadi tradisi Keraton, masyarakat kebanyakan sudah tidak melakukan ritual-ritual menggunakan sesajen. Namun sebagian masyarakat keraton, khususnya daerah Panembahan sebagian dari mereka menerapkan tradisi apeman keliling, tradisi tersebut dilakukan saat bulan ruwah, akan tetapi tradisi ini bukan mereka persembahan sebagai sesaji, yang seperti dilakukan nenek moyang terdahulu,  namun sebagai pelestarian kebudayaan meskipun dengan cara yang berbeda.

Masyarakat bisa menerapkan nilai-nilai positif yang ada di salam sesajen dan tidak disalahgunakan untuk hal-hal yang negatif. Misalkan dengan menerapkan makna filosofi dari simbol apem, ketan dan kolak dalam kehidupan sehari-hari, selalu memohon ampun kepada yang maha kuasa karena sebagai manusia kita tidaklah luput dari kesalahan, dan saling maaf dan memaafkan antar sesama.

Makna simbolik yang melekat pada pakaian peranakan yang dipakai oleh para abdidalem sangat bisa diterapkan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam kegiatan beribadah.

Rukun Islam dan Rukun Iman yang disimbolkan dengan bentuk pakaian peranakan secara tidak langsung telah diterapkan di kehidupan  masyarakat sekitar keraton. Dan secara umum masyarakat sekitar Keraton telah menerapkan nilai-nilai Islam tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Gunungan Grebeg merupakan unsur yang paling menonjol dalam tradisi Grebeg di Keraton Yogyakarta. Gunungan memiliki makna, filosofi dan nilai-nilai Islam yang sangat mendalam, sehingga bagi masyarakat khususnya sekitar keraton merasakan dampaknya. Bagi masyarakat yang paham dan mengerti apa sebenarnya filosofi yang terkandung di dalam gunungan pasti bisa mengambil hikmah dan bisa diterapkan di kehidupan sehari-hari.

Bagi mereka yang tidak begitu paham dengan filosofi, sebenarnya juga percaya bahwa unsur-unsur yang ada di dalam gunungan semua ada makna dan filosofinya. Namun masih sangat diperlukan sosialisasi yang jelas dari pihak keraton untuk memberi pengertian dan pendidikan terkait dengan nilai-nilai atau filosofi Islam yang terkandung di dalam gunungan Grebeg.

Nilai-nilai Islam berupa rukun Islam dan rukun iman juga sudah diterapkan oleh masyarakat, karena itu termasuk kewajiban yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam.

Sedangkan masyarakat sekitar Keraton adalah mayoritas dari kalangan menengah. Walaupun begitu, penulis melihat bahwa masyarakat sekitar Keraton adalah masyarakat yang agamis dan memiliki banyak tokoh-tokoh agama.

Wallahu A’lam.