Nikah yuk, Biar Mengerti Tradisi vs Ajaran Agama di Masyarakat Kita

Nikah yuk, Biar Mengerti Tradisi vs Ajaran Agama di Masyarakat Kita

Bagaimana nikah di bulan syawal, itu masuk tradisi atau ajaran agama?

Nikah yuk, Biar Mengerti Tradisi vs Ajaran Agama di Masyarakat Kita

Bulan syawal akan beranjak pergi. Hal ini mungkin menjadi kabar bahagia bagi para jomblo sejati, karena mereka terbebas dari tekanan-tekanan moril untuk secepatnya menemukan tambatan hati. Apakah sudah tepat anggapan mereka ini? Yuk berdiskusi.

Dalam Islam, syawal dikenal sebagai salah satu bulan mulia. Di dalamnya kita disunnahkan berpuasa maupun menikah. Maka dari itu, banyak saudara muslim kita yang berpuasa dan melangsungkan pernikahan di bulan ini. Untuk poin pertama, mungkin bisa ditolerir. Namun untuk poin yan kedua, kadang sering membuat para jomblo fi sabilillah “agak” merana. Karena bagi mereka, menemukan jodoh itu bagaikan jihad, yang membutuhkan daya dan upaya yang begitu besar. hehe

Namun, apakah memang Islam menghendaki bulan syawal sebagai “bulan sial dan penuh cobaan” bagi para jomblowan jomblowati? Bukan begitu, kalau kita berfikiran demikian, maka tak ubahnya kita sama dengan umat Jahiliyah.

Dulu mereka menganggap tidak baik (pamali) menikah dan jima’ di bulan ini. Maka dari itu, Imam Nawawi, dalam syarah Muslimnya meluruskan kekeliruan pandangan mereka melalui ungkapan Sayyidah Aisyah, ra. bahwa menikah di bulan ini adalah sunnah Nabi. (Nawawi, tth, Juz 9. 209).

Di dalam tulisan ini, saya ingin mengajak teman-teman menguak fenomena tentang pernikahan, lebih tepatnya ketika ajaran Islam tentang pernikahan harus “bentrok” dengan tradisi. Namun sebelum ke situ, sepertinya lebih afdhol apabila kita sedikit me-review penjelasan para ulama’ terdahulu tentang hakikat dan ajaran pernikah dalam Islam.

Pernikahan merupakan suatu anjuran bahkan sunnah Nabi Muhammad SAW. Oleh karenanya, apabila kita telah merasa mampu, dianjurkan untuk segera melaksanakan pernikahan. Yang menjadi persoalan adalah, saat pihak keluarga dari salah satu calon suami atau istri tidak merestui, sehingga dengan terpaksa mereka (calon mempelai) harus menanggung duka. Untuk itu, kita perlu melihat terlebih dulu, apa sebenarnya prinsip-prinsip yang harus ada dalam pernikahan?

Antara Tradisi dan Ajaran Islam: Mana yang Didahulukan?

Beberapa literatur fiqh menjelaskan bahwa salah satu prinsip dalam pernikahan adalah: pertama, memenuhi dan melaksaakan perintah agama. kedua, terdapat kerelaan dari calon pengantin. Ketiga, perkawinan itu untuk selamanya (sehingga tidak dibenarkan kawin kontrak). Keempat, suami sebagai penananggung jawab umum dalam rumah tangga. (Ghozali, 2012, hlm. 43).

Namun harus kita akui bahwa di antara prinsip-prinsip di atas, persoalan kerelaan calon pengantin adalah hal yang sering diabaikan. Karena faktanya masih ada—kalau tidak mau mengatakan banyak—masyarakat Indonesia yang sengaja “menutup mata” ketika ajaran ajaran agama (prinsip pernikahan) bertentangan dengan ajaran adat atau tradisi setempat. Entah dianggap tidak cocok tanggal lahirnya lah, daerahnya jauhlah, atau bahkan terdapat mitos bahwa pernikahannya tidak akan langgeng bahkan salah satunya akan meninggal (melihat sejarah nenek moyang mereka).

