Sebuah cerita tentang An Nifari seorang sastarwan sufi dari Iraq pernah ditulis oleh budayawan Fudholi Zaini. An Nifari adalah sufi masyhur dan konon keilmuannya melampaui al Hallaj dan jalaluddin Rumi. Bernama lengkap Muhammad ibnu Abd Jabbar bin al Husain an-Nifary dikenal sebagai sastrawan piawai dan seorang sufi yang berpengaruh. Kehidupannya yang menyendiri menyebabkan sejarah hidupnya tidak banyak yang tahu. Apalagi dengan kehidupannya yang selalu berpindah-pindah.
Ada yang menyebut An Nifari dilahirkan di Basrah, Iraq dengan tahun tahunnya tidak diketahui. Kesohor sebagai pengembara menjadikan pengamat sufisme Dr. Margareth Smith menjulukinya sebagai Guru Besar di Jalan Mistik. lewat orientalis Inggris, Arthur John Arberry lah karya An Nifari diterjemahkan dan bisa dibaca sampai saat ini . Di dunia sastra sufi, an-Nifary disandingkan dengan mistikus besar lainnya sama seperti Jalaludddin ar Rumi maupun maupun Fariduddin al Aththar. Namun bila dibanding dengan keduanya, karya an-Nifary dinilai oleh para pengamat sastra sufi lebih mendalam. Aalsannya adalah pertama, ia seorang sastrawan sufis. Kedua, ia seorang teoritikus mistik.
Pengalaman spiritual dibingkai oleh An Niffari dalam bahasa sastra yang tinggi dan elok. Maka tidak dapat dipungkiri, nama an Niffrari berderet diantara sufi-sufi agung dan sastrawan sepanjang zaman. Bait-bait puisinya tidak pernah luput dari pemaknaan tentang Tuhan. Dunia kesusastraan telah menempatkan dirinya dalam pada puncak kemasyhuran.
Pemahamannnya yang tinggi terhadap dunia tasawuf menempatkannya An Nifari dalam deretan teoritikus mistik sepanjang zaman. Ada yang berpendapat bahwa an-Nifary mempunyai kemiripan dengan al Hallaj. Bedanya dengan al Hallaj adalah soal kehati-hatian. An-Nifary cenderung lebih hati-hati untuk tidak mengatakan seperti al Hallaj atau al Bustami. Kalau al Hallaj mungkin lebih memilih untuk berkata ,” Akulah al Haq!”. Atau al Bustami dengan kredonya yang terkenal, “Mahasuci daku, alangkah agungnya perihalku.” Maka An Nifari lebih hati-hati agar tidak muncul kesalahpahaman dan salah pemaknaaan. Menurut Dr.Fudholi Zaini, kitab al Mukhathabat ini biasanya diawali dengan ungkapan ”Ya abd!” (Wahai hamba). Di tulis juga dalam kitab ini bahwa ilmu menempati posisi yang utama. Semua jalan menuju Tuhan harus lewat ilmu.
Tak salah kalau AJ Arberry memandang an-Nifary sebagai teoritikus ulung. Spiritualitas di tangannya bisa lebih dipahami. Dengan pengungkapan melalui bahasa sastra yang indah, beberapa pokok pandangan sufistiknya mengalir lancar. Sebagai ulama yang sangat memegang syariat, cara bertuturnyapun cenderung tidak melewati aturan. Emosi pengembaraan spiritual tergambar pelan-pelan menuju puncak Ilahiyah.