Umumnya, yang menjadi “korban” dari pemahaman yang salah tersebut adalah perempuan. Perempuan memang suaranya masih kurang didengarkan, khususnya perempuan desa yang tidak mengerti apa-apa antara hak dan kewajiban mereka sebagai seorang perempuan, dalam hal ini pernikahan.

Mari melihat dan mengingat, berapa banyak—sepengetahuan para pembaca—perempuan yang memilki rasa cinta dengan seseorang laki-laki kemudian tidak direstui oleh pihak keluarganya karena alasan adat? Atau mungkin karena alasan laki-lakinya kurang cakep, kurang kaya, keturunan orang biasa atau pendidikannya rendah? Hal yang sama mungkin bisa juga dialami oleh laki-laki, meskipun prosentasenya tidak begitu banyak.

Semua pertanyaan di atas adalah alasan duniawi—bukan merupakan ajaran Islam. Bukan berarti saya sok Islami atau terlalu naif, tetapi sebagai muslim yang “agak” tahu akan ajaran Islam, kita harus berkata jujur bahwa hal-hal di atas tidak murni dikehendaki oleh agama. Sebaliknya, yang dikehendaki agama adalah adanya kerelaan calon suami/istri. Memang ada kriteria kafaah (sekufu) dalam pernikahan, namun hal ini pun masih diperdebatkan antara ulama’ satu dengan yang lain. (Sati, 2011, hlm. 41)

Kembali lagi ke persoalan kerelaan dari calon suami dan istri. 14 abad yang lalu, Nabi telah mengantisipasi akan hal ini. Dari Ibnu Abbas bahwa suatu hari ada budak perempuan yang mendatangi Nabi Saw. Lalu ia berkata bahwa ayahnya telah menikahkannya sedang ia tidak menyetujuinya. Lalu Nabi menyuruhnya untuk memilih (menolak atau menerima). (Ibn Majah, tt, hlm. 603).

Dari hadist di atas, Nabi berpesan bahwa perempuan tadi layak menentukan pilihannya (laki-laki yang ia suka). Memang, pernikahan bukan hanya urusan antara dua sejoli yang saling jatuh cinta. Tapi pernikahan juga harus memperhatikan keluarga dari masing-masing calon. Namun, sekali lagi. Terkadang ada orang tua yang menggunakan hak vetonya ini dengan tidak memberikan ruang pendapat bagi anaknya. Bahkan lebih ekstrim lagi, ketika mereka berfatwa bahwa kita akan menjadi anak durhaka bila tidak nurut. Sunguh ngeri melihatnya!

Quraish Shihab pun mengomentari hal ini. Menurutnya, apalah artinya kebahagiaan pasangan suami istri jika hubungan dengan keluarga tidak harmonis. Sebaliknya, apalah artinya mengikuti kehendak orang tua jika pasangan yang dipilihkannya tidak membahagiakan. Jadi, masing-masing pihak—orang tua dan anak—memilki hak veto yang dapat membatalkan keininan salah satu pihak, sehingga pada akhirnya baik orang tua maupun anak dapat menerima dana merestui calon pasangan.

Lebih lanjut, Rasyid Ridho (mufassir modern) turut berkomentar menyangkut hal di atas. Menurutnya, apabila ada orang tua yang ingin memaksakan pendapatnya (dalam memilih pasangan), maka seorang anak yang menolaknya tidaklah dianggap durhaka atau berdosa, baik menurut ajaran akal maupun menurut agama, karena berbuat baik kepada keduanya bukan berarti mencabut kebebasan dan hak pribadi anak. (Shihab, 2014, hlm. 526).

Sebelum mengakhiri tulisan ini, alangkah baiknya jika kita membaca lagi saran dari Quraish Shihab. Ia berkata bahwa alangkah baiknya bila pemuda atau pemudi tadi menghubungi atau melobi pihak yang disegani dan lebih dituakan oleh orang tua. Sehingga kemungkinan besar mereka akan “legowo”. Wallahu a’lam.